Han Ki berkata, lalu menodongkan pedangnya di belakang Ibu suri.
"Kalau menjerit, pedangku akan merampas nyawa!"
Pucatlah muka pelayan itu, kedua kakinya menggigil, tubuhnya gemetar dan tak terasa lagi ia menjatuhkan diri berlutut. Ibu suri yang sedang membaca kitab itu menghentikan bacaannya lalu menoleh. Ketika melihat seorang pemuda bertopeng saputangan memegang sebatang pedang telanjang di belakangnya, nenek ini tidak menjadi kaget atau takut, hanya terheran lalu bertanya lirih sambil bangkit berdiri.
"Engkau siapakah dan apa artinya perbuatanmu ini?"
Hati Han Ki sudah lemas menyaksikan sikap tenang nenek itu. Kalau nenek itu menjadi panik dan mencoba berteriak, tentu akan ditotoknya dan dipaksanya diam. Akan tetapi nenek itu sama sekali tidak kelihatan takut, bahkan menegurnya dengan suara halus dan sikap tenang penuh wibawa dan keagungan. Tanpa dapat ditahan lagi, Han Ki menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Hamba dikejar-kejar pengawal dan mohon perlindungan...."
Sejenak nenek itu menunduk, memandang wajah yang setengahnya tertutup saputangan itu.
"Hemm, apakah engkau yang diributkan semalam, engkau yang berani memasuki taman istana dan mengadakan pertemuan dengan Hong Kwi?"
"Benar, hambalah orang itu!"
"Siapa namamu?"
"Hamba Kam Han Ki...."
"She Kam? ada hubungan apa engkau dengan Kam Bu Song?"
"Paduka maksudkan Suling Emas? Dia adalah Pek-hu (uwa) hamba...."
"Hemmm....! Seorang pemuda gagah perkasa yang menghadapi bahaya sebagai akibat perbuatan sendiri, mengapa menjadi begini lemah? Mengapa tidak menghadapi bahaya itu sendiri, bahaya yang amat berharga kalau memang hatimu terdorong cinta kasih? Mengapa membawa-bawa aku seorang tua untuk ikut terseret akibat perbuatanmu? Kam Han Ki, benarkah sikapmu ini?"
Han Ki terkejut bukan main. Mukanya seperti ditampar dan ia merasa malu sekali. Memang, apakah tujuannya bersembuny di kamar nenek ini? Paling-paling dia akan menyeret nenek ini ke dalam kecemaran, seorang nenek yang begitu luhur budinya! Tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar. Han Ki terkejut, akan tetapi, nenek itu sambil berdiri dan masih memegangi kitabnya, menegur halus,
"Siapa di luar?"
"Hamba Jenderal Suma dan pengawal hendak mencari seorang buronan. Harap Paduka suka mengijinkan hamba memeriksa di dalam!"
Terdengar jawaban dari luar.
"Masuklah, daun pintu tidak dikunci,"
Jawab Si Nenek dengan tenang!
Daun pintu didorong terbuka dari luar dan Han Ki sudah bertindak cepat. Ia, melompat bangun dan mengancam dengan pedangnya di dekat leher nenek itu. Hal ini ia lakukan sekali-kali bukan untuk mengancam Si Nenek, melainkan untuk menolong nenek itu dari kecemaran. Kalau dia menodong dan seolah-olah memaksa nenek itu, berarti bahwa ibu suri sama sekali tidak melindunginya, tidak menyembunyikannya! Akan tetapi maksudnya ini agaknya tidak dimengerti oleh Si Pelayan yang terbelalak ketakutan dan menubruk kaki nyonya majikannya. Pada saat itu, muncullah Jenderal Suma Kiat bersama dua orang panglima pengawal. Mereka memandang tajam ke arah Han Ki dan sejenak menjadi bingung melihat betapa ibu suri ditodong oleh Han Ki yang memakai kedok saputangan menutupi separuh mukanya.
"Kam Han Ki, apakah engkau sudah menjadi pengecut, mengancam seorang wanita yang tak berdaya?"
Tegur Suma Kiat dengan suara marah sekali dan pedangnya sudah tergetar di tangannya, demikian pula kedua orang panglima sudah mencabut senjata dan di belakang mereka, di luar pintu terdapat banyak pengawal, berdesakan untuk melihat dan siap mengeroyok ketika mendengar bahwa orang buronan itu bersembunyi di kamar Ibu suri dan menodong nenek itu! Han Ki tidak menjawab dan kini nenek itu berkata,
"Goanswe dan para Ciangkun, harap jangan membikin ribut di dalam kamarku. Kalian boleh saja hendak menangkap orang ini, akan tetapi jangan sekali-kali di dalam kamarku. Keluarlah dan lakukan apa saja kalau orang ini sudah keluar kamar."
Suara nenek itu halus akan tetapi mengandung kepastian yang tidak boleh dibantah lagi. Suma Kiat dan dua orang panglima pengawal memberi hormat dan setelah melempar pandang mata marah sekalilagi ke arah Han Ki, mereka lalu keluar dari kamar itu.
"Orang muda yang gagah, sekarang keluarlah dan hadapi segala akibat perbuatanmu dengan gagah seperti pek-humu Suling Emas. Bagi seorang gagah, pilihan hanya dua, mati atau hidup akan tetapi keduanya tiada bedanya asal bersandar kebenaran dan kegagahan. Hidup sebagai seorang pendekar, mati sebagai seorang gagah, itulah kemuliaan terbesar dalam kehidupan seorang jantan."
"Terima kasih dan hamba mohon maaf sebanyaknya!"
Kata Han Ki, semangatnya timbul kembali oleh nasihat nenek itu dan sekali berkelebat, tubuhnya sudah mencelat keluar menerobos jendela kamar itu.