Dendam Si Anak Haram Chapter 43

NIC

tiang penglari sehingga tubuh tinggi besar itu kini terpaku oleh goloknya sendiri di atas langit-langit! Darah menyemprot dan hujan dari atas. tubuh itu berkelojotan kaki tangannya, lehernya mengeluarkan suara seperti babi disembelih.

Kwan Bu membuang muka, tidak mau memandang lagi dan ia berpaling ke arah Giok Lam. Sepasang mata Kwan Bu terbelalak dan mukanya menjadi merah. Giok Lam telah membebaskan gadis baju hijau itu yang kini telah berdiri berpelukkan dengan Giok Lam! Gadis baju hijau itu, yang pakaiannya robek-robek sehingga tampak sebagian dadanya, kini menangis dan menyandarkan muka di dada Giok Lam, sedangkan pemuda itu mengelus-eluskan rambut si gadis baju hijau dan berusaha membereskan letak pakaian si gadis baju hijau yang terbuka! Celaka, pikir Kwan Bu. Apakah Giok Lam juga seorang pemuda yang mata keranjang? akan tetapi, Giok Lam tidak memaksa gadis itu, tidak seperti si hwesio jahanam, maka iapun membuang muka dan hendak keluar dari kamar agar tidak “mengganggu” Giok Lam, akan tetapi ia mendengar si baju hijau itu berbisik,

“Untung engkau keburu datang, cici ”

“Ssstttt! Sudahlah, jangan banyak cakap. Mari kita keluar dari sini dan kita tolong wanita-wanita lain yang disekap di neraka ini!” Giok Lam melepaskan si baju hijau dan berkata kepada Kwan Bu yang sudah sampai di pintu, “Eh, Bu-Twako, bagaimana dengan dua ekor kerbau tadi?” Kwan Bu masih bengong di pintu dan masih membuang muka. Ia hampir tak percaya akan pendengarannya sendiri tadi. Giok Lam disebut “cici” oleh si baju hijau? Kini mendengar pertanyaan Giok Lam ia menjadi gugup.

“Suu.... sudah...... roboh...... mungkin pingsan. !”

“Eh, kau kenapa? Hayo cepat kita periksa dan tolong wanita-wanita lain,” Wanita baju hijau itu agaknya sudah dapat menekan kelegaan hatinya. Pakaiannya sudah rapi lagi dan ia sudah memegang sebatang pedang, yaitu pedangnya yang tadinya terampas oleh si hwesio tinggi besar ketika ia meloncat turun dan terjebak.

Wajahnya yang cantik menjadi beringas dan sekiranya di situ masih ada anak buah si hwesio cabul, tentu akan jadi korban senjatanya semua. akan tetapi ketika mereka bertiga akan memasuki kamar kedua di mana tadi kedua orang hwesio itu dirobohkan kwan Bu, ternyata bahwa tubuh mereka sudah hancur lebur, dicacah seperti daging bakso oleh kedua orang wanita yang menjadi korban. adapun dua orang wanita itu, yang telah melampiaskan kebencian mereka terhadap dua tubuh hwesio yang sudah tak berdaya, kini telah membunuh diri dengan dua batang pedang milik dua orang hwesio yang sebelumnya telah mereka pakai untuk mencacah tubuh mereka. Dua orang wanita itu telah membunuh diri di atas pembaringan. kamar itu banjir darah dan amat mengerikan!

“Kita bebaskan wanita-wanita di kamar tahanan! Mari ikut aku.” Wanita baju hijau itu berkata. Mereka bertiga lalu menuruni anak tangga kedua dan di dalam ruangan di bawah tanah mereka menemukan tujuh orang wanita muda yang dikeram di dalam kamar. Wajah mereka pucat-pucat dan sebagian dari mereka menangis sedih.

Tujuh orang wanita muda itu lalu diajak keluar dan setelah tiga orang gagah itu melakukan pemeriksaan, ternyata bahwa penghuni kuil itu memang hanya ada empat orang hwesio yang kesemuanya telah tewas. Si baju hijau lalu mengumpulkan perhiasan-perhiasan dan benda berharga, membagi-bagikannya di antara tujuh orang wanita itu. kemudian mereka keluar dari dalam kuil yang lalu dibakar oleh si wanita baju hijau, Kwan Bu yang masih terheran-heran kadang-kadang memandang Giok Lam dengan pandang mata bodoh dan bingung, mendiamkan saja semua perbuatan si baju hijau agaknya memang seorang wanita kang-ouw yang biasa melakukan perbuatan-perbuatan seperti itu. Juga Giok Lam hanya membantu dan beberapa kali menyatakan kagumnya.

Ketika kuil itu terbakar menggegerkan seluruh penduduk kota Sian-hu, tiga orang gagah yang mengawal tujuh orang wanita bekas tahanan itu telah berada jauh di luar kota. Mereka berhenti di jalan simpangan yang sunyi di luar kota, berhenti mengaso dan untuk bercakap-cakap. Wanita baju hijau itu menceritakan pengalamannya. Dia ini adalah seorang pendekar wanita terkenal yang dengan julukan Cheng I Lihiap (pendekar Wanita Baju Hijau) seorang murid Kun-lun-pai yang pandai. Sudah banyak perbuatan hebat ia lakukan di dunia kang-ouw sehingga namanya terkenal juga. Akan tetapi sekali ini, dalam penyerbuannya terhadap kuil di Ban-lok-tang, bukan hanya bermaksud membasmi penjahat cabul berkedok hwesio, melainkan juga untuk membalas sakit hatinya.

“Tong Hak Hosiang, ketua kuil itu adalah musuh besarku,” demikian antara lain ia bercerita. “Ketika aku masih kecil, hwesio palsu itu pernah mengganggu keluargaku. Ayah ibu melawan, akan tetapi ibu tewas dan ayah terluka. Semenjak itu, dia adalah musuh besarku dan malam ini dengan bantuan jiwi (tuan berdua) yang amat berharga akhirnya aku berhasil juga!” Dua titik air mata menuruni sepasang pipi yang kemerahan itu.

“Jadi semenjak dahulu dia sudah menjadi hwesio dan bernama Tong Hak Hosiang? Apakah dahulu dia bukan seorang perampok?” Mendengar betapa pemuda yang ia saksikan kelihaiannya itu bertanya dengan nada kecewa, wanita baju hijau menjawab cepat.

“Tidak pernah Tong Hak Hosiang dikabarkan menjadi perampok. Dia penjahat cabul dan mengumpulkan kekayaan dengan jalan menipu orang-orang yang percaya akan tahyul di kuil itu.”

“Kalau begitu bukan dia..?” Kwan Bu mengeluarkan ucapan ini lirih, seperti bicara kepada diri sendiri.

“Bu-Twako, siapa sih orang yang kau cari-cari itu?” Tanya Giok Lam. Kwan Bu menarik napas panjang dan menggeleng-gelengkan kepala. Wanita baju hijau itu kini sudah berdiri dan menjura kepada Kwan Bu dan Giok Lam.

“Sekarang saya mohon diri untuk pergi mengantar perempuan-perempuan ini pulang ke kampung masing-masing. Saya tidak akan melupakan nama Bhe Kwan Bu yang gagah dan nama Phoa Giok Lam yang manis budi. semoga jiwi dapat hidup bahagia.” Tujuh orang wanita itupun berlutut menghaturkan terima kasih kepada Kwan Bu dan Giok Lam sehingga dua orang ini sibuk menolak penghormatan itu. Kemudian mereka berdua berdiri memandang rombongan wanita yang dikawal Cheng I Lihiap sampai bayangan mereka lenyap. Tanpa sengaja mereka itu berpaling dan saling memandang. Sampai lama mereka saling pandang, tidak mampu membuka suara. Malam telah berganti pagi, cuaca remang-remang namun mereka masih dapat melihat sinar mata masing-masing yang seperti hendak menjenguk hati. Jantung Kwan Bu berdebar.

“Kau ... kau...”?” Suaranya gemetar. Giok Lam tersenyum.

“Aku....mengapa!” Lalu pemuda tampan ini membuang muka dan mengomel “Eh, twako, kenapa engkau menjadi begini aneh sikapmu? Pandang matamu seperti itu! Ahhh, jangan-jangan setelah menyaksikan wanita-wanita telanjang, engkau ketularan watak Tong Hak Hosiang.....!” Kwan Bu tertawa. Teringat ia bahwa Giok Lam tadi belum tahu akan terbukanya rahasia. Biarlah ia pura-pura tidak tahu!

“Dan engkau sendiri, Lam-te? Bagaimana perasaanmu?” Di dalam hatinya Kwan Bu menduga-duga siapa gerangan nama sebenarnya dari “pemuda” ini. Hemm, pandai benar memilih nama samaran memakai “Lam” yang berarti anak laki-laki.

“Huh, Bagiku tidak ada perubahan apa-apa. Eh, twako hebat sekali kepandaianmu. Baru sekarang aku percaya. Kau mengalahkan hwesio cabul itu dengan tangan kosong belaka sedangkan aku dengan golokku amat sukar mengatasinya! Twako, kau ajarilah aku beberapa pukulan lihai!” Kwan Bu yang kini mengerti bahwa Giok Lam adalah seorang wanita, menarik napas panjang dan ia tahu bahwa ia harus meninggalkan Giok Lam. Tak mungkin ia melakukan perjalanan bersama seorang gadis, biarpun gadis itu menyamar sebagai pria. Pendapat ini membuat hatinya berduka sekali. Sukar sekali ia menyatakan pendapat hatinya ini melalui mulut. Kembali ia menghela napas panjang lalu berkata.

“Lam-te, harap jangan terlalu memujiku. Kepandaianmu sendiri sudah amat lihai. Biarlah lain kali, kalau ada nasib baik, akan bertemu kembali denganmu dan kita bicara tentang ilmu silat. Sekarang, engkau maklum sendiri bahwa aku sedang mencari seorang musuh besarku, Lam-te. Sebelum aku menemukan musuh besarku itu, aku merupakan seorang yang hidupnya terikat kewajiban. Maafkan aku, Lam-te, agaknya... kita harus saling berpisah di Sini..?”

“Eh eh Bu-twako! Agaknya engkau tidak suka ya berdekatan dengan aku? Begitu ketemu terus berpamit ingin berpisahan. Apakah aku sudah menjemukan hatimu twako?” Kwan Bu makin gugup.

“Ah,..ahh...tidak begitu, Lam-te! Hanya sayang jalan hidup kita bersimpang. Aku mempunyai urusan pribadi yang amat penting dan harus kuselesaikan lebih dulu”

“Hemmm, kau ini benar-benar seorang sahabat yang tidak dapat membedakan mana sahabat baik mana bukan! Tidak dapat mengenal budi! Tanpa menengok kebodohan sendiri, malam tadi aku sengaja mencarimu dengan maksud membantumu, agaknya karena kau melihat betapa tenagaku tidak ada gunanya, maka kau ingin memisahkan diri, menganggap aku hanya seorang penghalang belaka. Bukankah begitu, Bu-twako yang lihai?” Kwan Bu makin bingung dan diam-diam hatinya berdebar keras. Mengapa pemuda... ah, gadis ini amat memperhatikannya? Mengapa pula bahkan telah membela dan membantunya dalam penyerbuannya di kuil Ban-lok-tang? Tanpa disadarinya, karena pertanyaan-pertanyaan ini mendesak hatinya, mulutnya bertanya,

“Lam-te, mengapa... mengapa engkau begini baik terhadap diriku? Mengapa engkau suka membantuku dan begini memperhatikan diriku?” Giok Lam memandang tajam dan dengan hati berdebar, juga geli. Kwan Bu melihat betapa sepasang pipi yang halus itu menjadi merah. Ah, mengapa matanya seperti buta? Jelas bahwa “pemuda” ini adalah seorang gadis yang cantik. Kalau seorang pria mana mungkin begini tampan? Kalau saja ia tidak mendengar si baju hijau yang lebih tajam matanya itu menyebut “cici” kepada Giok Lam, tentu ia masih belum mengerti!

“Karena aku suka kepadamu, twako. karena kau sudah kuanggap seorang sahabatku, yang baik, dan karena kau amat lihai sehingga aku ingin sekali memetik beberapa ilmu darimu. Maka harap kau jangan sungkan lagi twako. Katakanlah, siapa musuh besar yang kau cari itu? Apakah dia seorang hwesio maka engkau menyelidiki keadaan Tong Hak Hosiang?” Kwan Bu tidak melihat adanya jalan untuk menghindari pertanyaan ini. Pula, pemuda atau gadis ini benar-benar ingin menolong setulus hatinya, megapa ia tidak berterus terang saja? “Sungguh, Lam-te. Aku berterima kasih sekali atas kebaikanmu. Aku hanya tidak ingin merepotkan engkau saja. Musuh besarku itu adalah seseorang yang tidak kukenal, juga tidak kuketahui nama ataupun wajahnya. Aku hanya tahu bahwa dia berusia enam puluh tahun yang pandai main golok, dan jarum. Keadaan Tong Hak Hosiang hampir sama dengannya, hanya bedanya, menurut penuturan Cheng I Lihiap tadi, sejak dahulu Tong Hak Hosiang adalah seorang hwesio. Adapun musuh besarku ini sejak dahulu adalah seorang perampok besar. Maka kini jelas bahwa bukan Tong Hak Hosiang musuh besarku. Aku masih mempunyai pandangan lain, yaitu kepala rampok di Hek-kwi-san yang katanya pandai main golok dan jarum.”

“Sin-to Hek-kwi ?” Kwan Bu memandang penuh selidik.

“Begitulah julukannya! Bagaiamana kau bisa tahu, Lam-te?” Giok Lam menggeleng-geleng kepala.

Posting Komentar