Iblis dan Bidadari Chapter 02

NIC

Liok Kong masih berdiri terpaku di atas lantai, tak dapat bergerak dan agaknya hanya jantungnya saja yang bergerak lebih cepat dari pada biasanya. Ia tidak perdulikan lagi siapa adanya Tan-piauwsu itu, akan tetapi ia cepat membungkuk dan memegang kedua pundak penari itu, mengangkatnya bangun dan berkata,

“Nona yang baik, sungguh merupakan kehormatan besar sekali mendapat sumbangan sedemikian hebatnya dari Tan- piauwsu. Kebetulan sekali kau datang hendak menghibur para tamu, maka cepatlah kau perlihatkan kepandaianmu menari!”

Orang tua mata keranjang ini merasa betapa pundak penari itu biarpun tertutup pakaian, namun terasa halus, lunak, dan hangat. Juga dari rambut penari itu tercium olehnya keharuman yang membuat semangatnya melayang jauh ke sorga ketujuh. Cepat ia lalu memberi perintah kepada para pelayannya untuk mempersiapkan tempat kosong di tengah ruangan itu untuk penari ini agar pertunjukkannya dapat dinikmati oleh semua pengunjung.

“Maaf, lo-ya,” kata pula penari itu dengan sikapnya yang lemah lembut dan lirikan matanya yang tajam mengiris jantung. “Ketiga lopek (paman tua) ini adalah penabuh- penabuh musik biasa saja yang hamba sewa, karena dari Buncu, hamba tidak membawa tukang penabuh musik sendiri.”

“Tidak apa, tidak apa!” jawab tuan rumah yang kaya raya itu gembira. “Yang penting bukan gamelannya, melainkan tarianmu. Eh, siapakah namamu, nona?”

“Apakah artinya nama seorang penari seperti hamba, lo- ya?”

Liok Kong tersenyum dan berusaha membuat bibirnya yang tebal itu tersenyum manis, tidak merasa bahwa usahanya ini gagal sama sekali dan senyumnya membuat wajahnya nampak menyeringai tidak menarik.

“Seorang nona yang demikian cantiknya tentu mempunyai nama yang indah pula!” kata seorang tamu muda yang bermata liar. Melihat betapa seorang yang masih muda dapat menduduki ruangan ini, dapat diduga bahwa ia adalah orang yang cukup penting. Memang demikian adanya.

Pemuda ini adalah seorang yang telah menjunjung tinggi nama sendiri karena kepandaian silatnya dan ia adalah seorang perampok tunggal yang telah terkenal sekali di daerah barat, yakni di Propinsi Kansu. Namanya Thio Kun, akan tetapi di daerah barat, ia terkenal sebagai si Pedang Maut.

Mendengar ucapan Thio Kun ini, para tamu yang duduk terdekat di tempat itu tertawa dan semua bibir tersenyum dengan mata mengerling penuh arti ke arah penari itu.

“Ha, ha, ha! Ucapan Thio taihiap tepat sekali!” kata Liok Kong lalu berkata pada penari itu. “Nona manis, sebelum kau mempertunjukkan tarianmu yang indah, lebih dulu beritahukanlah namamu.”

Dengan gaya yang amat menarik hati sambil menundukkan muka kemalu-maluan, nona penari yang cantik sekali itu lalu memperdengarkan suaranya yang merdu. Melihat keadaan yang sunyi senyap padahal ruangan itu penuh dengan para tamu, dapat ditarik kesimpulan bahwa semua orang memperhatikan jawaban ini dan semua orang ingin mendengar siapakah nama penari yang luar biasa ini.

“Lo-ya, hamba she Ong bernama Lian Hong, seorang gadis yatim piatu m iskin yang mengandalkan hidup dari sedikit kepandaian menari.”

“Bagus, bagus! Benar-benar indah sekali namanya!” Thio Kun berseru gembira sambil menepuk-nepuk tangannya. “Lian Hong .... sungguh nama yang merdu terdengar. Liok lo- enghiong, suruhlah nona Lian Hong lekas menari. Aku tak sabar lagi untuk segera menikmati tariannya yang indah!”

Ucapan ini mendapat sambutan sebagai pernyataan setuju dari sebagian besar para tamu yang hadir di situ. Tiba-tiba orang tua penabuh gamelan segera memulai memperdengarkan lagu yang merdu. Mereka bertiga mainkan tiga macam alat musik, sebuah suling, sebuah pipa (seperti gitar), dan yang seorang lagi memegang tambur kecil untuk mengatur irama. Merndengar bunyi-bunyian ini, semua orang menjadi kecewa karena ternyata bahwa musik terdiri dari tiga orang ini tidak merupakan sesuatu keistimewaan. Banyak rombongan musik yang dapat main jauh lebih bagus dari pada yang tiga orang ini.

Akan tetapi, setelah nona Ong Lian Hong menjura keempat penjuru dan mulai berdiri tegak, lalu mendengarkan irama musik, kemudian mulailah dengan tariannya, buyarlah semua kekecewaan para pendengar tadi. Bukan main indahnya tarian nona ini, atau mungkin juga bukan tariannya yang indah, melainkan gerakan tubuhnya yang menggiurkan itu.

Tubuhnya bergerak dengan lemah gemulai bagaikan sebatang pohon yang-liu tertiup angin lalu. Sepuluh jari tangannya yang kecil dan halus itu seakan-akan sepuluh ekor ular yang hidup dan bergerak amat indahnya. Pinggang yang sudah amat ramping itu bagaikan makin mengecil lagi tatkala tubuhnya bergerak melenggang-lenggok. Kerling matanya mengalahkan sambaran halilintar, senyumnya menyaingi bulan purnama.

Ternganga semua tamu, termasuk tuan rumah. Selama hidup mereka belum pernah menyaksikan tarian yang indah seperti ini, atau lebih tepat, seorang penari muda secantik dan sebagus bentuk tubuhnya.

Setelah menari beberapa lama, Ong Lian Hong lalu mengeluarkan sehelai selendang merah yang tadi diselipkan di ikat pinggangnya dan kini ia menari dengan selendang itu. Makin terpesonalah semua tamu menyaksikan tari selendang ini, karena benar-benar amat indahnya.

Dengan cekatan sekali sepuluh jari tangan itu menggerakkan selendang sehingga selendang itu menari-nari di udara bagaikan seekor ular naga. Akan tetapi ketika ia merobah gerakan tangannya, selendang itu menjadi seperti bunga mawar merah yang tercipta di udara dan sebentar kemudian melambai lagi lalu terlepas pula, merupakan selendang sutera yang halus membelai kepala, leher, dan pinggang penari itu.

Ketika nona penari itu menghentikan tariannya, barulah terdengar suara pujian yang seakan-akan menumbangkan tiang-tiang rumah gedung itu dan menggetarkan genteng- genteng. Sorak sorai menggegap gempita, diselingi teriakan- teriakan kagum.

Suara pujian ini demikian kerasnya sehingga para penduduk yang tadinya tinggal di rumah menjadi tertarik dan berbondong-bondonglah mereka datang mengunjungi gedung yang sedang dipergunakan untuk tempat pesta itu. Di pekarangan depan berjejal-jejal penduduk yang ingin menjenguk ke dalam. Para tamu yang tadinya berada di ruang kanan dan kiri tanpa dapat dicegah lagi telah masuk ke ruang dalam. Hal ini dapat terjadi karena di situ tidak terdapat penjaga lagi, karena semua penjaga juga telah masuk ke dalam dan menonton.

“Bagus, bagus! Bukan main, Ong-siocia (nona Ong)!” Liok Kong memuji sambil menghampiri gadis penari itu. “Berikanlah selendangmu itu kepadaku, biarlah kutukar dengan ini!” Ia meloloskan sebuah hiasan topi terbuat dari pada emas ditabur batu permata.

“Nanti dulu, Liok lo-enghiong!” Thio Kun me lompat dan mengulurkan tangan. “Berikanlah se lendang itu kepadaku saja, nona! Akan kutukar dengan benda yang jauh lebih berharga lagi. Lihatlah ini!”

Ia mengeluarkan sebuah benda dari saku dalamnya dan semua orang memandang kagum. Di tangan Thio Kun terlihat sebuah patung terbuat dari batu pualam yang merupakan seekor kilin (binatang keramat seperti singa). Benda ini amat indah, sepasang matanya terbuat dari pada permata merah yang mengeluarkan cahaya gemilang. Tak dapat ditaksir berapa besarnya harga benda serupa ini. Sepasang mata penari itu seakan-akan mengeluarkan sinar kilat ketika ia melihat benda ini, akan tetapi sambil tersenyum ia lalu berkata,

“Terima kasih banyak, siauw-ya (tuan muda), akan tetapi hamba hanyalah seorang utusan yang harus menghormat kepada tuan rumah. Oleh karena itu, selendang ini terpaksa hamba serahkan kepada Liok-loya!” Sambil berkata demikian, dengan gaya manis dan dengan kedua tangannya ia memberikan selendang merah itu kepada Liok Kong yang menerima sambil tertawa besar.

Kakek mata keranjang ini ketika menerima selendang sengaja hendak memegang lengan yang halus itu, akan tetapi ia merasa heran sekali ternyata ia menangkap angin. Entah bagaimana, yang tertangkap olehnya hanya selendang merah itu saja. Liok Kong menganggap hal ini hanya kebetulan saja dan tertawalah ia bergelak sambil berkata kepada Thio Kun yang menyimpan kembali patungnya.

“Kau mendengar sendiri kata-katanya, Thio-taihiap, maka kau harus mengalah kepadaku!”

Thio Kun tersenyum masam dan berkata sambil menghela napas.

“Kau yang beruntung, lo-enghiong. Akan tetapi, siapa tahu kalau-kalau lain kali aku akan dapat kesempatan menarik tangan nona ini menjadi kawan se lama hidupku!”

Semua tamu yang sudah terpengaruh arak keras, tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan ini. Beberapa orang tamu yang sopan, seperti para hwes io dan tosu, hanya menggeleng kepala saja, namun mereka sudah maklum akan adat orang kang-ouw yang aneh dan kadang-kadang kasar, maka mereka juga mendiamkan saja.

“Mari ... marilah nona, kau mendapat kehormatan untuk duduk menemani kami dimeja besar. Untuk tarian sehebat itu kau harus diberi penghormatan dengan tiga cawan arak wangi!” kata Liok Kong.

Nona penari itu tidak menolak, lalu duduk dengan sikapnya yang sopan santun dan halus, sedikitpun tidak nampak kikuk atau canggung, akan tetapi sama sekali tidak memperlihatkan sikap kegenit-genitan seperti sebagian besar para penari bayaran. Justru sikap yang sewajarnya, dandanan yang sederhana, bedaknya yang tipis itulah yang membuat hati para lelaki di s itu tergila-gila.

Pada saat semua orang bergembira karena melihat betapa nona Ong Lian Hong menenggak tiga cawan arak tanpa berkedip mata, tiba-tiba terdengar bentakan nyaring sekali dan entah dari mana datangnya, tahu-tahu di tengah ruangan itu telah berdiri seorang gadis dengan sikap gagah sekali.

“Manusia she Liok, bersiaplah untuk menghadapi kematianmu!” demikian gadis ini membentak.

Posting Komentar