Kok Tiong bertukar pandang dengan Kok Han, keduanya menduga bahwa tentu itulah Suma-kongcu seperti yang disebut-sebut oleh tukang warung bubur hangat dan oleh pemuda berpakaian abu-abu yang lihai tadi.
"Kalau begitu, ke manakah perginya keluarga kami?"
Tanya Kao Kok Han dengan suara penasaran. Kembali Kim-hi Nio-cu memainkan matanya, mengerling tajam dan tersenyum manis penuh daya tarik.
"Hi-hikkk.... Ji-wi Kongcu yang baik, asal Ji-wi (Anda Berdua) dapat menemukan harta benda itu, yang katanya dibawa oleh pemuda yang bernama Suma-kongcu, dan menyerahkan harta itu kepada kami, hemm.... selain kami akan berterima kasih sekali, akan menjamu Ji-wi sebagai tamu-tamu kehormatan dan tamu-tamu agung, juga kami akan mengatakannya di mana mereka itu. Bagaimana? Nah, Ji-wi carilah pencuri itu sampai dapat, dan kami menanti di puncak Gunung Cemara. Sampai jumpa, Ji-wi Kongcu yang tampan, kami pergi dulu. Marilah, Adik Liong-li!"
Kim-hi Nio-cu menggandeng tangan Liong-li, kemudian sambil tertawa-tawa dan dengan lenggang yang memikat, kedua orang wanita cantik yang nyaris diperkosa oleh dua orang kakek tadi, meninggalkan dua orang putera Jenderal Kao yang berdiri bengong dan bingung. Tentu timbul pertanyaan di hati para pembaca budiman. Siapakah pemuda berpakaian abu-abu yang sederhana, tampan dan amat lihai itu? Bagi para pembaca cerita Kisah Sepasang Rajawali, pemuda ini bukanlah seorang asing karena dia merupakan seorang diantara tokoh-tokoh besar cerita itu.
Dia bernama Ang Tek Hoat! Pemuda ini adalah putera yang tidak sah dari mendiang Wan Keng In dan Ang Siok Bi. Ibunya itu, Ang Siok Bi, ketika masih gadis telah diperkosa oleh Wan Keng In dan mengandung. Dialah anaknya dan karena dia bukan anak sah dari Wan Keng In, maka ibunya memberi she ibunya dan she itu tetap terus dipakainya. Setelah melalui perjalanan hidup yang berliku-liku, yang di-tuturkan secara menarik dan menegangkan dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali, akhirnya Ang Tek Hoat diaku sebagai seorang pahlawan di negara Bhutan dan ditunangkan dengan Puteri Syanti Dewi, seorang puteri yang cantik jelita dan berbudi mulia, yang akhirnya jatuh cinta kepada Ang Tok Hoat, biarpun pemuda ini pernah menjadi seorang yang sejahat-jahat dan sekejam-kejamnya.
Mengingat bahwa ayah kandung Tek Hoat yang bernama Wan Keng In adalah anak tiri dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es, maka Tek Hoat terhitung keluarga Pulau Es yang terkenal, karena dia masih cucu tiri dari Pendekar Super Sakti. Di dalam cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa Ang Tek Hoat telah mewarisi ilmu-ilmu yang amat hebat dari dua orang datuk Pulau Neraka, dan kini dia memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat dan sukar memperoleh tandingan. Akan tetapi mengapa pemuda perkasa yang telah ditunangkan dengan Puteri Syanti Dewi, yang diaku sebagai pahlawan negara Bhutan karena pembelaannya ketika negara itu diserang oleh musuh-musuh, kini berkeliaran di lembah Sungai Huang-ho seorang diri? Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita mengikutinya sejenak semenjak empat tahun yang lalu, ketika dia terpaksa meninggalkan negara Bhutan.
Seperti telah dituturkan di dalam bagian terakhir dari cerita Kisah Sepasang Rajawali, Ang Tek Hoat telah ditunangkan dengan Puteri Syanti Dewi dan tinggal di Bhutan sebagai seorang pahlawan yang diangkat menjadi panglima. Dia telah menjadi seorang panglima muda yang terhormat, bahkan terkenal sebagai calon mantu raja, tunangan Puteri Syanti Dewi yang dipuja-puja oleh rakyat Bhutan. Hari pernikahan mereka hanya tinggal menanti keputusan raja saja, yang masih menangguhkannya mengingat bahwa Bhutan baru saja mengalami perang dan bahwa baru saja Puteri Syanti Dewi kembali ke istana Bhutan setelah beberapa tahun lenyap (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali). Akan tetapi, tidak ada kesenangan yang kekal bagi manusia yang hidup di dunia ini.
Di mana terdapat kesenangan, di situ pasti terdapat pula kesusahan. Susah dan senang, puas dan kecewa, suka dan duka, agaknya merupakan pasangan-pasangan yang tak dapat dipisahkan yang menghias kehidupan manusia. Kesenangan yang dinikmati oleh Ang Tek Hoat pun ternyata tidak kekal adanya. Terjadi hal yang sama sekali tidak disangka-sangkanya. Beberapa bulan sudah Ang Tek Hoat tinggal di Bhutan, di sebuah gedung kecil yang amat megah dan indah, sebuah bangunan istana yang tidak jauh dari istana raja. Hampir setiap hari dia dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan kekasihnya, yaitu Puteri Syanti Dewi, dan dalam beberapa bulan saja, tubuh Tek Hoat kelihatan segar, sehat dan agak gemuk. Akan tetapi diam-diam dia mulai tidak kerasan, karena kehidupan yang dialaminya sehari-hari terlalu enak, terlalu menganggur dan membuatnya malas.
Dia sudah biasa hidup merantau, sudah biasa menghadapi hal-hal yang menegangkan, yang memerlukan kecerdikan dan ketangkasannya untuk menghadapinya. Kini, dia tinggal di istana indah, tidak ada kerjaan apa-apa kecuali kadang-kadang menghadiri sidang di dalam istana, membicarakan urusan kenegaraan yang tidak begitu dimengerti dan dipedulikannya. Jiwa petualangan di dalam dirinya meronta dan membuat dia tidak kerasan. Namun perasaan ini tentu saja ditahan-tahannya, demi cintanya terhadap Syanti Dewi. Hari masih pagi sekali dan baru saja Tek Hoat mandi pagi dan bertukar pakaian ketika seorang pengawal menghadapnya dan melapor bahwa terjadi keributan di luar pintu gerbang istana karena ada seorang wanita yang memaksa hendak bertemu dengan Panglima Ang!
"Siapakah dia?"
Tanya Tek Hoat dengan alis berkerut, akan tetapi hatinya berdebar girang karena baru sekarang terjadi hal yang menegangkan, berbeda dari biasanya yang lewat dengan aman dan mulus tanpa peristiwa berarti.
"Dia tidak mau mengaku namanya, hanya mengatakan bahwa dia harus bertemu dengan Panglima Ang. Ketika di cegah, dia malah merobohkan dua orang perajurit pengawal dan karena dia mengaku kenal baik dengan Paduka, maka para komandan jaga tidak berani lancang turun tangan dan menyuruh hamba datang melapor. Tek Hoat lalu bergegas meninggalkan gedungnya dan pergi ke pintu gerbang di mana para perajurit sedang menghadapi seorang wanita yang marah-marah. Jantungnya berdebar keras ketika mendengar suara wanita itu, cepat dia lari menghampiri dan menguak para perajurit, melangkah ke depan wanita itu.
"Tek Hoat !"
"Ibu....!"
Semua orang melongo ketika melihat betapa panglima baru mereka itu berpelukan dengan wanita galak tadi. Kiranya wanita yang pakaiannya kusut dan kotor, yang galak dan angkuh itu adalah ibu dari panglima besar mereka, ibu dari calon mantu raja mereka, ibu dari tunangan Puteri Syanti Dewi mereka! Tanpa banyak cakap lagi karena di situ terdapat banyak orang, Tek Hoat lalu menggandeng ibunya, diajak ke istananya. Setelah tiba di istana, kembali wanita itu yang bukan lain adalah Ang Siok Bi, memeluk puteranya sambil menangis sesenggukan.
"Terlalu kau.... Tek Hoat, kau sampai bertahun-tahun tiada berita, aku sampai susah payah, sengsara mencari-carimu kiranya engkau menjadi seorang besar di negara asing ini hu-hu-huuuh...."
"Sudahlah, Ibu. Harap kau suka ampunkan aku. Aku mengalami banyak liku-liku dalam hidup, bahkan sampai terseret arus hidup ke tempat ini, dan baru saja hidupku teratur maka aku belum sempat menengok ibu di puncak Bukit Angsa. Sudahlah, ibu harap jangan menangis."
Setelah rasa penasaran dan keharuan hatinya mereda, Ang Siok Bi lalu mendengarkan penuturan puteranya, semenjak Tek Hoat meninggalkan lembah Huangho sampai dia menjadi panglima besar di Bhutan. Tentu saja semua itu dituturkannya secara singkat dan hanya garis-garis besarnya saja.
"Dan aku memperoleh kenyataan yang pahit, Ibu, yaitu bahwa musuh kita bukanlah Gak Bun Beng "
"Hemmm, aku juga sudah tahu!"
Tukas ibunya.
"Dan sekarang, setelah engkau enak-enak saja di sini sedangkan musuh ibumu masih enak-enak hidup dan engkau belum membalaskan dendam dan sakit hati ibumu? Anak macam apa engkau ini? Mau enak-enak saja di sini menjadi panglima?"
Tek Hoat terkejut.
"Ibu! Bukankah Ibu sendiri sudah tahu bahwa Paman Gak Bun Beng bukanlah musuh Ibu? Hampir saja aku berdosa besar dengan memusuhi Paman Gak Bun Beng yang ternyata adalah seorang pendekar budiman yang berbudi mulia, sama sekali bukan musuh kita, dan Ibu tentu sudah tahu pula bahwa musuh kita itu telah tewas."
"Maksudmu ?"
"Wan Keng In itu.... Ayah.... kandungku.... Si keparat jahanam yang memperkosa Ibu...., ahhh, mengapa dahulu Ibu menceritakan yang bukan-bukan kepadaku? Kiranya Wan Keng In yang memperkosa Ibu, akan tetapi dia menggu-nakan nama Gak Bun Beng sehingga Ibu mengira Gak Bun Beng yang menjadi Ayah kandungku dan Ibu membohongiku dengan cerita lain agar aku membunuh.... Ayah kandungku. Sekarang, syukur bukan Paman Gak yang berdosa, dan orang yang berdosa, she Wan itu dia telah mati. Habislah sudah riwayat busuk itu, Ibu."
"Siapa bilang habis? Aku, Ibumu, tidak akan merasa puas sebelum dapat membalas dendam yang kutanggung selama hidupmu ini."
"Maksud Ibu?"
"Wan Keng In si keparat sudah mati, akan tetapi Ibunya masih ada! lbu kandung keparat itu masih hidup!"
"Ihhhhh....!"
Tek Hoat berseru kaget dan membelalakkan matanya.
"Ibu tahu siapa Ibu Wan Keng In Itu?"
Ang Siok Bi mengangguk.
"Dia bernama Lulu, dia adalah isteri ke dua dari Majikan Pulau Es.
"Dan Majikan Pulau Es adalah Pendekar Super Sakti dan isterinya yang ke dua itu adalah Nenekku! Ibu, betapa mungkin kita harus membalas kepada Nenek yang tidak berdosa apa-apa itu!"
"Tidak peduli! Wan Keng ln sudah mampus, maka Ibunya, wanita yang mengandung dan melahirkan manusia iblis itu harus kita bunuh! Dan engkau sebagai anakku harus membantu Ibumu!"
"Ibu....!"
Tek Hoat menutupi muka dengan kedua tangannya, mukanya menjadi pucat sekali. Ang Siok Bi meloncat berdiri, lalu menyergap anaknya, memegang pundaknya dan mengguncangnya keras-keras.
"Apa? Kau.... kau takut? Kau jerih menghadapi keluarga Pulau Es? Baik, Ibumu akan pergi sendiri!"
"Ibu, jangan....! Bukan begitu maksudku. Akan tetapi aku.... aku telah menerima kebaikan Sri Baginda di Bhutan ini, aku...."
"Kau sudah mabuk kemewahan? Tugas hidupmu paling utama, membalas dendam Ibumu paling perlu, setelah itu terserah kau mau hidup bagaimana, aku tidak peduli lagi."
"Bukan itu, Ibu, akan tetapi aku.... aku telah bertunangan dengan puteri Raja Bhutan, dengan Puteri Syanti Dewi."
"Huh, lain kemewahan lagi!"
"Jangan Ibu berkata demikian,"
Tek Hoat berkata dengan nada agak keras karena dia merasa tersinggung.
"Ketahuilah, Ibu. Biarpun Syanti Dewi itu puteri raja, akan tetapi aku cinta padanya dan dia cinta padaku. Kami sudah saling mencinta dan dia adalah seorang gadis yang berbudi dan amat baik. Aku akan menikah dengan dia karena cinta, bukan karena dia puteri raja."
Ang Siok Bi mengangguk-angguk tak sabar.
"Baiklah, baiklah, kau cinta padanya, dan dia cinta padamu. Karena itu, kau boleh menikah dengan dia sekarang juga, lalu kau bawa dia pulang ke Bukit Angsa. Dia bukan menjadi halangan bagi kita untuk membalas ibu si keparat Wan Keng In!"
"Akan tetapi tidak mungkin itu, Ibu!"
Tek Hoat berkeras menolak.
"Tidak mungkin katamu? Mengapa?"