Kisah Sepasang Rajawali Chapter 12

NIC

"Kalau raja kami tidak dapat segera diselamatkan, tentu tugas yang ciangkun lakukan akan gagal pula. Maka setelah ciangkun berada di sini, saya pribadi mohon petunjuk ciangkun yang sudah tentu memiliki kepandaian dan pengalaman lebih luas sebagai pengawal kaisar sebuah negara besar. Saya harap ciangkun tidak akan berkeberatan untuk membantu kami melakukan penyelidikan untuk menolong raja kami."

Tan Siong Khi juga bukanlah seorang pengawal bodoh. Dia mengerti apa artinya permohonan yang diajukan dengan halus oleh Jayin itu. Untuk urusan dalam seperti itu, tidak selayaknya kalau panglima ini minta bantuan orang luar. Tentu saja lahirnya saja menyatakan minta bantuan, akan tetapi sebetulnya dia akan dibawa sebagai sandera karena panglima ini agaknya mencurigai rombongannya! Maka dia tersenyum dan berkata,

"Kami diperintahkan untuk menjemput mempelai, sekarang melihat Raja Bhutan yang akan menjadi besan dari kaisar kami terancam bahaya, sudah tentu saya suka membantu."

"Kalau begitu, marilah, Tan-ciangkun. Malam ini juga kita berangkat dan tentaraku sudah siap di luar tembok benteng kora raja."

Panglima Jayin memerintahkan orangnya mempersiapkan seekor kuda lain dan tak lama kemudian berangkatlah kedua orang perwira tinggi ini, menunggang kuda keluar dari kota raja dan memimpin pasukan yang seribu orang besarnya itu.

Obor di tangan para perajurit yang bertugas membawa obor dan berada di depan, tengah, dan belakang, kelihatan dari jauh seperti seekor naga sakti yang menyala-nyala keemasan terbang melayang rendah di atas tanah. Mereka menuju ke Pegunungan Himalaya, ke arah utara. Kembali kita terpaksa meninggalkan barisan Bhutan yang berangkat men-cari raja mereka itu untuk menjenguk bagian lain jauh di sebelah timur, di mana terjadi peristiwa lain yang seolah-olah tidak ada hubungannya dengan kedua orang kakak-beradik putera Pendekar Super Sakti, juga tidak ada hubungannya dengan pasuka Bhutan yang mencari raja mereka, akan tetapi sesungguhnya tokoh-tokohnya merupakan tokoh penting dalam cerita ini dan perlu kita mengenal mereka seorang demi seorang.

Di kota Shen-yang tak jauh dari kota raja. Seorang pemuda tampan berpakaian indah bersih memasuki sebuah rumah makan yang baru saja dibuka dan masih sepi. Hari masih terlalu pagi untuk makan, maka yang penuh dengan orang berlalu lalang hanyalah jalan raya di depan rumah makan itu, dan pemuda ini merupakan pemuda pertama yang disambut oleh pelayan yang masih kelihatan segar dan bersemangat. Dengan wajah berseri dan ramah pelayan itu menyambut dan mempersilakan tamunya masuk dan duduk menghadapi meja yang kesemuanya masih kosong. Pemuda itu memilih meja di tengah dan duduknya di sebelah sehingga dia dapat melihat ke pintu depan dan pintu yang menembus ke ruangan sebelah dalam rumah makan itu. Pemuda ini baru kelihatan jelas wajahnya setelah dia membuka topinya yang berbentuk caping lebar dan diberi tali sutera merah dan diikatkan di bawah dagunya.

Setelah menaruhkan caping itu di atas meja, juga menuruhkan buntalan di punggung dan menaruhnya pula di atas meja, pemuda itu mengeluarkan sapu tangan dan menyusuti peluh di muka dan lehernya. Sepagi itu, dengan hawa masih dingin sudah berkeringat! Hati ini menandakan bahwa dia telah melakukan perjalanan jauh dan memang demikianlah, semalam suntuk dia terus berjalan tak pernah berhenti dan baru berhenti di kota itu setelah melihat rumah makan ini. Perutnya yang lapar memaksanya berhenti. Setelah memesan makanan, pemuda itu menyandarkan dirinya ke meja dan memandang ke luar. Usianya masih muda sekali, sekitar enam belas tahun, akan tetapi agaknya karena sudah banyak melakukan perantauan, maka pandang matanya yang tajam itu sudah "matang", gerak-geriknya tenang,

Wajahnya yang tampan itu selalu berseri, mulutnya tersenyum namun bibir yang tak pernah ditinggalkan senyum itu membayangkan ejekan dan mata yang tajam bersinar-sinar itu seakan-akan memandang rendah kepada keadaan sekelilingnya. Siapakah pemuda tampan ini? Dia bernama Ang Tek Hoat dan sesungguhnya pemuda ini bukanlah seorang pemuda sembarangan karena ia cucu bekas ketua Bu-tong-pai yang terkenal dengan sebutan Ang Lojin (Kakek Ang) atau Ang Thian Pa! Ang Lojin atau bekas ketua Bu-tongpai yang kini telah meninggal dunia dan kedudukannya sebagai ketua Bu-tong-pai telah digantikan oleh seorang sutenya, hanya mempunyai seorang anak tunggal, seorang puteri bernama Ang Siok Bi. Sebagai puteri tunggal, tentu saja Ang Siok Bi juga mewarisi ilmu kepandaian ayahnya yang tinggi.

Di dalam cerita SEPASANG PEDANG IBLIS diceritakan dengan jelas betapa Ang Siok Bi yang masih gadis, baru berusia sembilan belas tahun, pada suatu hari diperkosa oleh seorang pemuda dan biarpun akhirnya dia bersama Puteri Milana dan Lu Kim Bwee, ibu Ceng Ceng seperti yang telah dituturkan di depan, dapat membunuh pemuda yang mernperkosanya itu, namun seperti Lu Kim Bwee pula, perkosaan atas dirinya itu membuat dia mengandung dan akhirnya melahirkan seorang anak laki-laki anak itu diberi nama Ang Tek Hoat, yaitu pemuda yang berada di dalam rumah makan itu. Karena merasa malu akan aib yang menimpa diri puterinya yang melahirkan anak tanpa ayah, hal yang mencemarkan nama besarnya sebagai ketua Bu-tong-pai, kakek Ang jatuh sakit sampai meninggal dunia ketika Tek Hoat masih bayi.

Lebih menyedihkan lagi bagi Ang Siok Bi, melihat dia melahirkan anak tanpa ayah, Bu-tong-pai merasa dinodai namanya dan fihak pimpinan lalu mengeluarkan keputusan untuk mengeluarkan Ang Siok Bi sebagai anggauta Bu-tong-pai. Peristiwa ini terlalu hebat bagi Ang Siok Bi. Dengan hati yang hancur dia lalu meninggalkan Bu-tong-pai, mem-bawa anaknya yang masih bayi. Untung baginya bahwa para pemimpin Bu-tongpai masih mengingat dia sebagai puteri bekas ketua mereka, maka kepergiannya disertai bekal yang cukup sehingga Ang Siok Bi dan puteranya tidak akan mengalami nasib sengsara dan kelaparan. Ang Siok Bi membawa puteranya itu mengasingkan diri ke sebuah bukit sunyi di lembah Sungai Huang-ho. Bukit ini oleh penduduk di sekitar daerah itu dinamakan Bukit Angsa, karena dilihat dari jauh mirip seekor angsa sedang tidur.

Dengan uang yang diperoleh dari Butong-pai, juga dengan menjual perhiasan pribadinya, Ang Siok Bi membangun sebuah rumah kecil yang cukup mungil di puncak Bukit Angsa, hidup berdua dengan puteranya di tempat sunyi ini. Hanya kadang-kadang saja dia membawa puterinya turun bukit mengunjungi dusun-dusun terdekat untuk membeli keperluan hidupnya yang tidak banyak karena tanah di puncak bukit itu amat subur, penuh tetumbuhan yang dapat dimakan. Sejak kecil, Ang Siok Bi menggembleng puteranya itu. Tujuan hidupnya hanya satu, yakni mendidik agar puteranya menjadi seorang yang terkenal dan pandai di kemudian hari. Setelah puteranya agak besar dan Tek Hoat sudah mengerti karena pergaulannya dengan anak dusun sebaya yang suka menggembala domba di lereng bukit kemudian bertanya kepada ibunya, Ang Siok Bi mengatakan bahwa ayah anak itu telah meninggal dunia sejak ia ia masih dalam kandungan.

"Mengapa, ibu?"

Tanya anak kecil berusia enam tahun itu.

"Mengapa ayahku meninggal dunia?"

Repot juga hati Ang Siok Bi menghadapi pertanyaan anaknya ini, kemudian timbul akalnya agar anak ini tidak terlalu ingat kepada ayahnya, maka dengan sembarangan saja dia berkata,

"Ayahmu meninggal karena dibunuh penjahat. Oleh karena itu, kau harus belajar dengan tekun agar kelak dapat menjadi orang gagah pembasmi penjahat."

Tek Hoat yang kecil itu mengerutkan alisnya.

"Siapa yang membunuh ayah?"

"Tak perlu kau ketahui namanya karena dia sudah mati. Ibu telah membalaskan kematian ayahmu."

"Jadi pembunuh ayah itu telah ibu bunuh? Ahhh, sayang...."

"Eh? Mengapa sayang?"

"Karena kalau dia masih hidup, aku sendirilah yang kelak akan membunuhnya!"

Ang Siok Bi merangkul anaknya dan mencium pipinya, mengusapkan dua titik air matanya kepada baju anaknya agar Tek Hoat tidak melihatnya. Bicara tentang ayah anak ini, teringatlah dia akan segala pengalamannya di waktu dahulu bersama Gak Bun, Beng (baca cerita SEPASANG PEDANG IBLIS), orang yang bagaimanapun juga tak pernah dapat dilupakannya. Biarpun Gak Bun Beng telah memperkosanya, biarpun kemudian dia bersama Milana dan Lu Kim Bwee telah berhasil membunuh laki-laki itu namun harus diakuinya bahwa dia masih mencinta Gak Bun Beng. Karena itu, bicara tentang laki-laki itu merupakan hal yang menusuk perasaannya.

"Ibu, siapa namanya?"

"Nama siapa?"

"Nama penjahat yang membunuh ayah itu."

"Namanya? Namanya.... Gak Bun Beng."

"Gak Bun Beng? Hemmm, aku takkan melupakan nama itu."

"Untuk apa, Tek Hoat? Orang itu telah mati."

"Orangnya sudah mati, akan tetapi namanyakan masih ada. Dan siapakah nama ayahku, ibu?"

Makin repot dan bingunglah Ang Siok Bi menghadapi pertanyaan ini. Dia mengerti bahwa tidak ada gunanya menyebutkan nama begitu saja karena puteranya tentu sudah tahu bahwa nama ketu-runan harus sama dengan keturunan ayahnya. Maka dia teringat kepada ayahnya. Ayahnya hanya dikenal orang sebagai Ang Lojin, ketua Bu-tong-pai. Tidak ada, atau jarang sekali, yang tahu bahwa nama ayahnya adalah Ang Thian Pa. Maka dia lalu menjawab,

"Ayahmu telah meninggal dan dahulu namanya Ang Thian Pa."

Anak itu kelihatan puas dan berkali-kali mengulang nama Ang Thian Pa ini, seolah-olah dia hendak menghafal nama itu, kemudian mengulang nama Gak Bun Beng. Diam-diam hati Ang Siok Bi terasa perih sekali dan dia merasa kasihan kepada puteranya. Sebagai seorang gadis yang sebetulnya masih muda kemudian hidup terasing di puncak bukit itu bersama puteranya yang amat disayangnya karena puteranya merupakan satu-satunya manusia yang dekat dengannya, tentu saja Ang Siok Bi tidak tahu tentang cara mendidik anak. Anak itu terlalu dimanjakannya, segala permintaannya dituruti saja, maka Tek Hoat menjadi seorang anak yang amat manja. Apalagi ketika ia memperoleh teman-teman yang bengal, ia lalu menjadi kepala di antara mereka,

Karena selain dia paling tampan, paling baik pakaiannya, juga dia paling kuat dengan kepandaian silatnya yang semenjak dia kecil diajarkan ibunya disamping pelajaran menulis dan membaca. Harus diakui bahwa Tek Hoat memiliki otak yang cerdas sekali. Semua pelajaran yang diberikan ibunya kepadanya, baik ilmu silat maupun ilmu menulis membaca, sekali dihafal dilatih terus saja bisa. Tentu saja ibunya merasa girang dan bangga sekali. Dalam usia empat belas tahun saja, habislah semua ilmu silat yang dimiliki ibunya, semua sudah diajarkan kepada puteranya itui Ketika ibunya menyatakan bahwa tidak ada ilmu lain lagi yang dapat diajarkan, Tek Hoat merasa tidak puas.

Posting Komentar