“Apa kau bilang? He, bung pelayan! Kau tadi menawarkan meja itu kepadaku, sekarang kau berikan kepada orang lain dan mengusir aku! Agaknya matamu sudah buta karena silau akan indahnya pakaian dan telingamu sudah tuli karena bising mendengar kerincingnya emas!” Setelah memaki dan puas melihat pelayan untuk mengangkat dada hendak balas memakinya, jari tangan Kwan Bu bergerak dan pelayan itu sudah tak dapat mengeluarkan kata-kata lagi. Jangankan bicara, bergerak pun tidak mampu karena tubuhnya sudah kaku seperti arca batu! Saking geetarnya, Kwan Bu menotoknya diluar tahu siapa juga karena kecepatan jari tangannya, menotok untuk membuat pelayan kaku selama beberapa jam, kemudian ia membalikkan tubuh hendak keluar dari restoran itu.
“Eeeh... nanti dulu, tunggu sebentar sahabat!” Terdengar teriakan nyaring dan sesosok bayangan berkelebat di depan Kwan Bu. Kiranya pemuda remaja yang tampan itu telah lari menyusulnya dan kini berdiri di depan. Sejenak mereka saling tatap dan Kwan Bu melihat betapa wajah yang tampan itu berseri-seri dan tersenyum ramah sekali kepadanya. Betapapun jengkel hati Kwan Bu tadi melihat muka berseri dan ramah itu seketika lenyap kemarahannya. Pula, memang bocah tampan ini tidak bersalah sama sekali. Yang bersalah adalah si pelayan yang menjilat si kaya menghina si miskin. Akan tetapi, karena bocah inilah yang menjadi biang keladi sehingga si pelayan menghinanya, ia bertanya dengan suara dingin.
“Kongcu (tuan muda) yang kaya raya dan berpakaian indah mau apakah menahan aku?” Pemuda remaja itu memperlebar senyumnya melihat sikap dingin dan mendengar ucapan yang mengandung ejekan dan kemarahan itu. Ia menjura dan berkata,
“Wah, kurasa engkau tidaklah sebodoh si pelayan tolol si tukang jilat sehingga menyebut-nyebut ku kongcu kaya raya. Sahabat baik kita sama-sama orang yang melakukan perjalanan dan kebetulan bertemu di sini. Akau menjadi penyebab keributan ini, maka untuk menebus dosa, aku mengundang engkau untuk duduk makan bersamaku. Meja itu cukup besar dan bangkunya ada banyak!” Kwan Bu yang masih panas hatinya hendak menolak, akan tetapi pemuda itu demikian ramah, senyumnya demikian manis, dan kini dengan sikap bersahabat sekali pemuda itu sudah menggandeng lengannya dan ditarik kembali ke ruangan itu, ke arah mejanya. Pada dasarnya Kwan Bu memang bukan seorang pemarah, betapa mungkin kini ia marah-marah terhadap seorang yang begini manis budi?
“Hemm, akupun tidak menyalahkan engkau... hanya pelayan itu..?” katanya gagap sambil melangkah di samping pemuda itu. Pemuda itu tersenyum.
“Memang pelayan idiot, tukang menjilat, mata duitan, patut diberi hajaran!” ketika mereka lewat di dekat pelayan yangmasih berdiri kaku dan mata melotot, pemuda tampan itu menampar pundak si pelayan dengan sikap menegur dan memberi hukuman. Akan tetapi diam-diam Kwan Bu terkejut karena diam-diam gerakan itu adalah sebuah totokan yang sekaligus memusnahkan totokannya tadi dan kini si pelayan mengeluarkan suara keluhan perlahan dan dapat bergerak kembali! Kini si pelayan itu tidak berani banyak cakap lagi. Setelah tubuhnya pulih ia terbongkok-bongkok di depan meja di mana Kwan Bu duduk berhadapan dengan pemuda remaja yang tampan tadi.
“Maaf... maafkan..? kata si pelayan. “Sudah, lekas sediakan arak dan bakmi serta daging panggang untukku.” Kata Kwan Bu dengan hati sebal. Pelayan cepat membalikkan tubuh untuk menyediakan pesanan Kwan Bu dan pesanan pemuda tampan tadi.
“Ah, twako, mengapa sungkan-sungkan amat? Aku sudah memesan banyak masakan untuk kita berduapun lebih dari cukup. Untuk apa memesan lagi?”
“Hemm, sudah mengganggu mejamu, masih harus mengganggu hidanganmu, mana mungkin aku ada muka untuk melakukan hal keterlaluan itu laote (adik)?”
“Wah, kalau begitu engkau tidak suka menerima uluran tangan persahabatanku, twako? Apakah karena twako merasa terlalu tinggi dan lihai maka menganggap aku seperti angin lalu?” Kwan Bu memandang dengan mata lebar. Bocah ini benar-benar aneh sekali. Sikapnya kekanak-kanakan, akan tetapi isi kata-katanya tajam berisi, juga melihat cara membebaskan totokan di tubuh pelayan tadi, membuktikan bahwa ia memiliki ilmu kepandaian yang tidak rendah.
“Bukan sekali-kali, mana mungkin aku memandang rendah kepadamu yang lihai, laote? Hanya aku sungkan mengganggu..?”
“Karena kita belum berkenalan? Nah, perkenalkanlah, twako, aku bernama Giok Lam, she Phoa. Engkau siapakah?”
“Namaku Bhe Kwan Bu, seorang perantau miskin..? Alis yang hitam itu terangkat ke atas, mata yang hitam itu memandang penuh perhatian dan kembali senyumnya melebar.
“Wah-wah, engkau sungguh pandai merendahkan diri, Bu-twako (kakak Bu)! Sungguh seorang taihiap (pendekar besar) yang rendah hati! Setelah kita berkenalan dan menjadi sahabat, perlu apa memakai sungkan-sungkan lagi? Bukankah seperti kata dunia kang-ouw, para pengembara adalah burung-buung yang bebas terlepas di udara, bukan seperti binatang-binatang di kandang yang dibatasi sopan santun kosong?” Kembali Kwan Bu tertegun. Bocah ini masih muda, tentu beberapa tahun lebih muda dari padanya, akna tetapi sikapnya seperti seorang petualang di dunia kang-ouw yang sudah kawakan raja. Mau tak mau ia tersenyum dan mulailah ia merasa suka kepada pemuda ini.
“Baiklah, Lam-te (adik Lam), aku takkan bersikap sungkan lagi terhadapmu. Akan tetapi, engkau tentu tahu bahwa seorang laki-laki harus pandai bersikap rendah hati namun menjunjung harga diri! Kalau kita tadi belum saling berkenalan, betapa mungkin aku berani mengganggumu? Sekarang keadaannya lain lagi. Kalau engkau sudi bersahabat dengan seorang seperti aku..?
“Nah, nah... mulai lagi ” Giok Lam memotong dan keduanya tertawa. Pada saat itu, si pelayan telah
datang dengan membawa seguci arak dengan dua mangkok arak. Dua orang pemuda yang baru berkenalan itu lalu mulai minum arak sambil bercakap-cakap menanti datangnya masakan yang dipesan. Makin lama mereka bercakap-cakap, makin sukalah Kwan Bu kepada kawan baru ini yang ternyata amat pandai bicara, pandai mencari bahan percakapan, amat ramah tamah gembira dan jenaka. Sungguh seorang pemuda yang memandang dunia ini dengan mata terbuka lebar, dan senyum siap di bibir, seolah-olah bagi dia hanya kegembiraan yang ada, tak kenal duka dan kecewa. Bercakap-cakap dengan orang seperti ini, tentu saja mudah terseret sehingga Kwan Bu belum pernah merasai saat-saat yang menggembirakan seperti bercakap-cakap dengan Giok Lam!
Ketika hidangan mereka tiba dan sudah diatur di atas meja, Kwan Bu hanya makan bakmi dan panggang daging yang dipesannya. Berkali-kali Giok Lam menawarkan masakan-masakan pesanannya yang mewah dan lezat, lengkap pula dari daging burung dara sampai jantung rusa dan masak cakar bebek yang amat terkenal lezatnya itu! Namun Kwan Bu hanya mengangguk tersenyum, berterima kasih, selanjutnya masih tetap makan bakmi dan daging panggang pesanannya sendiri. Makan ini pun sudah amat menyenangkan dan sedap rasanya karena memang hatinya sedang gembira.
“Wah, Bu-twako benar-benar terlalu seji (sungkan)!” tegur Giok Lam yang segera menggunakan sumpitnya, mengambil bakmi dan daging panggang di depan Kwan Bu.
“Kalau begitu, biarlah aku memberi contoh, Nah, sekarang aku makan masakan pesanan twako, biarlah kita berdua makan bakmi dan daging panggang ini saja, yang lain-lain pesananku biar saja untuk lalat nahh?”