Kisah Pendekar Bongkok Chapter 14

NIC

Kekuatan alam ini adalah kekuatan yang memperlihatkan kebesaran dan kekuasaan Thian, dan alam telah memberi tanda-tanda, getaran-getaran pada badan dan batin manusia. Kalau manusia itu bersih lahir batin dan menjadi peka, maka dia akan mampu menerima isarat-isarat gaib ini, tanda-tanda melalui getaran atau bahkan panglihatan, dalam sadar maupun dalam tidur. Dan Pek-sim Sian-su sudah mencapai tingkat seperti itu, maka tidaklah mengherankan kalau pada hari itu dia kelihataan berlari cepat melalui Tembok Besar menuju ke barat. Mari kita tengok apa yang sedang terjadi di perbatasan Propinsi Sin-kiang sebelah selatan yang berbatasan dengan Tibet.

Tak jauh dari dusun Sung-jan, agak ke selatan, nampak Pegunungan Kun-lun-san dengan bukit-bukitnya yang berbaris-baris, melintang dari barat ke timur menjadi perbatasan antara Sin-kiang dan Tibet. Biarpun tidak sebesar dan seluas atau setinggi Pegunungan Himalaya, namun Pegunungan Kun-lun-san inipun sudah tetkenal sekali dengan puncak-puncaknya yang tinggi, jurang dan celah yang amat lebar dan dalam, dengan hutan-hutan lebat dan liar amat berbahaya bagi manusia yang berani memasukinya. Dan di Kun-lun-san ini terkenal pula dengan adanya banyak pendeta dan orang-orang menyucikan diri, pertapa-pertapa dan orang-orang yang berilmu tinggi. Bahkan satu di antata orang-orang pandai itu membentuk Kun-lun-pai atau Partai Persilatan Kun-lun yang amat terkenal.

Kurang lebih tiga puluh tahun yang lalu, terjadi bentrokan antara para pendeta Lama di Tibet dengan beberapa orang pertapa di Himalaya. Yang menjadi sebab hanyalah perselisihan paham dalam kepercayaan dan keagamaan sehingga timbul bentrokan hebat! Betapa banyaknya tokoh agama yang lupa bahwa agama diadakan sebagai tuntunan terhadap manusia agar dapat hidup tenteram dan damai menjauhi segala bentuk permusuhan, kebencian dan kejahatan. Akan tetapi, tanpa disadari, diantara mereka malah bentrok sendiri karena persaingan dan pertentangan paham dan gagasan!

Bentrokan antara para pendeta Lama di Tibet dan para pertapa di Himalaya itu semakin meluas. Para pendeta Lama yang banyak jumlahnya dan di antara mereka banyak pula yang memiliki ilmu kepandaian tinggi, menyerbu Himalaya dan mereka ini menyerang semua pertapa tanpa memperhitungkan apakah mereka itu terlibat dalam permusuhan ataukah tidak! Banyak di antara para pertapa yang benar-benar sudah menjauhkan diri dari pada permusuhan, maka mereka itu mengalah dan diam-diam menyingkir dari Himalaya dan sebagian dari mereka "mengungsi"

Ke Kun-lun-san, mencari tempat pertapaan di tempat baru itu untuk menghindari permusuhan dan pengejaran para pendeta Lama di Tibet. Demikianlah, pada waktu ini, banyak terdapat pertapa di Kun-lun-san, yaitu para pelarian dari Himalaya.

Dan Pek-sim Sian-su juga merupakan seorang pertapa di Himalaya yang kemudian melanjutkan pengungsiannya ke timur, jauh di timur sampai dia menetap di Pegunungan He-lan-san di daerah Mongolia Dalam. Dan kini terjadi geger besar di Kun-lun-san karena munculnya lima orang pendeta Lama jubah merah yang mengamuk den menyerangi para pertapa di Kun-lun-san! Agaknya mereka itu adalah para pendeta dari Tibet yang masih menaruh dendam terhadap para pertapa asal Himalaya, dan mendengar betapa para pertapa itu banyak yang melarikan diri ke Kun-lun-san, maka lima orang pendeta Lama Jubah merah itu lalu mengamuk ke sana! Dan menurut kabar, lima orang pendeta Lama itu memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat, mereka itu sakti sekali dan sudah banyak pertapa yang tidak berdosa menjadi korban dan terbunuh oleh mereka!

Keributan yang terjadi di Kun-lun-san itu juga mengguncang ketenteraman Kun-lun-san. Tembok-tembok yang kokoh kuat dari perkumpulan silat besar ini seperti tergetar oleh keributan itu dan biarpun Kun-lun-pai tidak tersangkut, namun tentu saja para tokohnya merasa tidak enak. Kun-lun-pai sudah diakui sebagai sebuah partai persilatan yang besar, yang mengakui Pegunungan Kun-lun-san sebagai markas atau sumber mereka. Kalau kini ada orang-orang asing mengacau di Kun-lun-san, membunuhi para pertapa yang tidak berdosa, berarti mereka itu memandang rendah kepada Kun-lun-pai dan tidak menghargai Kun-lun-pai, berani melanggar wilayahnya bahkan mendatangkan kekacauan.

Sementara itu, serbuan lima orang pendeta Lama jubah merah dari Tibet itu mendatangkan perpecahan di antara para pertapa dan pendeta sendiri. Para pertapa atau pendeta yang menganut Agama Buddha banyak yang berpihak kepada para pendeta Lama, sebaliknya para pertapa dan pendeta yang menganut Agama To menentang. Perpecahan ini menimbulkan pertentangan dan perkelahian di antara mereka sendiri dan karena para pertapa ini sebagian besar adalah orang-orang yang amat lihai dan tinggi ilmu kepandaiannya, maka terjadilah perkelahian dan pertempuran yang amat hebat dan yang mengguncangkan Pegunungan Kun-lun-san dan menggetarkan tembok perkumpulan Kun-lun-pai.

Ketua Kun-lun-pai pada waktu itu berjuluk Thian Hoat Tosu, seorang penganut Agama To yang taat. Dia memimpin Kun-lun-pai dibantu oleh seorang sutenya yang berjuluk Thian Khi Tosu. Dua orang tosu ini memiliki ilmu silat yang tinggi dan di asrama Kun-lun-pai itu terdapat kurang lebih seratus orang murid Kun-lun-pai yang terbagi dalam empat tingkat. Murid kepala atau tingkat pertama, hanya ada belasan orang dan mereka inilah yang mewakili dua orang guru mereka untuk memberi latihan dan bimbingan kepada para murid yang lebih rendah tingkatnya. Thian Hoat Tosu dan Thian Khi Tosu merasa gelisah sekali dengan adanya keributan di Kun-lun-san, dan pada pagi hari itu, mereka berdua bercakap-cakap di ruangan dalam tanpa dihadiri seorangpun murid karena mereka ingin bicara empat mata saja.

"Suheng, keadaan ini tidak mungkin dapat dipertahankan dan didiamkan saja. Nama Kun-lun-pai akan tercemar dan menjadi buah tertawaan dunia kang-ouw sebagai tuan rumah yang tidak berani berkutik walaupun dihina oleh tamu-tamu kurang ajar!"

Kata Thian Khi Tosu dengan sikap marah.

"Siancai-siancai-siancai....!"

Thian Hoat Tosu berseru lembut sambil merangkap kedua tangan di depan dada.

"Semoga kita dapat tahan uji menghadapi cobaan ini, sute, Tentu engkau maksudkan gerakan yang dilakukan oleh para Lama jubah merah itu, bukan?"

"Benar sekali, suheng! Mereka itu dengan congkak mengaku sebagai Lima Harimau dari Tibet, dan lima orang pendeta Lama jubah merah itu sungguh sombong sekali. Mereka menyerang dan membunuhi para pertapa yang sudah lemah dan tua, mereka yang tidak berdosa apa pun. Bagaimana kita dapat memembiarkan saja mereka merajalela di Kun-lun-san yang menjadi wilayah kedaulatan Kun-lun-pai, suheng?"

"Aih, sute, apa yang dapat kita lakukan? Engkau tentu juga tahu bahwa permusuhan itu hanya merupakan kelanjutan saja dari permusuhan beberapa puluh tahun yang lalu di Himalaya. Para pendeta Lama itu agaknya mewakili para Dalai Lama di Tibet untuk menghukum mereka yang datang dari Himalaya. Selama mereka itu tidak mengganggu Kun-lun-pai, apa yang dapat kita lakukan? Mereka itu bermusuhan, dan kita tidak terlibat apapun, bagaimana kita dapat mencampuri? Bisa menimbulkan salah paham lebih besar, sute."

"Tidak, suheng, pinto tidak setuju dengan pendapat itu! Kita selalu mencoba untuk menanamkan jiwa kesatria, jiwa kependekaran kepada para murid, agar mereka itu menentang yang jahat sewenang-wenang dan membela kaum lemah tertindas. Kalau sekarang kita melihat Lima Harimau Tibet itu sewenang-wenang membunuhi orang tidak berdosa dan kita tinggal diam, bukankah hal itu memberi contoh buruk sekali kepada para murid?"

"Ingat, sute, selain itu kita juga mengajar mereka agar tidak mencampuri urusan orang lain yang tidak kita ketahui duduk perkaranya. Dalam urusan antara para Lama dan para pertapa itupun kita tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi antara mereka, tidak tahu siapa benar siapa salah. Bagaimana mungkin kita mencampuri? Tidak, sute, sekali lagi kuperingatkan. Jangan engkau membawa Kun-lun-pai ke dalam permusuhan antara mereka. Kita tunggu saja perkembangan selanjutnya."

"Dan membiarkan pembantaian terus dilakukan oleh para Lama yang buas itu? Ah, pinto akan bersamadhi dan mohon kekuatan batin bagi kita semua, suheng,"

Berkata demikian, dengan muka yang tidak puas dan penuh penasaran, Thian Khi Tosu meninggalkan suhengnya untuk bersamadhi di dalam kamarnya sendiri. Sementara itu, beberapa li jauhnya dari asrama Kun-lun-pai, dua orang pemuda sedang berjalan sambil memanggul belanjaan di punggung mereka. Mereka adalah Ciang Sun den Kok Han, dua o-rang murid Kun-lun-pai tingkat tiga, dua orang pemuda berusia kurang lebih dua puluh tahun yang sudah lima tahun menjadi murid Kun-lun-pai. Mereka itu bertubuh tegap dan bersikap gagah, dan biarpun sudah lima tahun berlatih dengan tekun, mereka baru memiliki tingkat tiga.

Hal ini membuktikan betapa tingginya ilmu silat Kun-lun-pai, dan betapa sulitnya untuk mencapai tingkat pertama. Sebagai murid tingkat tiga, mereka sudah diperkenankan membawa sebatang pedang di pinggang mereka, walaupun pedang itu hanya mereka bawa sekedar untuk berjaga diri dan untuk dipergunakan membela diri saja, bukan untuk menyerang orang lain. Sangsi hukuman bagi murid Kun-lun-pai amat berat kalau mereka melanggar peraturan perguruan. Ciang Sun dan Kok Han berjalan memanggul barang belanjaan sambil bercakap-cakap. Mereka baru saja pulang dari sebuah pasar di dusun kaki pegunungan untuk membeli rempa-rempa dan bumbu-bumbu masak karena persediaan di asrama telah habis. Tiba-tiba keduanya berhenti melangkah dan memandang ke arah kiri dari mana mereka mendengar suara orang membentak-bentak.

"Engkau harus menjadi tawanan kami, menyerah untuk kami bawa pulang ke Tibet dan menerima keputusan pimpinan kami, atau kalau engkau tidak mau menyerah, terpaksa akan kubunuh di sini!"

Demikian suara yang membentak itu.

"Siancai....! Puluhan tahun yang lalu, ketika pinto masih agak muda dan bertapa di Himalaya, kalian ini para Lama sudah memburu dan membunuhi para pertapa yang tidak berdosa. Pinto tidak mau terlibat dan pergi mengungsi ke Kun-lun-san, dan hari ini, dalam usia pinto yang sudah tua, kalian tetap saja melakukan penangkapan dan pembunuhan terhadap kami yang tidak berdosa,"

Terdengar suara yang halus menjawab.

Ciang Sun dan Kok Han sudah menurunkan bawaan mereka dan dengan hati-hati menyelinap di antara pohon-pohon mendekati tempat itu, kemudian mereka mengintai. Kiranya dua orang pendeta Lama sedang menyeret seorang tosu tua yang kini duduk bersila di atas tanah, pakaiannya robek-robek, dan dua orang Lama itu berdiri dengan sikap mengancam di depannya. Dua orang Lama itu berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi besar, kepala mereka gundul dan pakaian mereka serba kuning dengan jubah luar berwarna merah darah. Adapun tosu itu berpakaian putih, kotor dan robek di beberapa bagian, rambutnya sudah putih semua, panjang dan digelung ke atas. Usia tosu itu tentu sudah tujuh puluh tahun.

"Tidak berdosa? Omitohud.... mana ada orang mengakui kesalahannya? Kalian ini para pertapa, sejak puluhan tahun yang lalu, di Himalaya telah mempunyai rencana jahat, berniat memberontak dan berusaha menggulingkan kekuasaan Dalai Lama dan merampas kekuasaan. Kalau orang-orang macam kalian ini tidak dibasmi, kelak hanya akan mendatangkan keributan saja!"

Bentak Lama yang ada codet bekas luka di dahinya.

"Sudahlah, untuk apa bicara panjang lebar dengan dia? Heh, tosu keparat, bukankah engkau seorang di antara mereka yang berani memakai julukan Himalaya Sam Lojin (Tiga Orang Kakek Himalaya) itu dan julukanmu adalah Pek In Tosu?"

Teriak Lama ke dua yang mukanya bopeng.

"Siancai...., memang pinto disebut Pek In Tosu, dan kami tiga orang kakek dari Himalaya sudah bersumpah tidak akan membiarkan kebencian menguasai hati, apalagi memberontak."

"Aahh, tidak perlu banyak cakap lagi!"

Kata pula si codet.

"Kalau hendak membela diri, nanti saja di depan pimpinan kami di Lhasa! Hayo ikut dengan kami!"

"Siancai....! Pinto sudah tua, tidak sanggup lagi melakukan perjalanan ke Tibet yang amat jauh itu. Pinto tidak bersedia ikut dengan kalian ke sana."

"Apa? Kalau begitu, kami akan membunuhmu di sini juga!"

Teriak si muka bopeng. Dua orang murid Kun-lun-pai yang sejak tadi bersembunyi dan mengintai, menjadi marah sekali dan kesabaran me-rekapun hilang.

Sebagai murid-murid Kun lun-pai yang sejak pertama kali masuk ke asrama itu diajarkan sikap pendekar yang menentang penindasan, tentu saja mereka marah melihat sikap dua pendeta Lama itu. Apalagi merekapun seperti murid Kun-lun-pai yang lain, sudah mendengar akan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh sekelompok pendeta Lama sebanyak lima orang. Kabarnya, mereka itu menangkapi dan membunuhi para pertapa, terutama para tosu dan hal ini sudah menimbulkan perasaan tidak senang dalam hati mereka terhadap para pendeta Lama itu. Kini mereka melihat dan mendengar dengan mata dan telinga sendiri, tentu saja mereka kehabisan kesabaran. Bagaikan dikomando saja, dua orang pemuda itu melompat ke depan dua orang pendeta Lama dengan sikap gagah.

Posting Komentar