Jodoh Rajawali Chapter 13

NIC

"Ayah hamba bernama Wan Keng In, putera dari Nenek hamba itu."

"Kalau Ayahmu she Wan, kenapa engkau she Ang?"

Kembali Tek Hoat terkejut dan merasa tidak enak sekali. Akan tetapi dia sudah berjanji akan menjawab sejujurnya! Dan andaikata yang bertanya ini bukan raja, calon ayah mertuanya, tentu dia sudah marah sekali.

"Itu adalah kehendak Ibu hamba yang bernama Ang Siok Bi."

Kini Raja Bhutan memandang tajam, tubuhnya agak mendekat dan suaranya terdengar lantang,

"Ang Tek Hoat, pernahkah Ibumu menikah dengan Ayahmu ltu? Siapakah Ayahmu yang sah?"

Kalau ada petir menyambar, kiranya Tek Hoat tidak akan terkejut seperti pada saat mendengar dua pertanyaan itu. Dia marah sekali, mukanya menjadi merah dan matanya mengeluarkan sinar berapi. Semua petugas dan pengawal yang menjaga di situ menjadi gentar dan siap siaga kalau-kalau panglima muda yang ditakuti itu akan mengamuk. Akan tetapi Tek Hoat lalu berkata, suaranya menahan kemarahannya,

"Hamba tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Itu adalah urusan hamba pribadi dan siapapun tidak dapat memaksa hamba untuk menjawabnya."

Raja Bhutan menggebrak meja di depannya.

"Brakkk! Ang Tek Hoat! Kami tahu bahwa engkau telah berjasa bagi negara ini, kami tahu pula bahwa antara engkau dan puteri kami terdapat perasaan cinta kasih. Akan tetapi, apakah itu cukup untuk mengangkatmu sebagai calon mantu kerajaan? Riwayatmu tidak terang dan agaknya tidak bersih, maka engkau pun harus mengerti betapa sulitnya bagi kami untuk mempunyai seorang mantu dan panglima yang tidak jelas riwayat hidup dan keturunannya. Bagaimana kami akan menghadapi pertanyaan-pertanyaan dari negara-negara tetangga? Hal itu akan menyeret kami dan keharuman nama keluarga kerajaan kami ke dalam lumpur!"

Makin merah wajah Ang Tek Hoat. Kalau dia tidak ingat kepada Syanti Dewi, tentu dia sudah mengamuk dan membunuh raja serta semua yang melindunginya. Akan tetapi dia masih ingat dan dapat membayangkan betapa akan berduka dan hancur rasa hati kekasihnya itu kalau dia melakukan hal itu. Pula, semua penderitaan hidupnya selama ini membuat dia makin kuat dan tahan menerima pukulan-pukulan batin yang hebat ini, dan dia dapat merasakan pula kebenaran bagi fihak keluarga raja. Maka perlahan-lahan dia bangkit berdiri dan berkata tenang.

"Sri Baginda, sebagai seorang laki-laki hamba sudah biasa menerima segala sesuatu secara terang-terangan. Harap saja Paduka juga berlaku terang-terangan menyatakan niat hati Paduka kepada hamba. Kalau sudah menjadi kenyataan bahwa hamba bukanlah keturunan ningrat, bukan pula keturunan orang terpelajar atau pun kaya, lalu bagaimana kehendak Paduka?"

"Ikatan jodoh dengan puteriku harus batal! Kami tidak mungkin mengambil mantu seorang seperti engkau, Ang Tek Hoat. Dan jasamu terhadap negara Bhutan pun tidak dapat dibalas dengan pengangkatan sebagai panglima. Engkau bukan bangsa kami dan jasa-jasamu itu akan kami balas dengan anugerah berupa harta benda yang boleh kau bawa pulang ke negerimu!"

Rasanya seperti hampir meledak dada Ang Tek Hoat.

"Sri Baginda! Ini sudah keterlaluan! Siapa yang menghendaki balas jasa? Siapa yang menghendaki pangkat? Siapa pula yang menghendaki kedudukan sebagai mantu raja yang terhormat? Hamba mencinta Puteri Syanti Dewi, hal itu sudah jelas, akan tetapi yang hamba cinta adalah pribadinya sebagai manusia, bukan kedudukannya sebagai puteri kerajaan! Hamba pun tidak membutuhkan pangkat ini!"

Dengan gemas Tek Hoat merenggut hiasan kepala dan melemparkannya ke atas lantai, lalu mencopot-copoti semua tanda pangkat dan melemparkannya ke atas lantai.

"Mulai saat ini hamba bukan lagi Panglima Bhutan, bukan lagi hamba Bhutan dan hamba pun tidak mengharapkan balas jasa sejemput batu sekali pun!"

Setelah berkata demikian, dengan muka merah dan dada panas Tek Hoat melangkah keluar persidangan, mengangkat dadanya dan siap untuk mengamuk apabila ada yang turun tangan. Akan tetapi untung, di antara para panglima dan pengawal, tidak ada yang mau turun tangan sehingga dengan leluasa, Ang Tek Hoat keluar dari istana itu. Ketika dia hendak mengunjungi Syanti Dewi, dia melihat betapa Istana di mana puteri itu tinggal terkurung rapat oleh pasukan yang jumlahnya ada seribu orang! Tahulah dia bahwa raja tidak menghendaki dia berjumpa dengan kekasihnya itu, dia tahu pula bahwa mengamuk seorang diri menghadapi bala tentara senegara merupakan hal yang bodoh dan tidak mungkin. Pula, kalau keluarganya tidak menghendaki, apa perlunya dia memaksa-maksa? Dia hanya akan membuat Syanti Dewi menjadi sengsara dan berduka saja.

"Syanti Dewi, selamat tinggal....!"

Dia berbisik, lalu pergilah Ang Tek Hoat dari istana itu, bahkan terus keluar, dari negara Bhutan pada hari itu juga. Diam-diam dia merasa berduka karena terpaksa harus meninggalkan kekasihnya, meninggalkan Syanti Dewi yang dicintanya sepenuh jiwa raganya. Dan dia tahu bahwa hal ini terjadi karena gara-gara ibunya. Siapa lagi kalau bukan ibunya yang menjadi biang keladi semua peristiwa yang menimpanya ini?

Sungguh terlalu! Ibunya sendiri pun agaknya tidak ingin melihat dia hidup bahagia di samping Syanti Dewi! Dengan hati penasaran Ang Tek Hoat mulai dengan perjalanannya kembali ke timur. Perjalanan yang amat menyedihkan. Makin jauh dia menuju ke timur, makin merana rasa hatinya yang direnggutkan dari kekasihnya yang tercinta. Sering kali, di waktu beristirahat, dia termenung seperti arca, dengan muka pucat dan wajah muram, dengan rambut awut-awutan dan pakaian kusut mengenangkan wajah Syanti Dewi dan dia merasa betapa hatinya perih sekali. Kadang-kadang, kalau rasa rindunya terhadap Syanti Dewi sudah tak tertahankan lagi, dia bersenandung, maksudnya untuk melupakannya, akan tetapi yang terdengar hanyalah senandung sedih penuh duka, sebagai pengganti tangis yang diharamkannya.

Akhirnya setelah melakukan perjalanan yang jauh dan lama, juga merupakan perjalanan paling pahit dan paling menyedihkan bagi Tek Hoat, sampailah pemuda itu di puncak Bukit Angsa, di lembah Sungai Huang-ho. Dari jauh dia sudah melihat pondok ibunya di puncak itu, pondok yang menjadi kampung halamannya, tempat dia bermain-main di waktu kecil. Ada rasa hati menyentuh perasaannya, akan tetapi kembali dia teringat akan kedukaan hatinya terpisah dari Syanti Dewi yang agaknya disebabkan oleh ibunya, maka lenyaplah perasaan haru itu, terganti rasa penasaran. Dia mempercepat langkahnya. Dia harus bertemu ibunya, harus menegur ibunya. Ibunya tidak berhak merusak hidupnya, merusak kebahagiaannya!

"Ma (Ibu)....!"

Dia memanggil ketika dia tiba di depan pintu pondok yang tertutup. Tidak ada jawaban.

"Ibu....!"

Dia memanggil lagi, kini dia mendorong pintu pondok. Bau yang tidak enak menyambutnya, membuatnya terhuyung mundur dan membuatnya waspada. Bau yang seperti racun, atau bau seperti bangkai busuk! Ditendangnya daun pintu terbuka. Gelap di dalam karena memang matahari sudah condong ke barat, dan di dalam pondok itu tidak memperoleh sinar lagi. Dia tidak berani sembarangan masuk dan dengan memutar dia menghampirl jendela kamar di sebelah barat rumah kecil itu. Daun jendela juga tertutup. Ditolak-nya dari luar.

Daun jendela terbuka dan Tek Hoat cepat mengelak karena begitu daun jendela terbuka, dari dalam menyambar jarum-jarum beracun berwarna hitam. Dia cepat memandang ke dalam. Kini ada sinar matahari senja menyorot masuk melalui lubang jendela. Jantungnya berdebar tidak karuan karena dari luar tadi dia melihat sesuatu yang membuat jantungnya seperti berhenti berdenyut, kemudian berdebar-debar. Setelah dia tiba di depan pembaringan kayu itu, jelas tampak olehnya benda yang membuat jantungnya berhenti berdenyut tadi. Rangka manusia! Rangka manusia yang terbungkus pakaian, pakaian ibunya seperti ketika datang mengunjunginya di Bhutan! Rambut ibunya yang berada di dekat tengkorak itu, dengan sanggul yang masih dikenalnya dan ada hiasan rambut berupa kembang teratai emas milik ibunya! Dia bergidik.

Posting Komentar