"Ampun.... ah, jangan....!"
Dan terdengar isak tertahan karena takut. Cepat sekali tubuh Tek Hoat meloncat dari atas bangkunya dan tubuhnya sudah berkelebat masuk ke ruangan belakang.
"Haiii....!"
Lima orang jagoan itu berteriak heran dan mereka sudah bangkit semua. Akan tetapi Tek Hoat tidak mempedulikan mereka, terus menerobos masuk. Para pelayan yang berada di belakang berkelompok, berdiri ketakutan.
"Di mana mereka?"
Tek Hoat bertanya singkat. Para pelayan itu menggerakkan muka, menunjuk dengan dagu ke arah sebuah kamar yang tertutup daun pintunya.
"Brakkkk....!"
Daun pintu itu pecah diterjang Tek Hoat. Ketika dia masuk pemuda ini terbelalak penuh keheranan, akan tetapi juga kemarahan melihat betapa seorang gadis muda yang cantik sedang bergulat mempertahankan kehormatannya dari perkosaan seorang di an-tara jagoan tadi. Bajunya sudah terobek lebar sehingga tampak baju dalamnya yang sudah terkoyak pula. Dan hal yang sama terjadi pula di sudut kamar, di atas lantai di mana seorang wanita berusia tiga puluh tahun lebih, akan tetapi cantik sekali, lebih cantik dari gadis itu, dengan tubuh yang padat menggairahkan sedang bergulat dengan jagoan ke dua. Agaknya, terlambat sedikit saja kedatangan Tek Hoat, kedua orang wanita itu, yang di atas pembaringan dan yang di atas lantai, tentu takkan dapat bertahan menghadapi tenaga kasar dua orang jagoan itu.
"Keparat!"
Tek Hoat meloncat ke depan. Dua kali tangannya menyambar ke arah muka jagoan yang menengok kaget itu.
"Prak! Prak!"
Dan dua orang jagoan itu terpelanting, tubuh mereka terkulai tak mampu bergerak lagi. Gadis yang ternyata sekarang kelihatan sudah terobek seluruh pakaiannya bagian depan, yang tadi tidak nampak karena tertindih oleh jagoan yang menyerangnya, menjerit dan berusaha menutupi tubuhnya, akan tetapi tak dapat dicegah lagi, tubuhnya yang telanjang bulat di bagian depan itu sudah terlihat oleh Tek Hoat. Pemuda ini menjadi merah mukanya, membuang muka dan menjambak rambut kedua orang jagoan, menyeretnya ke pintu kamar.
"Haiii.... siapa dia? Hayo seret ke luar!"
Lima orang jagoan sudah berlari memasuki ruangan dalam, akan tetapi tiba-tiba ada dua sosok tubuh melayang dari dalam dan menerjang mereka.
"Awas....!"
Mereka cepat menyambut terjangan dua sosok bayangan itu dengan pukulan-pukulan tangan mereka sehingga terdengar suara bak-bik-buk ketika pukulan mereka mengenai dua orang kawan itu.
"Celaka!"
Teriak mereka ketika melihat bahwa dua sosok tubuh yang kini menggeletak di depan kaki mereka itu adalah dua orang kawan mereka yang tadi mengganggu wanita di dalam, kini menggeletak dengan pakaian yang masih awut-awutan dan dengan kepala pecah. Yang mereka pukuli tadi adalah tubuh dua orang ini yang dilempar orang dari dalam dan keadaan mereka telah tidak bernyawa lagi! Dapat dibayangkan betapa besar kemarahan lima orang ini melihat dua orang saudara mereka telah tewas. Terdengar suara senjata dicabut dari sarungnya dan tampak sinar berkilauan ketika dua orang mencabut golok dan tiga orang yang lain mencabut pedang.
"Kalian juga sudah bosan hidup?"
Ucapan yang keluar dari mulut pemuda tanggung itu terdengar lucu, sama sekali tidak menakutkan, sama sekali tidak menyeramkan, akan tetapi amatlah mengherankan dan hampir lima orang itu tidak dapat percaya akan pandangan matanya sendiri. Benarkah dua orang suheng mereka itu tewas oleh bocah ini? Sejenak lima orang jagoan itu memandang dengan mata terbelalak, senjata masing-masing tergenggam di tangan. Siapa yang takkan menjadi ragu-ragu berhadapan dengan seorang pemuda remaja yang bertangan kosong ini? Pemuda itu hanya memiliki sebuah kelebihan, yaitu ketampanannya, akan tetapi apakah artinya wajah tampan? Tubuhnya kecil dan kelihatan lemah, sama sekali bukan "potongan"
Jago kang-ouw. Benarkah pemuda remaja ini yang membunuh kedua orang suheng mereka?
"Siapa engkau? Dan apa yang terjadi dengan suheng kami?"
Tanya seorang di antara mereka sambil melangkah maju, pedangnya bersilang di depan dada.
"Kalian belum tahu mengapa dua orang ini tewas? Mereka hendak memperkosa wanita, maka aku telah turun tangan membunuh mereka. Dan mau tahu namaku? Aku bernama.... Gak Bun Beng."
Tek Hoat tiba-tiba saja timbul niat hatinya untuk menggunakan nama ini, nama orang yang membunuh ayahnya. Nama musuh besarnya yang telah mati. Dia sendiri tidak mengerti mengapa dia menggunakan nama itu, karena dia hanya ingin menyembunyikan namanya sendiri, masih terpengaruh oleh sikap gurunya yang tidak mau melibatkan diri dengan urusan lain. Dia hanya ingin menggunakan nama sembarangan saja untuk menggantikan nama aselinya, dan pada saat dia sedang memilih nama pengganti, tiba-tiba saja nama musuhnya itu menyelinap di kepalanya.
"Gak Bun Beng, berani kau membunuh dua orang suheng kami?"
Sambil membentak demikian, orang berpedang itu sudah menusukkan pedangnya ke arah dada Tek Hoat. Bagi orang di daerah itu, mungkin sekali nama Jit-hui-houw sudah terkenal dan ilmu kepandaiannya mereka sudah dianggap tinggi dan sukar dicari lawannya, akan tetapi bagi Tek Hoat yang sudah memiliki kepandaian tinggi, gerakan mereka terlalu lambat sehingga dengan mudah dia dapat mengikuti gerakan pedang yang menusuk dadanya. Dengan menggerakkan badannya miring, pedang meluncur lewat di samping tubuhnya dan secepat kilat tangan pemuda itu menyambar ke depan, jari tangannya menusuk ke arah mata lawan. Gerakannya demikian cepat sehingga lawan yang terancam matanya itu terkejut, memutar pedang menangkis ke atas untuk membabat tangan Tek Hoat.
Akan tetapi gerakan serangan ke arah mata itu hanya tipuan belaka karena yang sesungguhnya bergerak adalah tangan kedua yang diam-diam dari bawah menyambar ke atas, mencengkeram tangan lawan yang memegang pedang dan di lain saat pedang itu sudah berpindah tangan! Dengan seenaknya, kedua tangan pemuda itu dengan saluran sin-kang yang amat kuat mematah-matahkan pedang itu seperti orang mematah-matahkan sebatang lidi saja! Terdengar bunyi pletak-pietok dan pedang itu sudah patah-patah menjadi lima potong. Sebelum pemilik pedang sadar dari kaget dan herannya, Tek Hoat menggerakkan kedua tangannya bergantian dan potongan-potongan pedang menyambar seperti anak panah cepatnya menuju ke arah tubuh pemiliknya.
Orang itu berusaha mengelak, namun luncuran potongan-potongan pedang itu terlalu laju dan jarak antara dia dan penyerangnya terlalu dekat sehingga lima potong baja itu menembus masuk ke dalam tubuhnya. Orang itu mengeluarkan pekik mengerikan dan roboh terjengkang, tewas seketika. Empat orang anggauta Jit-hui-houw kaget setengah mati, akan tetapi juga marah sekali. Mereka mengeluarkan teriakan dahsyat lalu berbareng maju menyerang dengan senjata mereka. Penye-rangan mereka cukup hebat dan sinar pedang dan golok berkelebatan menyilaukan mata. Para pengawal rumah makan sudah lari cerai berai. Menghadapi serangan bertubi-tubi dari empat orang yang marah itu, Tek Hoat sudah meloncat ke luar dan mereka melanjutkan pertandingan di dalam ruangan tamu di depan yang luas.
Meja kursi beterbangan ditendangi empat orang itu ketika mereka mengejar dan mengepung Tek Hoat. Pemuda ini tenang-tenang saja, bahkan timbul sifat kekanak-kanakannya yang hendak mengajak empat orang pengeroyoknya main kucing-kucingan. Dia berlari ke sana ke mari mengitari meja, dikejar dan dihadang empat orang pengeroyoknya yang membacok atau menusuk setiap kali ada kesempatan. Setelah puas mempermainkan mereka sambil tersenyum-senyum mengejek, Tek Hoat lalu menyambar sepasang sumpit panjang dari atas meja, sepasang sumpit bambu dan dengan senjata sederhana ini dia meloncat ke depan, kini tidak lagi melarikan diri dikejar-kejar, bahkan dia yang berbalik menyerang! Begitu menyerang dia sudah bermain dengan ilmu silat gabungan Pat-mo-kun-hoat dan Pat-sian-kun-hoat yang dilatihnya dari Sai-cu Lo-mo.
Ilmu silat ini memang dapat dilakukan dengan tangan kosong atau dengan senjata apapun dengan merubah sedikit gerak serangannya disesuaikan dengan senjata yang dipegangnya. Hebat bukan main gerakan pemuda ini, terlalu hebat, aneh, dan cepat bagi empat orang lawannya sehingga terdengar teriakan berturut-turut ketika empat orang itu dipaksa melepaskan senjata masing-masing karena pergelangan tangan atau siku lengan mereka tertusuk sumpit! Akan tetapi pada saat itu, terdengar suara tangis riuh rendah di sebelah belakang rumah makan. Mendengar itu, Tek Hoat lalu meloncat ke dalam, meninggalkan empat orang lawan yang sudah melepaskan senjata dan berdiri dengan muka pucat dan mata terbelalak saling pandang.
Untung bagi mereka bahwa pemuda yang luar biasa itu meloncat ke dalam, kalau tidak, dengan gerakan selanjutnya tentu dengan mudah pemuda itu akan membunuh mereka setelah melucuti senjata mereka secara demikian istimewa! Sementara itu, Tek Hoat yang mendengar suara tangis itu merasa khawatir kalau terjadi hal-hal yang memerlukan bantuannya, maka dia meninggalkan empat orang lawannya dan cepat berlari masuk.Melihat dia muncul, pemilik rumah makan yang berusia lima puluh tahun lebih dan isterinya yang masih muda dan cantik, cepat menjatuhkan diri berlutut di depan Tek Hoat. Pemuda ini terkejut dan juga merasa heran mengapa mereka menangis dan dia melihat gadis yang tadi hampir menjadi korban keganasan penjahat, dipegangi oleh dua orang pelayan wanita. Gadis itu menangis dan meronta-ronta, berteriak-teriak,
"Lepaskan aku! Biarkan aku mati....!"
"Harap Ji-wi (anda berdua) bangun, tidak perlu begini,"
Tek Hoat berkata sambil menyingkir dari depan kedua suami isteri yang berlutut itu.
"Apakah yang terjadi lagi maka ribut-ribut?"
"Taihiap (pendekar besar).... tolonglah kami.... kalau tidak, bukan hanya anak saya mati membunuh diri, akan tetapi kami sekeluarga tentu akan habis terbasmi...."
Kakek pemilik rumah makan itu berkata sambil menangis.
"Hemm, apa maksudmu, lopek?"
Tek Hoat bertanya, dan hatinya senang sekali mendengar dia disebut taihiap. Sebutan yang diidam-idamkannya. Dia seorang pendekar! Seorang pendekar besar!
"Marilah kita bicara di dalam kamar, taihiap."
Ajak kakek itu dan Tek Hoat lalu mengikutinya masuk ke dalam kamar di mana tadi kedua orang wanita itu hampir menjadi korban perkosaan. Setelah mempersilahkan pemuda itu duduk, kakek pemilik rumah makan berkata,
"Taihiap, anak perempuan saya, Siu Li, berkeras hendak membunuh diri, maka terjadi ribut-ribut sampai terdengar oleh taihiap. Dia merasa malu sekali."