"Kenapa kaget? Kau siapa?"
Kembali pangeran itu bertanya, kini perhatiannya makin terpikat karena gadis ini sama sekali tidak menjatuhkan diri berlutut setelah mendengar bahwa dia adalah putera mahkota. Ini benar-benar aneh sekali"
"Kau.. kau Pangeran yang kelak mengganti Kaisar? Kau calon Kaisar?"
Sepasang mata jeli itu menjadi bundar, bening mengeluarkan sinar seperti bintang timur. Pangeran itu tersenyum dan mengangguk, masih terheran-heran menyaksikan sikap gadis aneh ini.
"Ohhh.."
"Kenapa?"
Hampir pangeran itu meledak ketawanya yang ditahan-tahan melihat sikap dan mendengar mulut kecil mungil itu ah-ah-oh-oh seperti itu.
"Aku.. aku salah masuk.. aku.. apakah aku harus berlutut di depanmu? Kalau diharuskan, lebih baik kau lekas minggir, biarkan aku pergi saja karena tidak biasa aku berlutut di depan orang lain kecuali ayah bundaku yang.. yang sudah tiada.."
Sepasang mata pangeran itu bersinar-sinar penuh kegembiraan. Baru kali ini selama hidupnya ada orang bersikap begini "biasa"
Kepadanya, dan hal ini menggembirakan sekali. Ia sudah jemu dan kadang-kadang muak akan sikap menjilat-jilat, sikap menghormat melewati batas yang setiap hari dilimpahkan terhadap dirinya. Sekarang menghadapi seorang gadis yang tak dikenalnya, gadis remaja cantik jelita dan betul-betul masih aseli belum bau kepalsuan tata kerama istana yang menjemukan, ia menjadi tertarik bukan main.
"Ah, tak usah berlutut. Kita sama-sama manusia, kan? Kau tadi bilang siapa namamu dari dan mana datangmu?"
"Aku belum pernah bilang tentang itu kepadamu."
Pangeran itu tersenyum geli. Cerdik juga bocah ini, pikirnya, tidak berhasil pancingannya.
"Betul juga. Bolehkah aku mengetahui namamu?"
"Namaku Lin Lin."
"Wah, nama yang indah sekali. Kau datang dari mana? Mencari siapa disini?"
"Sebetulnya aku mau mencari gedung perpustakaan, tapi tidak tahu di mana adanya gedung itu, aku tersesat ke mari dan terpesona oleh keindahan taman ini. Apakah ini tamanmu, Pangeran?"
"Bukan main"
Pangeran mahkota gembira sekali. Alangkah murni dan polosnya anak ini. Segar dan menyenangkan sekali.
"Betul, ini memang tamanku. Kau senang melihat ikan emas? Yang di dalam pagoda itu lebih indah, di dalam bak kaca, kau dapat melihat ikan-ikan emas pilihan yang bermain-main di dalam air dengan jelas sekali. Mari, mau lihat?"
Sikap dan suara pangeran itu amat ramah dan manis, lagi wajar sehingga Lin Lin yang masih mempunyai sifat kekanak-kanakan itu tidak dapat menahan keinginan hatinya. Akan tetapi kenyataan bahwa ia berhadapan dan bicara dengan putera mahkota calon kaisar masih membuat ia gugup, maka ia tidak menjawab hanya mengangguk.
Dengan langkah tenang perlahan seakan-akan berjalan di dalam taman bersama seorang gadis yang sama sekali tidak memperlakukannya sebagai pangeran mahkota ini merupakan hal biasa, seakan-akan Lin Lin memang merupakan sahabatnya yang bebas daripada segala aturan protokol, pangeran itu mengajak Lin Lin menuju ke sebuah bangunan pagoda yang kecil dan indah di sebelah kiri kolam ikan. Pangeran mahkota memang mempunyai "hobby"
Taman bunga yang indah berikut peliharaan ikan-ikan emasnya dan kalau ia berjalan-jalan menikmati keindahan taman, baik siang maupun malam, ia tidak mau diganggu oleh para pelayan. Peraturan ini ia jalankan keras sekali karena ia paling pantang diganggu ketenteramannya bersunyi diri dan minum arak atau menulis sajak di taman sehingga pada saat itu pun tak seorang pun pelayan berani muncul di taman itu.
Begitu memasuki pagoda yang oleh pangeran mahkota disebut "Pagoda Ikan", Lin Lin membelalakkan kedua matanya dan mulutnya tiada hentinya berseru kagum. Karena kekaguman gadis ini wajar dan sungguh-sungguh, sama sekali berbeda dengan kekaguman para tamu yang pernah diajak ke situ, yaitu kekaguman yang lebih banyak bersifat membangkitkan kesenangan dan kebanggaan hati pangeran mahkota, pangeran itu tersenyum gembira. Memang indah di dalam pagoda itu. Di sekelilingnya terdapat aquarium atau tempat-tempat ikan terbuat daripada kaca, di atas dan belakangnya diterangi lampu beraneka warna sehingga di dalam air itu berubah menjadi dunia mimpi yang luar biasa. Ada pondok kecilnya, ada rumpun bambu, ada alang-alang, bahkan ada patung kecil merupakan kakek-kakek yang sedang memancing ikan.
Adapun ikan-ikan emas dengan sisik beraneka warna, hilir mudik bermain-main, sisik mereka berkilauan tertimpa sinar lampu. Lin Lin sampai ternganga memandangi itu semua. Pangeran itu menjatuhkan diri duduk di atas sebuah kursi di pojok dan ia pun menikmati pemandangan baru yang baginya tak kalah menariknya daripada ikan-ikan di dalam kaca yang setiap malam sudah dilihatnya itu. Ia melihat keadaan gadis remaja, masih murni dan bebas lepas setengah liar, gadis yang terpesona oleh keindahan isi pagoda, tanpa sadar bahwa dirinya sendiri merupakan keindahan tersendiri yang pada saatnya akan lebih menggairahkan daripada isi pagoda. Setelah Lin Lin puas memandangi semua ikan, mengikuti gerak-gerik mereka sampai lebih dari satu jam lamanya, barulah ia berpaling kepada pangeran itu, menarik napas panjang melampiaskan kekagumannya dan berkata,
"Hebat sekali. Aku merasa seakan-akan berada di dasar lautan"
Pangeran itu tertawa. Perumpamaan yang tepat dan hebat. Bagus untuk permulaan sajak. Dan teringat akan pengakuan Lin Lin yang tadi hendak mencari gedung perpustakaan, tiba-tiba timbullah kecurigaan dan keheranannya. Dengan suara ramah ia bertanya.
"Nona Lin Lin, kau tadi bilang bahwa kau hendak mencari gedung perpustakaan istana. Mau apakah kau mencari gedung itu? Apakah kau termasuk seorang kutu buku?"
"Kutu? Aku dianggap kutu? Kalau kutunya saja seperti aku besarnya, bukunya sebesar apa?"
"Ha-ha-ha-ha-ha"
Ah, Nona yang lucu, masa kau tidak tahu apa yang kumaksudkan? Kutu buku adalah sebutan bagi seorang yang hobbynya membaca buku. Jangan kau bilang bahwa kau buta huruf."
"Tentu saja aku bisa membaca dan menulis, akan tetapi aku tidak suka banyak baca. Terlalu lama membaca kepalaku pusing. Aku mencari perpustakaan bukan untuk membaca buku, melainkan.."
Lin Lin menjadi ragu-ragu.
"Melainkan apa? Hendak mencari kitab rahasia?"
Lin Lin menganggap putera mahkota ini amat baik orangnya, maka ia pikir tidak ada salahnya mengaku terus terang, sekalian melihat apa sikap putera kaisar ini kalau tahu bahwa Suling Emas suka bersembunyi di dalam gedung perpustakaan istana kalau berada di kota raja.
"Bukan, Pangeran. Sebetulnya, aku hendak mencari Suling Emas yang kurasa berada di gedung perpustakaan istana."
Betul saja dugaan Lin Lin, pangeran itu terkejut. Akan tetapi bukan terkejut mendengar bahwa Suling Emas berada di istana, melainkan terkejut mendengar bahwa gadis ini mencari tokoh aneh itu.
"Kau mencari.. dia? Ah, kiranya kau seorang gadis petualang dari dunia kang-ouw. Hemmm, betul juga, kau membawa pedang. Tentu kau lihai sekali, Nona, kalau kau mengenal Suling Emas. Ya, kiranya tak perlu diragukan lagi. Kau dapat memasuki istana ini saja sudah menjadi bukti akan kelihaianmu.."
Tiba-tiba terdengar bentakan keras,
"Thiancu, saat kematianmu tiba"
Tampak sinar menyilaukan mata menyambar ketika orang berpakaian hitam ini menerjang maju dengan pedang di tangan, langsung menyerang pangeran mahkota"
"Jangan, takut"
Lin Lin berseru dan sinar kuning bergulung-gulung menyambut pedang orang itu. Terdengar suara nyaring berkali-kali ketika kedua pedang bertemu dan orang itu memekik, pedangnya patah menjadi dua bertemu dengan Pedang Besi Kuning, disusul robohnya orang itu dengan dada tertembus pedang Lin Lin. Pangeran itu membungkuk, memungut pedang buntung penyerangnya tadi sambil berkata perlahan,
"Menjemukan benar.."
Ia melangkah keluar dan tangannya bergerak, buntungan pedang itu meluncur ke dalam taman, lenyap di balik gerombolan bunga. Terdengar pekik kesakitan di tempat yang gelap itu. Lin Lin terkejut dan sekali melompat ia sudah sampai di tempat itu. Apa yang dilihatnya? Seorang laki-laki berpakaian hitam, agaknya teman penyerang tadi, sudah menggeletak tewas dengan tenggorokan ditembus buntungan pedang yang disambitkan oleh pangeran mahkota. Ketika Lin Lin kembali ke dalam pagoda pangeran itu masih berdiri, keningnya berkerut.
"Tidak enaknya menjadi keluarga istana,"
Katanya ketika melihat Lin Lin kembali.
"sejak jaman dahulu sampai kini, selalu terjadi perebutan kekuasaan, selalu muncul pengkhianat-pengkhianat, muncul pembunuh-pembunuh gelap macam ini. Uhhh, menjemukan sekali"
"Tapi dengan kepandaian seperti yang kau miliki, tak usah kau takut, Pangeran. Wah, kiranya kau pun amat lihai, sungguh tak kusangka"
Lin Lin memuji. Pangeran mahkota memandang tajam.
"Dan kiranya kau adalah gadis yang melakukan pencurian pedang di gedung pusaka, juga sama sekali tak kusangka"
Lin Lin kaget. Pedang Besi Kuning yang belum ia sarungkan tadi digenggamnya erat-erat, dan ia menatap wajah pangeran itu penuh selidik. Pangeran itu tersenyum akan tetapi senyumnya mengandung kepahitan.
"Nona Lin Lin, terus terang saja, pertemuan ini mendatangkan kegembiraan besar yang belum
pernah kurasai selama hidupku. Kau baik sekali, kau bagaikan bunga mawar hutan yang belum terjamah tangan dan masih segar oleh embun. Kalau saja kau dapat menjadi sahabatku selamanya. Tapi.. aaah, tak mungkin itu. Kalau kau berada di sini, tentu kau pun akan menjadi seperti mereka. Karena itu, lebih baik begini saja, kita asing satu kepada yang lain. Hanya harapanku, semoga kelak kita akan masih dapat bertemu seperti sekarang ini."
Lin Lin mendengarkan ucapan yang baginya tidak karuan ini dengan bingung. Ia tidak mengerti dan ia tidak ingin lebih lama lagi berada di tempat itu setelah pangeran itu berubah sikapnya. Ia mulai curiga.
"Lin Lin, pertemuan ini menjalin persahabatanmu yang akan sering kali mengenangmu, aku bebaskan kau. Apakah artinya sebuah pedang dibandingkan dengan persahabatan sejati? Kuhadiahkan pedang itu kepadamu. Akan tetapi, sebagai seorang Pangeran Mahkota yang harus menjaga kehormatannya, aku tidak dapat bertindak lebih jauh dan lebih banyak daripada ini. Kau harus dapat keluar sendiri dari lingkungan Istana dengan selamat. Akan tetapi jangan harap hal itu akan mudah karena kurasa para pengawal istana sekarang sudah tahu akan kehadiranmu. Nah, selamat malam."