Cinta Bernoda Darah Chapter 48

NIC

"Ha..ha..ha, Kau lihat aku baik-baik. Aku memang berbeda denganmu, Cici. Aku juga kasar dan liar, seringkali kau katakan begitu, akan tetapi aku tetap adikmu. Jangan khawatir dan teruskan ceritamu."

Sian Eng melanjutkan ceritanya sampai ia dikubur hidup-hidup sebatas leher dan ditolong oleh Suling Emas, melakukan perjalanan dengan Suling Emas sampai ke kelenteng di kota raja ini. Lin Lin amat tertarik dan beberapa kali ia menarik napas panjang.

"Ah, alangkah senangnya melakukan perjalanan bersama orang aneh itu. Dia orang macam apa, Enci Eng? Ramahkah dia? Atau galak? Sombongkah dia seperti yang kusangka? Dan kepandaiannya bagaimana?"

Diam-diam Siang Eng terkejut. Nada suara adiknya ini demikian penuh perhatian. Ada apakah gerangan? Ia merasa khawatir kalau-kalau adiknya ini nekat saja menuduh Suling Emas membunuh ayah bunda mereka dan nekat mencari dan menentangnya bertempur.

"Dia memang orang aneh, Lin Lin. Aneh sekali tidak seperti manusia biasa sepak terjangnya. Kepandaiannya sukar diukur sampai di mana tingginya karena aku tidak dapat mengikuti gerak-geriknya. Ia pendiam, tak pernah bicara kalau tidak menjawab pertanyaan, itu pun singkat saja, hanya ya atau tidak. Wajahnya sering kalii suram-muram seperti ada sesuatu yang menekan batinnya, ia sama sekali tidak ramah. Tak pernah melihat ia tersenyum, apalagi tertawa. Ada satu kali dia bersenandung, suaranya cukup baik tapi menggetar penuh kesedihan. Ia tidak pernah mengajak aku bicara tentang dirinya, akan tetapi harus kunyatakan bahwa dia adalah sesopan-sopannya lelaki."

Lin Lin amat tertarik dan matanya sayu merenung, bibirnya bergerak seperti bicara kepada diri sendiri,

"Wajahnya tampan dan gagah, sikapnya angkuh.. seperti raja saja dia.."

"Kau bilang apa, Lin Lin? Mengapa seperti raja?"

Lin Lin sadar dan tersenyum,

"Enci Eng, bagaimana tentang Sin-ko? Katanya juga ditolong Suling Emas, tapi mana Sin-ko sekarang?"

"Menurut Suling Emas, Sin-ko berada dalam keadaan selamat, bebas dari tangan Suma Boan yang jahat. Katanya Sin-ko tentu akan ke kota raja, maka aku disuruh menanti di kelenteng ini. Tapi sampai sekarang Sin-ko belum juga muncul, malah kau yang muncul lebih dulu."

"Mudah-mudahan Sin-ko selamat dan kita bertiga dapat berkumpul pula. Eh, bagaimana tentang kakak sulung kita, Enci Eng? Apakah kau sudah mendengar tentang dia?"

"Berita yang kudengar tentang Kakak Bu Song tidak baik. Ketika aku dan Sin-ko diserang di rumah Suma Boan, putera pangeran itu agaknya dahulu bermusuhan dengan kakak sulung kita itu dan kemarahannya kepada kakak sulung kita ia tumpahkan kepada aku dan Sin-ko. Dan menurut Suling Emas, Kakak Bu Song itu sudah.. sudah mati, katanya. Akan tetapi ia pun tidak mau bicara dengan jelas, hanya ia kelihatan seperti seorang yang membenci Kakak Bu Song."

"Hemm, pesan Ayah itu harus kita penuhi. Bagaimanapun juga kita harus dapat bertemu dengan Kakak Bu song. Kalau Suma Boan membenci kakak kita itu dan membalas dendam kepada kau dan Sin-ko, berarti dia tidak tahu di mana adanya Kakak Bu Song sekarang. Sebaliknya, Suling Emas bisa mengatakan bahwa kakak kita itu mati, berarti dia tahu di mana adanya Kakak Bu Song, atau kalau memang betul sudah mati, bagaimana matinya dan di mana kuburnya. Aku akan mencarinya dan bertanya tentang kakak kita, Enci Eng."

"Apa? Kau hendak menjumpai Suling Emas? Tak seorang pun, juga semua hwesio di sini yang memujanya, tak seorang pun tahu di mana adanya Suling Emas. Mana kau bisa mencarinya, Lin-moi? Dia seorang yang luar biasa sekali, kalau dia tidak menghendaki, tak seorang pun dapat menemuinya."

"Wah-wah, apa dia itu melebihi raja dan malaikat? Enci Eng, kita tidak boleh mendewa-dewakan siapa pun juga, biar seribu kali dia menolong kita kalau dia menghendaki dipuja-puja karena pertolongannya, aku tidak sudi ditolong. Kalau dia manusia biasa, kurasa aku akan dapat mencarinya"

Sian Eng merasa khawatir sekali. Ia percaya bahwa adiknya ini sekarang telah memiliki kepandaian tinggi, jauh lebih tinggi daripada dia atau Bu Sin sekali pun, akan tetapi karena malam itu Lin Lin memaksa hendak pergi mencari Suling Emas, timbullah rasa khawatir di hatinya. Ia cukup mengenal watak Lin Lin yang aneh dan angin-anginan bagaimana kalau adiknya ini kambuh gilanya dan melakukan hal yang bukan-bukan andaikata benar dapat berjumpa dengan Suling Emas? Siapa tahu Lin Lin akan menantangnya, akan menghinanya. Akan tetapi, mencegah pun ia tahu akan sia-sia belaka, apalagi sekarang Lin Lin sudah demikian lihainya.

"Enci Eng, jangan gelisah. Aku tentu akan dapat bertemu dengannya. Kalau berjumpa, akan kusampaikan kepadanya betapa kau memuja-mujanya seperti dewa. Dan pesanku, kalau sebelum aku pulang Liong-twako datang berkunjung, sambutlah dia dan ajak ia bercakap-cakap. Dia baik sekali, Eng-cici, kiraku jauh lebih baik daripada Suling Emas."

"Ihhhhh, kau bicara apa itu, Lin-moi? Apa perlunya kau membanding-bandingkan dua orang laki-laki itu? Cih, tak bermalu"

"Hik-hik, kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu. Tapi aku tahu, Enciku yang manis ayu, setiap detik kau membayangkan Suling Emas yang gagah perkasa"

"Idihhhhh, genit kau"

Sian Eng mengejar hendak mencubit, akan tetapi sekali berkelebat Lin Lin lenyap di atas genteng. Hanya suaranya terdengar dari tempat gelap di atas.

"Enci Sian Eng, aku pergi dulu"

Siang Eng menjatuhkan diri di atas pembaringan, duduk termenung. Ucapan Lin Lin yang menggodanya tadi menikam jantungnya. Benarkah bahwa dia memuja Suling Emas? Ah, bocah itu terlalu lancang, menduga yang bukan-bukan. Tentu saja ia amat kagum, dan bolehlah dikatakan ia setengah memujanya, akan tetapi hal ini adalah karena pengaruh pribadi Suling Emas yang memang hebat ditambah lagi karena ia melihat betapa seisi kelenteng memujanya. Akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa dia.. eh, tergila-gila kepada Suling Emas. Dan ia merasa betapa dalam godaan Lin Lin tadi, oleh adiknya itu ia dianggap tergila-gila dan jatuh cinta kepada Suling Emas. Gila benar.

Bukan laki-laki luar biasa, aneh dan kadang-kadang menyeramkan itu yang menjadi pria idamannya. Suling Emas terlalu tinggi. seperti manusia setengah dewa, bukan.. bukan pria macam itu yang dapat merampas kasih sayangnya. Tiba-tiba muka Sian Eng menjadi merah sekali, kedua pipinya terasa panas. Pikirannya membayangkan adegan ketika ia bertemu dengan Suma Boan, ketika ia tertawan.. dan tiba-tiba Siang Eng menjatuhkan diri di atas pembaringan dan menangis tersedu-sedu.

Kita tinggalkan Sian Eng yang menangis tergoda rahasia perasaannya sendiri dan mari kita ikuti Lin Lin yang lincah, jenaka, dan tak kenal arti takut itu. Siang tadi ia melihat Suling Emas menunggang kuda memasuki kota raja dan ia merasa yakin bahwa tentu Suling Emas berada di dalam gedung perpustakaan istana. seperti yang ia dengar dari percakapan Suma Boan dan kaki tangannya bahwa kalau berada di kota raja, Suling Emas biasanya bersembunyi di dalam gedung perpustakaan istana.

Pengalamannya dengan Kim-lun Seng-jin ketika memasuki istana menyerbu dapur dan gedung pusaka, merupakan pelajaran yang sekarang amat berguna bagi Lin Lin karena sekarang ia telah tahu jalan masuk yang paling aman, yaitu melalui pohon tinggi yang tumbuh di luar pagar tembok. Karena kini ia telah memperoleh kemajuan hebat semenjak ia menyerbu istana dengan Kim-lun Seng-jin, berkat latihan yang tak kenal lelah, dengan amat mudahnya Lin Lin melompati pagar tembok dan berada di daerah istana kaisar yang amat luas itu. Ia menyelinap di dalam gelap, lalu menyusup di antara bangunan-bangunan besar.

Beberapa lama ia berputaran di antara gedung-gedung besar dan ia menjadi bingung. Teringatlah ia bahwa ia sama sekali tidak tahu di mana adanya gedung perpustakaan. Kompleks istana ini begitu luasnya sehingga untuk mencari dapur dan gedung pusaka yang dahulu pernah ia kunjungi pun sekarang ia tak sanggup lagi, sudah lupa. Celaka, pikirnya. Mengapa begini luasnya dan begini banyaknya gedung-gedung besar? Tak mungkin ia harus memeriksa setiap gedung. Apalagi kalau diingat bahwa di daerah istana ini terdapat banyak sekali pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi seperti pernah ia dengar dari Kim-lun Seng-jin.

Karena kebingungan, akhirnya secara ngawur Lin Lin melompati sebuah pagar tembok yang tidak terlalu tinggi. Ketika ia tiba di sebelah dalam, kiranya di belakeng tembok itu merupakan sebuah taman bunga yang amat indah, di mana-mana tergantung lampu-lampu teng beraneka warna, seperti kalau orang merayakan hari raya musim semi saja. Taman yang penuh bunga beraneka warna, harum semerbak baunya dan lampu-lampu itu diatur secara artistik sekali. Ada yang menempel pada pohon, ada yang berbentuk burung hijau hinggap di atas cabang, ada yang seperti bulan sabit tergantung di awang-awang. Jumlahnya banyak sehingga taman itu tampak terang dan indah. Di tengah-tengah taman bunga terdapat sebuah kolam ikan yang dihias bunga teratai merah putih. Air yang menyembur keluar di tengah-tengah kolam itu pun seakan-akan berwarna karena tertimpa sinar dari sekelilingnya, sinar lampu warna pelangi"

Lin Lin berdiri terpaku di atas tanah, terbelalak kagum, merasa seakan-akan berada di alam mimpi. Melihat tanaman itu sunyi tak ada seorang pun manusia di situ, ia berjalan perlahan menoleh ke kanan kiri, mengagumi keindahan yang luar biasa ini. Setiap tanaman diatur baik-baik, bahkan batu-batu yang menghias jalan kecil di taman, semua merupakah hasil seni yang hebat. Menghadapi keindahan ini, Lin Lin lupa akan maksud kunjungannya ke kompleks istana, malah ia lalu duduk termenung menghadapi kolam ikan, terkikik-kikik ketawa sendirian melihat tingkah solah ikan-ikan yang ekornya mekar dan berenang dengan gerakan megal-megol lucu sekali. Ia melihat seekor ikan emas merah mengejar-ngejar seekor ikan emas betina berwarna kuning. Ke mana-mana dikejarnya dan mereka itu berkejaran dengan megal-megol.

"Hi-hik, renangmu begitu kaku, mana mampu menyusulnya?"

Ia tertawa-tawa menggunakan jari-jari tangannya yang runcing mungil untuk menggerak-gerakkan air sehingga bayangannya sendiri yang tampak di air menjadi kacau dan bergoyang-goyang. Pemandangan ini mendatangkan rasa geli di hatinya dan kembali ia tertawa.

"Kau.. siapa?"

Teguran ini halus, akan tetapi membuat Lin Lin terkejut bukan main. Ia melompat dan membalik. Seorang laki-laki yang berpakaian amat indah, berusia tiga puluh lebih, wajahnya tampan gerak-geriknya halus, berdiri di depannya sambil memandang penuh perhatian. Belum pernah selamanya Lin Lin melihat seorang pria berpakaian seindah ini. Bahkan Suma Boan putera pangeran itu pun tidak seindah ini pakaiannya, seperti pakaian anak wayang hendak main sandiwara di panggung. Tiba-tiba ia teringat akan sesuatu dan wajahnya pucat, hatinya berdebar. Agaknya orang ini kaisar. Laki-laki itu melihat Lin Lin berdiri dengan sepasang matanya yang lebar terbelalak, menjadi makin kagum, senyumnya melebar dan kembali ia bertanya.

"Kau siapa? Belum pernah aku melihatmu. Apakah kau seorang dayang baru?"

"Kau.. kau..?"

Lin Lin balas bertanya, gagap. Laki-laki itu tertawa, suara ketawanya nyaring dan bening.

"Bukan, aku bukan Kaisar, hanya Thaicu (Putera Mahkota)."

"Ahhhhh.."

Lin Lin mundur selangkah.

Posting Komentar