Dendam Si Anak Haram Chapter 38

NIC

“Ah, sungguh merepotkan hiante, dan sungguh berani mulut ini mengeluarkan isi hati, akan tetapi apa boleh buat, demi kepentingan anak. !” Kwan Bu memandang heran.

“Apakah yang Kwa-piauwsu maksudkan dan mengapa pula engkau mengejar saya?” Kwa Sek Hong menghela napas panjang, kemudian ia memandang wajah yang tenang itu dan bertanya. “Sebelumnya harap hiante suka terus terang, apakah engkau belum beristeri?” Kwan Bu tercengang dan menggeleng kepala.

“Belum!”

“Sukurlah kalau begitu. Begini, Bhe-hiante.... ketika engkau pergi tadi, anakku Kwa Bee Lin tiba-

tiba menangis. Aku.. sebagai ayahnya mengerti, mengingat pertandingannya melawanmu tadi, betapa kau merampas sepatunya eh, tahun ini Bee Lin malah berusia delapan belas tahun. Aku

tentukan pilihan hatinya terhadap dirimu, hiante. Bagaimanakah, sukakah engkau membahagiakan hati seorang tua seperti aku, menerima usul perjodohan antara engkau dan Bee Lin?” Merah seluruh muka Kwan Bu. Eh, kiranya kakek ini hendak memungut mantu padanya! Cepat-cepat ia menjura dan berkata,

“Ah, harap maafkan saya, Kwa-piauwsu. Sesungguhnya... tak mungkin saya dapat menerima kehormatan ini. Saya masih mempunyai tugas berat yang harus saya laksanakan, mencari musuh

keluarga saya, dan. ”

“Kami tahu, hiante. Dan hal itu tidak menjadi halangan. Hiante boleh melanjutkan usaha mencari balas, akan tetapi perjodohan akan diikat lebih dulu dan kelak kalau sudah terlaksana tugas hiante, baru pernikahan di resmikan..?”

“Terima kasih, akan tetapi saya tidak berani menerimanya. Biarlah kelak saja kalau ada kesempatan kita bicara lagi. Akan tetapi sementara ini, saya tidak berniat bicara tentang jodoh. Maaf Kwa- piauwsu. Saya tidak ingin mengikat janji..?”

“Apakah hiante menolak usul kami? apakah Bee Lin kurang berharga untukmu?” Kwan Bu teringat akan semua pengalamannya dan terbayanglah wajah Siang Hwi.

“Tidak, tidak demikian!” teriaknya cepat.

“Hanya... saya tak berharga... saya seorang bujang... dan saya anak haram!” setelah berkata demikian, sekali berkelebat tubuh pemuda sakti ini lenyap dari depan Kwa Sek Hong yang berdiri melongo.

“Anak haram. ? Anak haram?” Bibirnya membisikan kata-kata ini berulang kali ketika ia melangkah

dengan wajah penuh keheranan dan kekecewaan, kembali ke tempat rombongannya yang sudah siap melanjutkan perjalanan.

Karena letak kuil Ban-lok teng di kota Sian-hu lebih dekat daripada gunung Hek-kwi-san, maka Kwan Bu lebih dulu mengunjungi kota Sian-hu ini dalam usahanya mencari musuh besarnya. Di dalam perjalanan menuju ke kota Sian-hu, ia masih teringat akan usul Kwa Sek Hong si piauwsu tua itu yang hendak menjodohkannya dengan Kwa Bee Lin. Terbayanglah wajah Bee Lin yang amat manis dan kadang-kadang ia tersenyum sambil menarik napas panjang.

Hidupnya banyak lika-likunya, mencari musuh besar belum bertemu, dicap anak haram, masih lagi seringkali terlibat dengan gadis-gadis cantik jelita! Di sana ada sucinya (kakak seperguruan) yang cantik dan gagah Liem Bi Hwa, yang biarpun ia sebut kakak seperguruan namun setahun lebih muda dari padanya. Dari mata sucinya ini seringkali ia menangkap kemesraan yang aneh, membuat jantungnya berdebar. Kemudian di sana ada Bu Siang Hwi, gadis yang lincah jenaka dan galak, yang sudah dua kali ia cium karena terdorong oleh hasrat yang tak terkekang olehnya. Adakah ia mencinta seseorang di antara mereka bertiga? Sukar dipastikan. Agaknya ia memang mencintai Siang Hwi dan hidup ini agaknya akan menjadi terang dan penuh kebahagiaan kalau saja ia selalu dapat berdekatan dengan Siang Hwi,

Akan tetapi gadis itu telah menamparnya! Dan dua orang gadis cantik yang lain itu? Terus terang saja hatinya tertarik dan merasa suka sekali. Cinta pulakah itu? Dia tidak tahu. Kwan Bu berlenggang seenaknya memasuki gerbang kota Sian-hu. Kalau ada orang memperhatikannya, tentu orang itu tidak akan menaruh curiga terhadap pemuda tampan berpakaian sederhana dan tidak membawa senjata ini. Kwan Bu menyerupai seorang pelajar setengah malang yang miskin, demikian akan dinilai orang kalau melihat keadaan dan pakaiannya. Namun wajahnya yang tampan membayangkan kerut dan goresan pengalaman pahit sungguhpun gerak-geriknya amatlah tenangnya, setenang gerak- gerik seorang kakek yang sudah kenyang makan asam garam dunia.

Mudah saja bagi Kwan Bu untuk menemukan kuil Ban-lok-tang yang dicarinya karena kuil itu ternyata merupakan kuil yang terkenal, mentereng dan besar, dengan ukiran-ukiran indah dan cat baru beraneka warna. Melihat keadaan kuil ini, Kwan Bu menjadi ragu-ragu dan arena kuil itu dikunjungi banyak tamu yang bersembahyang, ia memasuki sebuah rumah makan di seberang kuil, hendak makan lebih dulu, sambil melakukan pengamatan dari situ. Restoran itu cukup besar dengan ruangan yang terisi belasanmeja yang pada saat itu penuh tamu. Seorang pelayan menyambut Kwan Bu dengan sikap dingin karena memang seorang tamu berpakaian sederhana seperti Kwan Bu tidak menarik perhatian, tidak dapat diharapkan kemurahan hati dan tangannya memberi hadiah kepada pelayan.

“Untung masih ada sebuah meja yang kosong,” kata pelayan itu sambil menuding ke arah meja yang letaknya paling dalam, akan tetapi sebelum ia mengantar Kwan Bu ke meja itu, tiba-tiba wajah pelayan ini berubah menjadi ramah sekali, dan tanpa memperdulikan Kwan Bu lagi, ia melangkah keluar menyambut seorang tamu sambil berkata manis.

“Selamat datang, selamat pagi kongcu (tuan muda). Silakan masuk, silakan masuk.. kami menyediakan meja paling baik untuk kongcu...” dan pelayan ini sambil terbungkuk-bun.gkuk mengantar tamu baru ini menuju ke sebuah meja, yaitu meja satu-satunya yang masih kosong yang dan yang tadi ditawarkan kepada Kwan Bu. Kwan Bu mngerutkan keninnya dan melihat bahwa tamu baru ini adalah seorang pemuda remaja yang amat tampan. Gerak-gerik remaja yang tampan itu sangat halus dan jelas bahwa pemuda itu adalah seorang yang terpelajar,

Akan tetapi ia amat tertarik ketika melihat tonjolan ujung gagang pedang tersembul dari dalam bungkusan pakaian yang digendong pemuda yang berpakaian mewah dan indah itu. Agaknya si pelayan bersikap manis karena pakaian pemuda itulah. Memang hebat pakaiannya, dari sutera halus dan indah, lagi serba baru sampai ke sepatunya. Pakaian seorang pemuda pelajar yang kaya raya atau mungkin putera bangsawan yang manja! Dengan senyum manis pemuda remaja itu mengangguk-angguk kepada si pelayan dan duduk di atas bangku depan meja itu, ia memesan masakan-masakan dengan suara lantang dan Kwan Bu makin gemas dan mendongkol mendengar betapa pemuda itu memesan masakan-masakan yang paling mahal dan paling lezat dalam jumlah yang amat banyak lagi, seolah-olah hendak menyombongkan kekayaannya! Masa ada seorang memesan masakan sampai belasan macam?

“Heiii, bung pelayan. !” Ia membentak tak sabar. “Bagaimana ini? Meja mana yang kau tawarkan

padaku tadi?” Karena gemas melihat sikap pelayan yang menjilat-jilat, Kwan Bu mengeluarkan suara dengan keras dan membentak, membuat beberapa orang tamu yang duduk dekat situ menengok. Demikian juga si pelayan cepat memutar tubuhnya dan agaknya ia baru teringat kepada Kwan Bu. Cepat ia melangkah maju membungkuk-bungkuk, berkata, “Ah, maafkan tuan. Menyesal sekali meja-meja kami telah penuh semua. Kalau saja tuan suka menanti sampai ada meja kosong.... tuan boleh duduk menanti di bangku luar...!”

Posting Komentar