Kisah Sepasang Rajawali Chapter 14

NIC

"Hemmm.... orang-orang Bu-tong-pai memukul anak kecil. Betapa anehnya ini!"

Tiba-tiba muncul seorang kakek tua yang mukanya menyeramkan. Kakek ini mukanya persegi dan dilingkari rambut putih seperti muka singa, matanya mengeluarkan sinar penuh wibawa, akan tetapi kedua kakinya lumpuh! Hebatnya, biarpun kedua kakinya tak dapat digerakkan dan ditekuk seperti orang bersila, kakek ini mampu bergerak cepat dengan tubuh berlompat-lompatan! Kakek itu menghampiri Tek Hoat, setelah memeriksa tubuh anak itu dia mengangguk-angguk.

"Betapa pun juga, kalian tidak menjatuhkan tangan maut. Kalau hal itu terjadi, tentu aku tidak akan tinggal diam!"

Kakek itu lalu menyambar tubuh Tek Hoat dan sekali berkelebat dia telah lenyap dari situ, diikuti pandang mata kedua orang tokoh Bu-tong-pai yang terheran-heran. Sementara itu, Tek Hoat tadi melihat munculnya kakek lumpuh yang mukanya menakutkan itu. Ketika tiba-tiba kakek itu mengempit tubuhnya di bawah ketiak dan membawanya "terbang"

Cepat, dia terkejut sekali akan tetapi juga girang. Dia melihat betapa tubuh kakek itu tanpa menggunakan kaki yang bersila, akan tetapi cepatnya seperti seekor rusa membalap sampai dia merasa ngeri dan kadang-kadang memejamkan mata kalau melihat dirinya dibawa terbang melewati sebuah jurang yang lebar dan dalam sekali.

"Kakek yang baik, aku ingin menjadi muridmu!"

Tiba-tiba Tek Hoat berkata setelah mereka tiba di dalam sebuah hutan lebat. Kakek lumpuh ini melepaskan tubuhnya dan Tek Hoat cepat berlutut. Kakek itu tertawa, mengelus jenggotnya yang putih semua.

"Aku tidak akan mengambil murid! Sekali mengambil murid, tentu hanya akan menimbulkan urusan belaka di kemudian hari. Aku sudah tua, sudah enak-enak hidup tenang dan penuh damai, mengapa mesti mencari perkara? Tidak, aku tidak akan menerima murid."

Tek Hoat menjadi kecewa bukan main. Dia tahu bahwa kakek ini adalah seorang yang amat lihai, biarpun kedua kakinya lumpuh. Tentu inilah orang yang disebut orang sakti oleh ibunya. Akan tetapi, ternyata kakek itupun menolaknya untuk menjadi murid. Sial benar. Kekecewaan membuat dia menjadi marah dan suaranya kaku ketika dia berkata,

"Kalau engkau tidak mau mengambil aku sebagai murid, mengapa kau tadi menolongku? Biarlah aku dibunuh oleh kakek Bu-tong-pai, apa sangkut-pautnya denganmu?"

Kakek itu tercengang, akan tetapi tetap tertawa.

"Melihat anak kecil dipukul tokoh-tokoh Bu-tong-pai, bagaimana aku dapat mendiamkannya saja. Hei, anak baik, mengapa engkau dipukuli mereka? Apakah engkau mencuri sesuatu?"

"Sudahlah, kalau engkau tidak mau mengambil murid kepadaku, mengapa masih banyak cakap lagi? Aku hanya mempunyai sebuah permintaan lagi, kalau kau tidak mau memenuhinya, benar-benar aku tidak mengerti mengapa kau begini usil mencampuri urusan orang lain! Permintaanku adalah agar kau suka menunjukkan kepadaku tempat tinggal seorang yang kucari-cari. Engkau tentu seorang kang-ouw yang sakti, maka kalau kau mengatakan tidak tahu, berarti kau bohong."

"Kau anak luar biasa. Katakan, siapa yang kau cari itu?"

"Aku mencari Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es. Tahukah engkau di mana dia berada dan bagaimana aku dapat bertemu dengannya? Heii.... engkau kenapa?"

Tek Hoat berseru melihat kakek lumpuh itu memandangnya dengan mata terbelalak seolah-olah dia telah berubah menjadi setan yang menakutkan! Tentu saja kakek itu terkejut bukan main mendengar anak ini mencari Pendekar Siluman! Kakek ini berjuluk Sai-cu Lo-mo (Iblis Tua Bermuka Singa), namanya sendiri yang telah dilupakan orang dan hampir dilupakan sendiri olehnya adalah Bhok Toan Kok dan dia dahulu pernah menjadi pembantu utama dari Puteri Nirahai ketika puteri ini menjadi ketua Thian-liong-pang (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS). Seperti telah diceritakan dalam SEPASANG PEDANG IBLIS, Sai-cu Lo-mo meninggalkan Pulau Es yang pertama kali dikunjunginya itu bersama dengan Milana yang oleh ayahnya disuruh ikut kakeknya, kaisar di kota raja.

Kakek lumpuh namun lihai ini seolah-olah menjadi wakil Puteri Nirahai untuk menemani puterinya di kota raja dan sebelum pergi meninggalkan Pulau Es, kakek lumpuh ini oleh bekas ketuanya, Nirahai, telah dibekali beberapa buah kitab pusaka ilmu silat yang hebat untuk menambah kepandaiannya setelah kedua kakinya lumpuh. Selama dua tahun Sai-cu Lo-mo tinggal di kota raja, seperti seorang pensiunan di istana karena Milana menghendaki demikian dan tentu kaisar memenuhi permintaan cucunya ini. Akan tetapi melihat betapa Milana seperti terpaksa menikah dengan seorang suami yang memenuhi syarat sayembara, yaitu seorang panglima muda berdarah bangsawan bernama Han Wi Kong, hati kakek ini merasa perih sekali.

Dia maklum betapa dara yang disayangnya itu menikah dengan terpaksa, menikah dengan orang yang tidak dicintanya. Dia tahu betapa hati dara itu masih melekat kepada Gak Bun Beng! Dia tidak tahu di mana adanya Gak Bun Beng, cucu keponakannya itu dan melihat betapa ikatan cinta kasih antara Gak Bun Beng dan Milana terputus, melihat betapa Milana kini terpaksa menyerahkan diri menjadi isteri orang lain, hatinya merasa sengsara sekali. Karena inilah, setelah Milana menikah kakek lumpuh ini meninggalkan istana, meninggalkan kota raja dan merantau ke mana-mana untuk mencari cucu keponakannya, Gak Bun Beng! Dalam perantauannya ini dia bertemu dengan Ang Tek Hoat dan dapat dibayangkan betapa kagetnya mendengar betapa bocah yang bandel ini hendak mencari Pendekar Siluman Majikan Pulau Es!

"Eh, anak yang luar biasa anehnya! Engkau benar-benar hendak mencari Pendekar Siluman?"

Tek Hoat memandang kakek itu dengan penuh minat. Jangan-jangan kakek ini sendiri yang berjuluk Pendekar Siluman! Memang pantas. Mukanya seperti singa, menakutkan, kedua kakinya lumpuh akan tetapi dapat berlari begitu cepat, seolah-olah tanpa kaki dapat berlari secepat terbang. Ini mirip siluman!

"Apakah engkau Pendekar Siluman?"

"Ha-ha-ha-ha!"

Sai-cu Lo-mo tertawa sampai matanya mengeluarkan air mata. Dia disangka Suma Han Si Pendekar Super Sakti! Biarpun dia telah melatih isi kitab pelajaran ilmu silat tinggi yang dia terima dari bekas ketuanya yang kini menjadi isteri Pendekar Super Sakti, biarpun kini kepandaiannya sudah meningkat jauh lebih tinggi daripada tingkatnya sebelum kakinya lumpuh, namun kalau dibandingkan dengan kepandaian Pendekar Siluman, benar-benar menggelikan!

"Ha-ha-ha, kau belum tahu siapa itu Pendekar Siluman, akan tetapi kau sudah hendak mencarinya. Mau apakah kau mencari Pendekar Siluman"

"Aku mau menantangnya!" "Heiiii....? Kau....? Menantangnya...?"

Sekarang kakek ini terbelalak karena jawaban anak ini benar-benar mengejutkan.

"Mengapa?"

"Aku hendak membuktikan kata-kata ibu. Kalau benar dia merupakan pendekar yang terpandai di kolong langit, aku akan berguru kepadanya."

"Bocah lancang! Kau kira begitu mudah menantang dia atau berguru kepadanya? Mencarinya lebih sukar daripada mencari naga di langit. Eh, kau siapakah dan mengapa kau tadi dipukul orang Bu-tong-pai?"

"Aku datang ke Bu-tong-pai hendak berguru, memperdalam ilmu silatku karena ibuku adalah murid Bu-tong-pai dan kakekku bahkan pernah menjadi ketua Bu-tong-pai. Akan tetapi orang-orang Bu-tong-pai tidak baik, malah memukulku."

Kakek itu memandang tajam.

"Siapa kakekmu?"

"Kakekku sudah meninggal dunia, dahulu dia menjadi ketua Bu-tong-pai, namanya Ang Lojin."

"Ang Lojin....?"

Tentu saja Sai-cu Lo-mo mengenal ketua Bu-tong-pai itu, mengenalnya dengan baik karena ketua Bu-tong-pai itu dahulu pernah ditawan secara halus oleh Thian-liong-pang ketika ketuanya, Nirahai, ingin melihat dasar kepandaian semua tokoh persilatan (baca ceritera SEPASANG PEDANG IBLIS).

"Ya. Dan ibuku bernama Ang Siok Bi, sedangkan namaku Ang Tek Hoat."

Mata yang biasanya kelihatan seperti orang mengantuk dari kakek lumpuh itu kini terbelalak. Tentu saja dia tahu siapa Ang Siok Bi! Gadis muda berpakaian kuning, puteri ketua Bu-tong-pai, yang bersama-sama Milana dan Lu Kim Bwee telah mengeroyok Gak Bun Beng cucu keponakannya karena dituduh telah mem-perkosanya!

"Ibumu yang suka memakai pakaian kuning itu....?"

Tanyanya di luar kesadarannya karena hatinya yang bicara, menduga-duga setelah dia membayangkan peristiwa belasan tahun yang lalu itu. Tek Hoat tercengang.

"Kau sudah mengenal ibuku?"

Sai-cu Lo-mo tidak menjawab, hanya mengelus jenggotnya dan termenung. Dia mengenangkan semua peristiwa yang terjadi belasan tahun yang lalu. Dia melihat dengan mata kepala sendiri betapa cucu keponakannya, Gak Bun Beng, dikeroyok oleh gadis-gadis yang membencinya. Milana, Ang Siok Bi, Lu Kim Bwee yang menganggap Gak Bun Beng sebagai seorang penjahat besar, seorang pemerkosa yang keji. Karena dia sendiri percaya akan cerita Milana, maka melihat cucu keponakannya dikeroyok dan hendak dibunuh, dia tidak berdaya sampai akhirnya Gak Bun Beng terjerumus ke dalam jurang yang amat dalam. Akan tetapi ternyata Gak Bun Beng tidak tewas dan dia bertemu lagi dengan cucu keponakannya itu di Pulau Es dan di tempat inilah dia mendapat kenyataan hebat,

Tentang terbukanya semua rahasia yang selama ini mengganggu hatinya. Dia mendapat kenyataan bahwa Gak Bun Beng sama sekali tidak berdosa! Gak Bun Beng hanya dipergunakan namanya oleh orang lain yang melakukan semua perkosaan itu! Bukan Gak Bun Beng cucu keponakannya yang telah memperkosa Ang Siok Bi, Lu Kim Bwee atau siapapun juga, melainkan orang sengaja hendak merusak nama cucu keponakannya itu. Dan orang itu bukan lain adalah Wan Keng In yang kini telah tewas. Wan Keng In putera Lulu, anak tiri Pendekar Super Sakti (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS). Sai-cu Lo-mo memandang Tek Hoat dengan penuh selidik. Kasihan, pikirnya. Jadi anak ini adalah anak Ang Siok Bi, gadis yang telah diperkosa orang yang bernama Gak Bun Beng?

"Anak baik, siapakah nama ayahmu?"

Tiba-tiba dia bertanya, di dalam hatinya merasa bersyukur juga bahwa gadis yang telah terhina itu akhirnya dapat juga memperoleh jodoh dan bahkan dari perjodohan itu agaknya telah memperoleh anak yang dia lihat amat berbakat, berani, dan cerdik ini.

"Ayahku bernama Ang Thian Pa, sekarang telah meninggal dunia."

Sai-cu Lo-mo tercengang. Ang Thian Pa? Bukankah Ang Thian Pa nama asli dari Ang Lojin sendiri?

Posting Komentar