Cinta Bernoda Darah Chapter 47

NIC

Bok Liong cepat membantah.

"Ji-wi Moi-moi (Adik Berdua) tak usah sungkan. Aku sudah mendengar semua dari Lin-moi dan aku pasti akan berusaha sedapat mungkin untuk mencari berita tentang kakak kalian. Harap saja dalam waktu dua pekan ini kalian tidak pergi dari tempat ini, atau andaikata pergi dan pindah juga, memberi tahu kepada para Losuhu di sini sehingga kalau aku datang, aku akan dapat tahu ke mana harus menjumpai kalian untuk menyampaikan hasil usahaku mencari kakak kalian, sekarang aku pamit dulu."

Melihat Bok Liong memberi hormat lalu mundur dan hendak pergi, Lin Lin cepat berseru.

"Twako, nanti dulu"

"Ada apa?"

Terlalu cepat Bok Liong membalikkan tubuh dan sinar yang memancarkan kasih mesra terlepas daripada pandang mata yang awas.

"Aku pesan.. kalau kau bertemu dengan gembel-gembel jahat itu.."

"Ya, lalu bagaimana?"

"Aku titip tiga pukulan atau sekali tusukan pedang."

Bok Liong tertawa dan mengangguk-angguk.

"Dan jangan lupa, kalau kau berjumpa dia di jalan katakan.."

"Dia siapa?"

"Siapa lagi kalau bukan Suling Emas? Katakan bahwa aku menanti di kelenteng ini dan sampaikan tantanganku kepadanya"

Sian Eng terkejut bukan main akan tetapi ia masih sempat melihat betapa wajah pemuda itu membayangkan ketidaksenangan hati. Akan tetapi Bok Liong kembali mengangguk-angguk, lalu berkata,

"Baiklah, Lin-moi, dan kau.. kau yang baik-baik menjaga diri.. selamat berpisah sampai jumpa lagi."

Ia melompat dan pergi dari situ. Sian Eng memperkenalkan Lin Lin kepada para hwesio kepala di kelenteng itu, kemudian mengajak adiknya masuk kamar untuk bercakap-cakap. Begitu memasuki kamar, Sian Eng menegur adiknya.

"Lin Lin, kau terlalu sekali terhadap pemuda itu. Tak tahukah kau betapa dia amat mencintamu? Tapi kau selalu mempermainkan dia. Terlalu"

"Liong-ko? Mencintaku? Tentu saja. Aku pun mencintanya, dia seperti kakakku sendiri."

"Hush, bukan begitu. Dia mencintamu, hal ini kuyakini benar. Tapi kau.. ah, kau masih anak-anak, adikku. Sudahlah, kelak kau mengerti sendiri. Eh, kau tadi bilang bertemu dengan Suling Emas. Betulkah itu? Di mana?"

"Di dekat pintu gerbang kota. Dia naik kuda, jubahnya hitam, orangnya tinggi besar, tampan dan gagah, tapi sombong"

"Sombong?"

"Ya, sombongnya setengah mati"

Agaknya dia yang telah berkali-kali menolong aku dan Liong-twako, akan tetapi dengan sembunyi-sembunyi, tidak sudi menemui kami. Uhhhhh, sombong sekali agaknya mengandalkan kepandaian dan memamerkan tampannya"

Tiba-tiba Siang Eng memegang lengan Lin Lin.

"Adikku, kau bilang dia telah menolongmu berkali-kali akan tetapi kau memaki-maki dia dan kau malah menantangnya berkelahi? Adakah yang lebih gila dari ini? Jangan begitu, Lin Lin, pula.. kau menantang seorang yang berilmu tinggi seperti Suling Emas, apamukah yang kau andalkan? Lin-moi, ketahuilah, dahulu kita mengira bahwa kita sudah memiliki kepandaian silat, kiranya sekarang kenyataan membuktikan bahwa apa yang kita miliki tidak ada artinya sama sekali."

"Wah-wah, jangan merendah, Enci Eng, Aku tidak takut kepada Suling Emas. Ya, aku akan mencarinya, menantangnya berkelahi sampai seribu jurus. Aku tidak akan kalah. Lihat, Enci, aku bukanlah Lin Lin yang dahulu lagi"

Lin Lin menggerakkan tangan kirinya seperti melambai ke arah sebuah patung batu. Sebetulnya ia mengerahkan Khong-in-ban-kin dan melakukan jurus pukulan jarak jauh dan.. patung itu terjengkang ke belakang seperti didorong oleh tenaga raksasa yang tidak tampak.

"Lihat, Enci, apa kau bisa mengikuti gerakanku?"

Sian Eng yang melongo menyaksikan adiknya merobohkan patung tanpa menyentuhnya, menjadi makin terheran-heran ketika melihat tubuh Lin Lin berkelebatan di dalam kamar yang luas itu, demikian cepat sehingga bayangannya lenyap terbungkus sinar kuning yang bergulung-gulung. Ia masih melongo dan tidak dapat mengucapkan kata-kata ketika Lin Lin sudah selesai bermain pedang dan berdiri di depan encinya sambil tersenyum bangga.

"Kau lihatlah, Enci. Adikmu ini sekarang tidak takut lagi menghadapi Suling Emas, biarpun ia berkepala tiga berlengan enam"

"Astaga, Lin Lin, dari mana kau peroleh kepandaian itu?"

Lin Lin merangkul encinya dan sambil duduk berendeng di atas pembaringan, berceritalah Lin Lin tentang pertemuannya dengan Kim-lun Seng-jin yang ia sebut si gundul pacul, kemudian tentang pertemuannya dengan Lie Bok Liong sampai akhirnya bertemu dengan Sian Eng di kota raja. Sian Eng mendengarkan dengan penuh kekaguman, kemudian merangkul Lin Lin sambil berkata.

"Ah, aku girang sekali, Lin-moi. Kiranya orang sakti yang menolongmu telah mewariskan ilmu kepandaian hebat kepadamu"

Dan kau memperoleh pula seorang sahabat yang setia dan perkasa seperti Lie Bok Liong. Syukurlah. Akan tetapi, aku masih tidak setuju akan sikapmu terhadap Suling Emas. Ketahuilah, dia itu bukan musuh kita, bukan pembunuh ayah bunda kita, malah dialah yang telah menolong Sin-ko dan aku sendiri, bahkan menurut ceritamu, dia telah pula menolong engkau dan Liong-twako."

"Dia menolongmu dan Sin-ko? Bukan pembunuh ayah bunda kita? Coba ceritakan semua, Eng-cici"

Sian Eng lalu menceritakan semua pengalamannya semenjak mereka berpisah di atas gedung Pangeran Suma. Lin Lin merasa ngeri ketika mendengar cicinya bercerita tentang Hek-giam-lo dan "istana"

Di bawah kuburan. Akan tetapi ia membelalakkan kedua matanya, wajahnya berubah dan meremang bulu tengkuknya ketika ia mendengar pengalaman Siang Eng di antara bangsa Khitan, betapa Sian Eng disangka Puteri Khitan. Jantungnya berdebar-debar dan tulang punggungnya terasa dingin.

"Apa yang kau alami di sana, Enci Eng? Ceritakanlah yang jelas"

Desaknya dengan suara gemetar. Dan ia mendengar penuturan yang membuat degup jantungnya mengeras dan membuat hatinya yakin siapa sebetulnya dirinya, dan bahwa semua kata-kata Kim-lun Seng-jin adalah benar belaka.

"Mereka itu orang-orang yang kelihatan gagah perkasa, akan tetapi kasar dan liar, adikku. Dan anehnya.. banyak wanitanya, terutama yang berada di istana rajanya, mirip.. mirip dengan kau. Aku mereka sangka seorang Puteri Khitan dan.. dan aku ditelanjangi untuk diperiksa punggungku, katanya Puteri Khitan mpmpunyai tanda di pung... astaga, Lin Lin"

Sian Eng menjadi pucat sekali dan melompat berdiri, memandang wajah adiknya dengan mata terbelalak.

"Kau.. kau.. punggungmu.."

"Tenanglah, Enci Eng, dan duduklah. Kau berceritalah baik-baik dan sejelasnya. Memang ada tanda tahi lalat merah di punggungku, dan agaknya, memang akulah Puteri Khitan yang mereka cari-cari itu. Aku sudah mendengar dari Kim-lun Seng-jin, tadi sengaja tidak kuceritakan kepadamu akan hal ini karena kuanggap masih rahasia. Akan tetapi, setelah mendengar ceritamu, jelas siapa yang mereka maksudkan dengan Puteri Khitan. Agaknya dahulu Ayah memungutku dari keluarga Khitan, agaknya Ibuku, Puteri Mahkota Khitan, tewas dalam perang melawan Ayah, lalu aku dipungut anak. Nah, sederhana sekali, bukan? Lanjutkanlah."

Untuk beberapa lama Sian Eng tak dapat bicara. Dipandangnya wajah Lin Lin, kemudian dirangkul dan diciuminya adiknya itu sambil berlinang air mata.

"Kau bukan seorang di antara mereka. Kau adikku. Ah, mereka begitu kejam, begitu kasar dan liar.."

Posting Komentar