Sie Lan Hong memandang wajah adiknya, alisnya berkerut.
"Kenapa engkau menanyakan hal itu, adikku? Tempat itu adalah tempat malapetaka bagi keluarga ayah ibu kita, sudah lama kulupakan dan kita sekarang menjadi penghuni kota Sung-jan ini."
"Aku hanya ingin tahu, enci. Siapa tahu, kelak ada kesempatan bagiku untuk berkunjung ke sana dan bersembahyang di depan makam ayah dan ibu."
Sie Lan Hong menggigit bibirnya. Tak mungkin ia membohongi adiknya lagi dan apa salahnya kalau ia memberitahu? Biarlah adiknya itu kelak bersembahyang di depan makam orang tua mereka.
"Dusun kita itu jauh sekali, di perbatasan utara sebelah barat, bernama dusun Tiong-cin."
Sie Liong mencatat nama dusun ini dan letaknya di dalam hatinya dan malam itu dia tidak dapat tidur, gelisah di atas pembaringan dalam kamarnya, apalagi karena kepalanya masih pening dan punggungnya masih terasa berdenyut nyeri.
Pada suatu pagi, nampak sesosok bayangan orang berjalan perlahan di atas Tembok Besar! Tembok Besar itu merupakan bangunan raksasa yang amat hebat, naik turun bukit dan jurang, me-manjang sampai ribuan li panjangnya sehingga disebut Ban-li Tiang-sia (Tembok Panjang Selaksa Li). Di beberapa bagian dari Tembok Besar ini memang dijadikan markas bagi pasukan-pasukan penjaga perbatasan, namun banyak pula bagian yang kosong dan sunyi sama sekali. Dan orang yang berjalan perlahan di atas Tembok Besar itupun berjalan seorang diri dalam kesunyian. Kemudian suara nyanyiannya memecah kesunyian pagi hari di antara bukit-bukit dan jurang-jurang yang penuh hutan lebat itu.
Tembok Besar memanjang ribuan li
bekas tangan manusia masih hidup atau sudah mati
Tembok Besar lambang kekerasan untuk mempertahankan kekuasaan
berapa puluh laksa manusia mati untuk menciptakan bangunan ini?
Nyanyian yang berakhir dengan pertanyaan ini tidak terjawab. Angin bertiup kencang dan menimbulkan suara ketika bertemu dinding tembok, bersiutan dan membuat rambut, kumis, jenggot dan pakaian kuning orang itu berkibar-kibar seperti bendera. Orang itu sudah tua sekali, jenggot dan kumisnya juga rambutnya yang dibiarkan riap-riapan, sudah putih semua.
Namun wajahnya masih nampak merah dan halus seperti wajah orang muda, tubuhnya yang tinggi kurus itu tegak lurus dan jalannya santai dengan langkah berlenggang seperti langkah seekor harimau. Usianya tentu sedikitnya tujuh puluh tahun. Pakaiannya hanya dari kain kuning panjang yang dilibat-libatkan di tubuhnya dari kaki sampai ke pundak, bagian pinggang diikat dengan tali kulit kayu, kakinya mengenakan sandal kulit kayu pula. Sambil berjalan seenaknya di atas Tembok Besar, dia memandang ke kanan kiri. Seluruh yang nampak di sekelilingnya agaknya tidak terlepas dari pandang matanya yang penuh kewaspadaan dan penuh semangat. Tangan kanannya memegang sebatang tongkat kayu sepanjang satu meter, akan tetapi agaknya bukan dipergunakan untuk membantu dia berjalan, melainkan dipegang seperti hanya untuk iseng-iseng saja.
Gerak-gerik kakek ini halus, sinar matanya lembut dan mulut yang dikelilingi kumis dan jenggot itu selalu tersenyum seolah-olah dia beramah tamah dengan alam disekelilingnya. Matanya bersinar-sinar penuh kegembiraan ketika dia menyapu segala sesuatu di sekelilingnya dari atas tembok yang tinggi itu dengan pandang matanya dan biarpun hanya sekelebatan, dia telah menangkap segala yang nampak karena pandang matanya seperti sinar lampu sorot yang amat kuat dan terpusat. Pohon-pohon tinggi besar yang tumbuh di sekeliling tempat itu nampak hijau dan liar. Bukit-bukit menjulang tinggi di kanan kiri, dan jurang-jurang amat dalam sehingga tidak nampak dasarnya. Kalau dia berjalan di bawah, di atas tanah, tentu akan sukar melihat semua itu bahkan melihat langitpun akan sukar saking lebatnya daun-daun pohon.
Akan tetapi, dari atas tembok yang tinggi ini, dia seperti berdiri di puncak sebuah bukit dan dapat melihat sekeliling dengan jelas. Beberapa ekor burung beterbangan dan seekor burung rajawali baru saja meninggalkan cabang sebatang pohon. Gerakannya ketika meloncat dan terbang membuat cabang itu bergoyang keras dan beberapa helai daun kering melayang-layang turun karena putus dari tangkainya. Sepasang mata kakek itu mengikuti beberapa helai daun kering yang melayang turun sambil menari-nari di udara itu, dan diapun tersenyum penuh bahagia. Betapa bahagianya orang yang masih mampu menikmati semua keindahan yang dihidangkan oleh alam di sekeliling kita. Kalau kita mau membuka mata dan mengamati sekeliling kita tanpa penilaian, maka kitapun akan dapat melihat segala keindahan itu!
Dalam gerak- gerik setiap orang manusia, lambaian setiap ranting pohon, sinar matahari, tiupan angin, cerahnya bunga dengan keharumannya, kicaunya burung, senyum seorang muda, pandang mata seorang ibu kepada anaknya. Betapa indah mentakjubkan kesemuanya itu! Sayang, batin kita sudah terlampau sarat oleh segala macam persoalan, segala macam masalah kehidupan, kepusingan, kesusahan, ketakutan, kekhawatiran, kebencian, permusuhan, iri hati, cemburu yang mendatangkan kesengsaraan dalam batin. Batin yang sengsara, bagaimana mungkin dapat melihat keindahan itu? Segala hanya akan nampak buruk dan membosankan! Tiba-tiba kakek itu mengangkat muka ke atas, agaknya dia baru teringat akan urusannya.
"Aih, masih amat jauh perjalanan, dan aku tidak boleh berlambat-lambatan begini."
Setelah berkata demikian, tubuhnya berkelebat dan lenyaplah bentuk tubuhnya. Yang nampak hanya bayangan kuning yang berkelebat cepat dan sebentar saja bayangan itu meluncur ke barat dan lenyap!
Kakek itu adalah seorang pertapa yang sudah puluhan tahun tidak pernah meninggalkan guha pertapaannya di He-lan-san, yaitu di daerah Mongolia Dalam sebelah selatan. Sudah dua puluh tahun kakek itu bertapa di He-lan-san, semenjak dia datang dari Pegunungan Himalaya di barat. Para penduduk perkampungan di sekitar Pegunungan He-lan-san menganggap dia sebagai seorang kakek pertapa yang baik hati, yang suka menolong orang dengan pengobatan, dan karena kakek itu dikabarkan amat sakti, maka semua orang menghormatinya dan dia disebut sebagai Pek-sim Sian-su. Sebutan pek-sim ini mungkin dimaksudkan untuk memujinya sebagai seorang yang berhati putih, seorang yang amat budiman. Dan kakek itu agaknya menerima pula begitu saja sebutan Pek-sim Sian-su (Guru Suci Berhati Putih).
Terjadi keanehan pada diri kakek itu. Beberapa waktu yang lalu, pada suatu malam, dia tiba-tiba saja terbangun dari tidurnya, lalu duduk bersila dan sampai setengah malam dia bersamadhi. Lalu paginya, tanpa pamit kepada siapapun, dia pergi begitu saja meninggalkan guha pertapaannya dan melakukan perjalanan ke barat! Yang dituju adalah perbatasan Sin-kiang dan Tibet! Malam itu, dalam tidurnya dia seperti mendapat ilham yang mendorong dia harus melakukan perjalanan secepatnya menuju ke tempat itu. Seorang yang hidup suci seperti Pek-sin Sian-su, peristiwa mendapat ilham atau isarat gaib bukanlah hal yang aneh lagi. Seorang manusia yang hidup bersih lahir batin, yang tubuhnya tidak dikotori makanan-makanan enak yang merusak, tidak dilemahkan oleh kegiatan-kegiatan yang bergelimang nafsu, yang batinnya tidak dikotori oleh segala macam kenangan, gagasan, tidak dikotori oleh segala macam nafsu maka dia memiliki badan dan batin yang amat peka!