Katanya sambil menggeleng kepala. Bukan main, pikir Sin-kiam Moli, anak ini memiliki daya tahan yang luar biasa hebatnya! Mungkin akan dapat men-datangkan kesenangan besar baginya!
"Siapa namamu tadi?"
"Tan Sin Hong."
Namanya juga sederhana, shenya she Tan dan terdapat banyak sekali orang she Tan, nama keluarganya amat besar.
"Sin Hong, engkau ini nekat mempertahankan pusaka Istana Gurun Pasir, atau memang benar di sini tidak ada pusaka?"
Tanyanya dengan ramah dan kini, timbul dari kekagumannya, wajah perpuda itu kelihatan menarik sekali dan menimbulkan gairahnya. Dengan gerakan lembut dan mesra diusapnya darah yang masih nampak di ujung bibir Sin Hong, dengan jari tangannya. Tentu saja hal ini membuat Sin Hong merasa risi bukan main, akan tetapi didiamkannya saja.
"Aku tidak mempertahankan pusaka apa pun, dan memang setahuku di sini tidak ada apa-apa."
"Tidak ada kitab-kitab pelajaran ilmu silat?"
"Aku tidak tahu, yang kutahu hanya bahwa beberapa bulan yang lalu, mereka bertiga telah membakari banyak kitab-kitab...."
"Keparat jahanam!"
Seru Thian Kong Cin-jin dengan kecewa sekali.
"Sayang, sungguh sayang!"
Teriak pula Thian Kek Seng-jin, amat marah kepada tiga orang tua renta itu yang dianggapnya hanya membuat dia kecele.
"Kenapa kitab-kitab pusaka dibakar?"
Tanya Sin-kiam Mo-li kepada pemuda itu, juga merasa amat kecewa. Sin Hong hanya menggeleng kepala,
"Aku tidak tahu,"
Dia tidak berbohong karena memang dia tidak tahu mengapa suami isteri tua renta yang menjadi gurunya itu membakari banyak kitab-kitab yang diketahuinya adalah kitab pelajaran silat.
"Pantas saja kita tidak menemukan apa-apa. Kiranya tua bangka-tua bangka laknat itu telah memusnahkan pusaka mereka!"
Kata pula Sin-kiam Mo-li.
"Sin Hong, hayo engkau membantu kami mengubur mayat-mayat itu!"
Ia memegang tangan Sin Hong dan ditariknya pemuda itu keluar dari dalam istana kuno yang dianggap menyeramkan dan mengecewakan itu. Sin Hong tidak membantah dan dia mengunakan cangkul yang biasa dipakai bekerja di ladang, lalu mencangkul, membuat lubang-lubang untuk mengubur mayat-mayat itu. Dia diperintah membuat lubang biasa untuk tiga orang, yaitu untuk mayat Sai-cu Sin-touw, Ok Cin Cu, dan Coa Ong Seng-jin, kemudian sebuah lubang besar untuk sebelas orang anak buah mereka yang tewas. Karena dia tidak berani mempergunakan tenaga sin-kang dan hanya menggunakan tenaga biasa, menggunakan sebuah cangkul, maka tentu saja Sin Hong harus bekerja sehari lamanya dan barulah empat belas buah mayat itu selesai dikubur. Kemudian, dia mengangkati tiga buah mayat gurunya ke dalam istana. Melihat ini, Sin-kiam Mo-li membentak.
"Apa yang akan kau lakukan itu? Biarkan saja mereka membusuk di sini, kita berangkat pergi sekarang juga dan engkau harus ikut dengan kami!"
"Terserah aku menurut saja, akan tetapi bagaimanapun juga aku harus lebih dulu membakar tiga orang mayat ini, sebelum itu, biar di bunuh sekalipun, aku tidak mau ikut!"
Diam-diam Sin Hong berjudi dengan nyawanya, akan tetapi hal ini dilakukannya dengan sengaja.
Dia seorang pemuda yang cerdik sekali dan dia tahu bahwa nyawanya diselamatkan oleh wanita tua cantik ini hanya karena wanita ini tertarik kepadanya oleh keberanian dan kenekatannya! Maka kini untuk memenuhi pesan guru-gurunya, dia pun memperlihatkan sikap nekat dengan harapan agar wanita itu memenuhi permintaannya. Dan perhitungannya yang tidak ngawur ini memang tepat! Kembali Sin-kiam Mo-li memandang tajam penuh kagum. Seorang pemuda biasa, mungkin hanya pemuda petani yang bekerja sebagai tukang kebun dan pelayan di istana kuno ini, namun memiliki keberanian dan nyali yang agaknya hanya patut dimiliki oleh para penghuni istana Gurun Pasir! Juga ia merasa tertarik sekali mendengar bahwa pelayan ini hendak membakar jenazah tiga orang sakti itu. Pantasnya keluarga mereka yang melakukan hal ini, bukan seorang pelayan biasa.
"Kenapa engkau berkeras hendak membakar mayat mereka?"
Tanyanya.
"Karena ketika masih hidup, mereka pernah mengatakan bahwa mereka kalau sudah mati suka dibakar mayat mereka."
"Akan tetapi untuk membakar mayat mereka, kenapa harus mayat mereka kau usung ke dalam istana?"
Tanya Thian Kong Cinjin yang juga merasa tertarik.
"Karena aku ingin membakar mereka di dalam istana agar istana itu pun ikut terbakar habis."
Jawaban ini membuat tiga orang itu melongo dan Sin-kiam Mo-li mengerutkan alisnya. Celaka, jangan-jangan pemuda yang dikaguminya ini miring otaknya!
Kenapa hendak dibakar istana ini?"
Tanyanya, memandang tajam. Akan tetapi wajah pemuda itu biasa saja.
"Mereka sudah meninggal dunia dan aku akan pergi dari sini. Kalau tidak ada yang tinggal lagi di sini dan tidak ada yang mengurusnya, tempat ini hanya akan menjadi buruk sekali dan akhirnya akan ambruk pula. Maka sebaiknya dibakar saja. Dengan demikian, dapat membuktikan kebenaran pengakuanku bahwa tidak ada pusaka apa pun tersimpan di sini. Bukankah begitu?"
Ucapan ini cerdik sekali dan tiga orang itu pun mengangguk-angguk.
"Benar sekali!"
Kata Thian Kek Seng-jin.
"Biar dibakarnya habis, biar rata dengan tanah, biar terbasmi lenyap seperti halnya Istana Pulau Es. Ha-ha-ha, dunia kang-ouw akan tahu bahwa Istana Gurun Pasir terbasmi lenyap dari permukaan bumi oleh kita bertiga. Ha-ha-ha!"
Thian Kong Cinjin juga tertawa,
Senang bahwa setidaknya mereka dapat melampiaskan kedongkolan hati karena teman-teman banyak yang mati dan mereka tidak menemukan pusaka, dengan cara melihat istana itu terbakar habis. Sementara itu, tanpa mempedulikan apakah tiga orang itu setuju atau tidak, Sin Hong telah mengangkuti mayat ini ke dalam, meletakkan mereka di atas tiga dipan yang dipersiapkannya, kemudian dia pergi ke bagian belakang untuk mengambil beberapa guci minyak. Semua gerakannya ini diperhatikan oleh Sin-kiam Mo-li, sedangkan dua orang pendeta sudah tidak peduli lagi, masih mencoba mencari ke sana sini barangkali menemukan sesuatu yang berharga untuk dibawa pulang sebagai oleh-oleh.
Biarpun tubuhnya terasa lelah karena mencangkul tiada hentinya sampai sore, namun Sin Hong merasakan lagi keanehan betapa kelelahan itu sebentar saja lenyap dan kesegaran tubuhnya pulih kembali, seperti ketika tadi dia menderita luka-luka. Maka dengan tenang dia menuangkan minyak ke sudut-sudut ruangan istana itu, juga menuangkan minyak kepada dipan-dipan di mana tiga sosok mayat itu rebah. Setelah itu, dia pun menyalakan api dimulai dari serambi depan yang sudah dibasahi pula dengan minyak. Dia menghabiskan semua persediaan minyak di gudang dan sebentar saja api pun berkobar besar sekali, membakar istana itu dan segala isinya. Sin-kiam Mo-li, Thian Kong Cinjin dan Thian Kek Seng-jin berdiri jauh di pekarangan depan memandang ke arah api yang berkobar semakin tinggi,
Sedangkan Sin Hong berdiri pula di situ seperti patung memandang ke arah api dan diam-diam hatinya menangis. Tak disangkanya bahwa dalam sehari dia kehilangan tiga orang gurunya yang amat dicintanya! Guru-gurunya dibantai orang, dibunuh dan istana diserbu tanpa dia dapat membela sedikit pun. Kalau dia tadi membela dan melawan, dia tahu bahwa akan terjadi bentrokan hebat dalam tubuhnya dan mungkin sekali dia akan tewas. Dia tidak takut menghadapi bahaya kematian itu, akan tetapi dia merasa ngeri untuk melanggar janji dan sumpahnya terhadap tiga orang gurunya. Setelah istana itu terbakar, barulah teringat oleh Sin-kiam Mo-li bahwa mereka sebenarnya masih membutuh-kan istana itu, setidaknya untuk satu malam. Hari telah mulai gelap dan mereka membakar satu-satunya tempat untuk melewatkan malam dengan enak!
"Wah, celaka! Kita malam ini harus bermalam di mana?"
Katanya kepada dua orang temannya.
"Ha-ha-ha, perlu apa bermalam? Kita langsung saja meninggalkan neraka ini!"
Kata Thian Kong Cinjin.
"Benar, aku pun merasa tidak suka tinggal lebih lama di tempat ini,"
Sambung Thian Kek Seng-jin. Kedua orang kakek pendeta sesat ini sebenarnya jerih kalau-kalau pembunuhan atas diri tiga orang tua itu dan pembakaran istana itu akan mendatangkan akibat yang hebat, kalau-kalau kebakaran itu kelihatan orang dan ada kerabat Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang datang.
"Ih, mana mungkin melakukan perjalanan melintas gurun pasir di waktu malam? Sungguh berbahaya sekali. Biarlah malam ini kita bermalam di sini, setidaknya di kebun sana itu banyak terdapat pohon-pohon. Mari kita mencari tempat istirahat di sana,"
Kata Sin-kiam Mo-li dan dua orang kawannya setuju karena mereka pun mengerti betapa bahayanya melakukan perjalanan melintasi gurun pasir yang luas di waktu malam gelap. Sin-kiam Mo-li menarik tangan Sin Hong diajak ke kebun di mana memang terdapat banyak pohon buah-buahan dan tumbuh-tumbuhan lain yang berguna. Sin-kiam Mo-li memilih tempat di bawah sebatang pohon besar, dan ia pun tidak lagi mempedulikan dua orang temannya yang meng-ambil tempat istirahat di bawah sebatang pohon lain lagi. Rumput-rumput hijau menjadi hamparan tikar hijau yang lembut dan lunak. Sin-kiam Mo-li memandang Sin Hong yang masih berdiri menghadap ke arah istana yang masih terbakar itu.