Agaknya, makin keras mereka mempergunakan tenaga, semakin kuat pula tolakan Pek In Tosu yang menangkis mereka. Keduanya saling pandang, memberi isarat dengan kedipan mata dan tiba-tiba merekapun menghentikan serangan mereka dan berdiri di depan dan belakang Pek In Tosu dalam jarak kurang lebih tiga meter. Kemudian, mulailah mereka berjalan mengitari kakek yang duduk bersila itu dan keduanya mulai mengeluarkan lagu-lagu pujaan atau nyanyian yang biasanya mereka nyanyikan di dalam kuil mereka untuk memuja para dewa. Akan tetapi, lagu yang mereka nyanyikan ini lain lagi, ada hubungannya dengan ilmu sihir dan nyanyian ini bukan untuk memuja para dewa saja, melainkan juga untuk mengundang setan dan meminjam kekuasaan setan untuk mengalahkan musuh!
Suara nyanyian itu aneh dan menyeramkan. Suara Thay Ku Lama parau dan besar, dan kadang-kadang di dalam suaranya ada selingan suara kok-kok-kok seperti kalau dia mengerahkan ilmu Hek-in Tai-hong-ciang, sedangkan suara Thay Si Lama yang bermuka bopeng itu tinggi mencicit seperti suara seekor tikus yang terjepit. Suara nyanyian itu bukan suara sembarangan, melainkan dike-luarkan dengan tenaga khi-kang dan sihir, suara itu makin lama semakin menggetar dan berirama, dan dua orang pendeta Lama itu bernyanyi sambil melangkah mengelilingi tubuh Pek In Tosu dan kini kepala mereka menggeleng-geleng menurutkan irama lagu mereka! Aneh memang! Makin lama, nyanyian mereka itu seolah-olah terseret oleh gelombang suara nyanyian mereka.
Mula-mula, tubuh Pek In Tosu gemetar, kemudian, dari kepalanya keluar uap putih tipis yang membubung ke atas. Itulah tandanya bahwa dia sedang berjuang mati-matian untuk melawan pengaruh hebat dari nyanyian itu! Pek In Tosu bukanlah seorang yang lemah batinnya. Sebaliknya, karena hasil samadhi yang berpuluh tahun, dia memiliki batin yang amat kuat dan tidak mudah dia dipengaruhi kekuatan apapun dari luar. Namun, diserang oleh kekuatan suara itu, dia harus mengerahkan seluruh tenaga batinnya untuk tidak terpengaruh. Suara itu tetap saja terdengar biarpun dia berusaha mematikan pendengarannya, seolah-olah suara itu mempunyai kekuatan gaib untuk menembus dirinya tanpa melalui alat pendengaran! Dan getaran yang disebabkan suara itu membuat tubuhnya gemetar. Diapun lalu melawan, mengerahkan khi-kang dan dari kepalanya keluar uap putih yang makin lama semakin menebal.
Akan tetapi, pertahanannya agaknya goyah karena perlahan-lahan akan tetapi pasti, kepala Pek In Tosu mulai bergoyang-goyang perlahan-lahan! Makin lama, goyangan kepala Pek In Tosu semakin nyata dan mengarah geleng-geleng kepala seperti yang dilakukan oleh dua orang penyerangnya! Keadaan kakek tua renta itu kini gawat sekali. Ilmu yang dilakukan oleh dua orang itu adalah semacam ilmu I-hu-to-hoat (hypnotism) melalui pengaruh suara yang mengandung sihir. Kalau Pek In Tosu sudah benar-benar mengikuti irama nyanyian itu berarti dia sudah kena dicengkeram dan tentu dia akan mudah dirobohkan dan dibunuh karena semangatnya seolah-olah sudah di dalam cengkeraman kekuasaan dua orang pendeta Lama itu!
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan nyawa Pek In Tosu itu, tiba-tiba di dalam kesunyian tempat yang amat sepi itu terdengar suara yang memecahkan kesunyian. Tadinya hanya suara nyanyian aneh kedua orang pendeta Lama itu yang terdengar, dengan irama yang semakin mantap. Akan tetapi, tiba-tiba terdengar suara tak-tok-tak-tok yang nyaring, suara bambu dipukul-pukulkan pada batu! Suara inipun nyaring sekali, tidak kalah oleh nyaringnya suara nyanyian, dan berirama pula, akan tetapi iramanya sama sekali tidak serasi dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama! Bahkan sebaliknya, irama tak-tok-tak-tok itu menjadi lawan dan menjadi kebalikannya dan tentu saja kini terdengar suara yang kacau balau karena irama nyanyian itu bertabrakan dengan irama bambu yang dipukul-pukul batu.
Siapakah yang memukuli batu dengan bambu itu? Tak jauh dari situ nampak seorang anak laki-laki yang menggunakan sepotong bambu memukuli batu besar di depannya. Irama pukulan bambu itu bertolak belakang dengan irama nyanyian dua orang pendeta Lama, maka tentu saja hal ini mengganggu konsentrasi, bahkan mengacaukan "paduan suara"
Antara mereka. Dua orang pendeta Lama itu terkejut dan marah, dan mereka cepat-cepat menyesuaikan irama nyanyian mereka dengan ketukan irama bambu, karena kalau irama mereka bersatu, maka kekuatan daya serangan dari suara mereka akan menjadi semakin mantap dan besar. Seperti orang bernyanyi yang diiringi musik, akan menjadi semakin enak didengar dan menghanyutkan.
Sejenak mereka berhasil dan nyanyian mereka itu menjadi semakin mantap, dan kini Pek In Tosu makin mengikuti bunyi nyanyian itu, mengikuti iramanya dengan geleng-geleng kepala! Akan tetapi hanya sebentar saja karena ketukan bambu itu kini berubah lagi iramanya, kembali menjadi berlawanan dengan irama nyanyian dua orang pendata Lama, bahkan kini ketukannya menjadi keras dan iramanya sengaja dibuat kacau-balau, kadang-kadang cepat, kadang-kadang sedang dan berubah lagi menjadi lambat, kadang-kadang iramanya satu-satu, dua-dua, berubah menjadi satu-dua satu-tiga, dua-tiga dan sebagainya. Tentu saja tidak mungkin bagi dua orang kakek Lama untuk menyesuaikan lagi irama nyanyian mereka dan kini bunyi-bunyian yang terdengar demikian kacau balau sehingga daya hanyutnya menjadi kacau dan lemah sekali, Dan Pek In Tosu, seperti orang yang baru sadar bahwa tadi dia telah hanyut, kini nampak duduk bersila dengan tegak lurus dan sama sekali tidak bergerak! Dari kepalanya juga tidak lagi keluar uap putih, dan kepalanya tidak lagi digeleng-gelengkan. Bahkan dua orang pendeta Lama yang tadinya mengitari Pek In Tosu sambil bernyanyi dan menggeleng-geleng kepala memantapkan irama nyanyian mereka, kini langkah-langkah kaki mereka kacau, dan gelengan kepala mereka ngawur dan kacau, kaku dan kadang-kadang keliru menjadi angguk-anggukan! Anak laki-laki itu berusia kurang lebih tiga belas tahun dengan pakaian yang sudah kumal den robek-robek seperti pakaian seorang gelandangan. Rambutnya panjang den tidak terawat, awut-awutan, sebagian menutupi dahi dan mukanya.
Wajah itu tidak buruk, bahkan bentuknya tampan, matanya lebar dan memiliki sinar terang, sepasang mata yang jernih dan jeli seperti mata burung Hong, namun wajah itu mendatangkan rasa iba bagi yang melihatnya. Punggungnya bongkok dan agaknya ada daging menonjol di punggung itu. Anak itu bukan lain adalah Sie Liong! Seperti kita ketahui, Sie Liong merasa selalu berduka dan gelisah sejak terjadi peristiwa perkelahian antara dia yang membantu Yauw Bi Sian melawan Lu Ki Cong dan kawan-kawannya. Dia menerima kemarahan dari cihu-nya, bahkan menerima pukulan yang membuat kepalanya berdenyut nyeri dan punggungnya lebih nyeri lagi. Dan dia mendengar bahwa Lu Ki Cong, putera Lu-ciangkun komandan pasukan keamanan di kota Sung-jan itu bahkan telah disepakati akan menjadi calon jodoh Bi Sian!
Semenjak itu, hatinya selalu merasa tidak tenang, apalagi ketika mereka melakukan sembahyangan dan dia mendengar bahwa ayah ibunya meninggal dunia karena penyakit menular di dusun mereka, yaitu Tiong-cin, hatinya merasa semakin berduka dan gelisah. Pada suatu malam, ketika dia tidak dapat pulas dan selalu gelisah, dia meninggalkan kamarnya yang berada di ujung belakang, lalu berjalan ke kebun samping rumah. Tiba-tiba dia mendengar suara encinya bercakap-cakap dengan cihu-nya dan dari suara cihu-nya, dia tahu bahwa cihu-nya itu sedang marah dan suaranya keras! Memang kamar enci dan cihu-nya itu menghadap ke kebun dan suara itu keluar melalui celah-celah jendela mereka yang tertutup. Kamar Bi Sian berada di sebelah lagi, dan jendela kamar gadis cilik itu telah gelap, tanda bahwa ia tentu telah tidur. Sebaliknya, dari jendela kamar encinya nampak cahaya lampu belum dipadamkan.
"Jelas bahwa dia salah besar!"
Terdengar suara cihu-nya membentak nyaring.
"Pertama, dia mencuri belajar ilmu silat padahal sudah kularang dia belajar silat! Ke dua, dia berani mencari keributan dan berkelahi dengan anak-anak, bahkan memukul dan menggigit putera Lu-ciangkun yang hendak kujodohkan dengan Bi Sian. Anak itu memang keterlaluan, dan engkau bahkan membela anak bongkok jelek itu!"
"Apa? Bongkok jelek katamu? Jangan kau kira aku tidak tahu bahwa engkaulah yang membuat dia menjadi bongkok!"
"Eh? Apa yang kau katakan itu?"
Cihu-nya bertanya kaget, sama kagetnya dengan dia sendiri mendengar ucapan encinya itu.
"Ya, engkau yang membuat dia menjadi bongkok! Karena engkau takut kepadanya! Itu pula sebabnya engkau melarang dia belajar silat. Engkau takut kepadanya!"
"Ssttt....! Lan Hong, apa yang kau katakan ini?"
Terdengar encinya menangis.
"Setelah.... setelah apa yang kulakukan untukmu semua.... setelah kuserahkan badanku, Cintaku, kesetiaanku padamu, hanya dengan harapan agar adikku diselamatkan...., masih kurang besarkah pengorbananku? Dia sudah menjadi bongkok, cacat, dan engkau.... masih juga membencinya?"
"Kau keliru, Lan Hong. Engkau tahu bahwa akupun suka padanya, hanya aku...., benarlah, aku khawatir dan kau pun tahu betapa aku cinta padamu. Aku telah merobah hidupku, mencari nama baik dan kedudukan yang terpandang. Semua ini untukmu dan untuk Bi Sian. Akan tetapi adikmu itu.... dia seakan-akan menjadi penghalang kebahagiaan kita.... aku selalu khawatir dan kadang-kadang aku bermimpi buruk, tak dapat tidur...."
Hening sejenak, lalu terdengar encinya berkata lirih.
"Aku dapat memaklumi perasaan hatimu, akan tetapi.... aku tetap menuntut agar adikku yang tunggal itu tidak diganggu!"
"Lan Hong, demi kebahagiaan kita, anak itu harus disingkirkan."
"Apa?"
Encinya setengah menjerit.
"Maksud.... maksudmu....?"
"Biar kutitipkan dia di sebuah kuil besar, agar di sana dia dapat menjadi seorang kacung, dan mudah-mudahan kelak dia menjadi seorang hwesio. Bukankah hal itu amat baik baginya? Menjadi seorang hwesio adalah kedudukan yang terhormat, mulia dan disegani orang."
"Ahhh.... tapi.... tapi...."
"Tidak ada tapi lagi, isteriku yang manis. Bukankah engkau menghendaki agar kebahagiaan kita tidak terganggu dan keselamatan adikmu terjamin pula?"
Setelah hening sampai lama, encinya berkata,
"Baiklah, akan tetapi aku harus tahu di kuil mana dia dititipkan, dan aku dapat mengunjunginya dan menjenguknya sewaktu-waktu...."
Sie Liong tidak mendengarkan terus. Cepat dia kembali ke kamarnya dan dia duduk di atas pembaringannya dengan muka pucat dan bengong. Ingin rasanya dia menangis, menjerit-jerit saking nyeri rasa hatinya. Akan tetapi dia bertahan, bahkan menutupi mulutnya yang mulai terisak-isak itu dengan bantal.
Dia hendak disingkirkan? Dititipkan dalam kuil? Tidak! Dia tidak akan menyusahkan cihu-nya lagi!
Dia tidak akan membuat encinya cekcok dengan suami encinya. Bagaimanapun juga, dia dapat menduga bahwa cihu-nya tidak suka kepadanya, bahkan membencinya. Bukankah encinya mengatakan bahwa cihu-nya yang membuat dia menjadi bongkok? Ucapan ini mengejutkan dan juga membuat dia terheran-heran dan tidak mengerti. Dan cihunya takut kepadanya? Menggelikan dan mustahil! Cihunya, yang demikian gagah perkasa, yang tinggi ilmu silatnya, takut kepadanya, seorang anak bongkok yang lemah? Dan mengapa pula mesti takut? Tidak, dia tidak akan menyusahkan mereka lagi. Dia mengeraskan hatinya dan menghentikan tangisnya, lalu dengan perlahan-lahan agar gerak-geriknya tidak terdengar dari luar, dia mengumpulkan pakaiannya, membungkusnya dengan kain menjadi buntalan yang cukup besar. Kemudian dia menulis sehelai surat di atas mejanya.
Enci Lan Hong dan cihu,
Maafkan saya. Saya pergi tanpa pamit, hendak kembali ke dusun Tiong-cin di utara, selamat tinggal.
Sie Liong.
Biarpun dia baru berusia tiga belas tahun, namun Sie Liong yang bongkok itu memiliki otak yang cerdik. Dengan sengaja dia meninggalkan surat, menulis bahwa dim hendak pergi ke Tiong-cin. Padahal, setelah dia meninggalkan rumah cihu-nya membawa buntalan di punggungnya yang bongkok, dia sama sekali tidak pergi ke utara, melainkan ke selatan! Akan tetapi, dia sengaja keluar dari pintu gerbang kota itu sebelah utara, dan sengaja melalui jalan yang ramai sehingga nampak oleh beberapa orang ketika dia pergi melalui pintu gerbang kota sebelah utara. Begitu tiba di luar pintu gerbang, memasuki malam yang gelap, dia lalu menyelinap dan mengambil jalan memutar, melalui sawah yang sunyi, mengelilingi tembok kota itu dan melanjutkan perjalanan menuju ke selatan!
Tidak ada seorangpun yang melihatnya karena selain waktu sudah lewat tengah malam, juga Sie Liong dengan hati-hati sekali mengambil jalan sunyi yang sudah dikenalnya. Perhitungan anak ini memang tepat sekali. Pada keesokan harinya, ketika mendapatkan surat Sie Liong di atas meja, Lan Hong menangis sedih dan suaminya cepat melakukan pengejaran ke utara tentu saja! Apa lagi ketika Yauw Sun Kok mendengar keterangan beberapa orang yang sempat melihat Sie Liong di malam hari itu, membawa buntalan menuju ke pintu gerbang utara. Dari para petugas jaga di pintu gerbangpun dia mendengar bahwa memang benar anak bongkok itu semalam lewat dan keluar dari pintu gerbang itu menuju ke utara, melalui jalan besar. Yauw Sun Kok melakukan perjalanan cepat, berkuda, mengejar terus ke utara.
Akan tetapi sampai sehari dia melakukan perjalanan, belum juga dia berhasil menyusul Sie Liong! Tadinya dia mengira bahwa tentu anak itu mendapatkan boncengan ke utara, akan tetapi setelah sehari dia gagal, dia kembali lagi dan kehilangan jejak anak itu. Tidak ada orang yang melihatnya, dan dia mengira bahwa tentu anak itu telah mengambil jalan menyimpang. Akan tetapi jalan yang mana dan ke kanan atau kiri? Akhirnya, diapun pulang dengan wajah lesu. Dia tidak begitu susah ditinggal pergi adik isterinya itu, akan tetapi ada dua hal yang membuatnya gelisah. Pertama, isterinya tentu akan berduka, dan ke dua, dan ini yang amat mengganggunya, dia tetap mengkhawatirkan kalau-kalau kelak Sie Liong akan membalas dendam atas kematian kedua orang tuanya. Akan tetapi, apa yang perlu ditakutinya?
Anak itu bongkok dan cacat! Seperti telah diduganya, isterinya menjadi berduka dan dia harus ber-usaha keras untuk menghibur hati isterinya, mengatakan bahwa Sie Liong sudah cukup dewasa untuk mengurus dirinya sendiri, dan bahwa kebetulan sekali Sie Liong pergi karena kehendak sendiri, jadi mereka tidak perlu menyuruhnya atau membawanya pergi. Demikianlah, Sie Liong melakukan perjalanan seorang diri, manuju ke selatan. Dia selalu menghindarkan diri agar jangan bertemu orang selama beberapa hari itu, agar tidak ada orang dari kota Sung-jan yang akan melihatnya dan kemudian melaporkannya kepada cihu-nya. Dia memilih jalan liar melalui hutan-hutan dan pegunungan dan inilah yang mencelakakan dia.