"Bukan hanya kau yang mengajukan pertanyaan seperti ini, Nona. Banyak orang, di antaranya pinceng sendiri. Tapi, siapa dapat menjawab? Kalau pinceng yang menjawab hanya begini: dia itu seorang pendekar besar yang berwatak aneh, kalau sedang menolong orang bijaksana seperti dewa, kalau menghadapi lawan ganas seperti iblis. Itulah Suling Emas, dan tidak pernah ada orang yang dapat menceritakan siapa dia. Tapi bagi kami, sudah cukup kalau mengetahui bahwa dia itu seorang yang baik, selalu berpihak kepada yang benar biarpun kadang-kadang amat sulit untuk dimengerti, Nona, kami menerima perintahnya, harus kami kerjakan baik-baik. Silakan masuk, Nona, ada sebuah kamar yang bersih untukmu. Tentang saudaramu, nanti kita bicarakan dan tentu para murid di sini siap untuk membantumu mencarinya, kalau betul dia itu berada di dalam kota raja."
Lega hati Sian Eng, sungguhpun keterangan tentang diri Suling Emas itu membuat hatinya makin penasaran dan ingin tahu. Ia memasuki kelenteng dan memang benar, para hwesio melayaninya penuh penghormatan dan kesopanan sehingga Sian Eng tidak ragu-ragu untuk mengajak mereka itu merundingkan tentang kedua saudaranya yang berpisah darinya. Ia memberi gambaran tentang diri Bu Sin dan Lin Lin dan memesan agar para hwesio yang melihat kedua orang ini di kota raja, segera memberi tahu kepadanya. Para hwesio itu tampak bersemangat sekali membantu Sian Eng, dan gadis ini maklum bahwa semangat ini timbul karena keyakinan bahwa membantu Sian Eng berarti membantu Suling Emas dengan melaksanakan perintahnya. Makin kagumlah hatinya terhadap orang rahasia yang sanggup membikin orang-orang alim seperti hwesio-hwesio ini demikian tunduk dan setia.
Tentu saja dia tidak tahu bahwa para hwesio itu, juga banyak sekali orang-orang di kota raja, telah berhutang budi besar kepada Suling Emas. Di bagian depan telah kita ketahui bahwa Lin Lin yang ditemani Lie Bok Liong, dengan penuh harapan melakukan perjalanan ke kota raja. Hatinya girang sekali karena memang amat ingin ia bertemu dengan Suling Emas yang disangka menjadi pembunuh dari Jenderal Kam Si Ek dan isterinya. Untung ia mendengar percakapan antara Suma-kongcu dan para tokoh pengemis yang menyatakan bahwa Suling Emas berada di gedung perpustakaan istana. Kita ikuti kembali perjalanan mereka berdua. Mereka telah berhasil melarikan diri dari gedung keluarga Suma di An-sui sebelah barat kota raja, dan melanjutkan perjalanan di malam hari terang bulan. Mereka berjalan seenaknya, bercakap-cakap gembira. Begitu gembira, begitu aman seakan-akan tidak ada bahaya sesuatu yang mengintai.
Memang Lin Lin seorang gadis remaja yang gembira dan masih belum berpengalaman, maka ia pun enak saja melakukan perjalanan dan bercakap-cakap bersama Lie Bok Liong. Gadis yang masih hijau ini sama sekali tidak tahu akan bahaya yang mengancam. Adapun Lie Bok Liong, dia adalah seorang pendekar muda yang sudah kenyang pengalaman, biasanya amat hati-hati, waspada dan berpandangan luas dan jauh, berwatak jujur dan berhati mulia. Akan tetap pada malam hari itu, hatinya rusak, kacau-balau oleh juita di sampingnya. Sudah dua kali ia menempiling jidatnya sendiri karena timbul pikiran yang bukan-bukan terhadap Lin Lin. Malam terlalu indah, bulan terlalu terang, dan gadis di sampingnya terlalu cantik jelita. Bok Liong berjalan di samping Lin Lin dengan hati dan perasaan mawut (berantakan), maka ia pun tidak dapat terlalu disalahkan kalau dia sendiri menjadi kurang hati-hati, hilang kewaspadaannya. Di samping Lin Lin, dunia menjadi terlampau indah baginya sehingga sementara itu ia lupa akan bahaya-bahaya yang mengancam kehidupan dari segenap penjuru.
Biarpun Suma Boan atau Suma-kongcu tidak mengejar sendiri karena ia maklum bahwa menghadapi dua orang muda yang lihai itu seorang diri saja ia tidak akan menang, namun sudah tentu saja Suma-kongcu tidak membiarkan penghinaan terjadi di rumahnya begitu saja. Ia diam-diam menitah seorang pengawal untuk menghubungi para ketua kai-pang dan tak lama kemudian, para tokoh perkumpulan pengemis yang kebetulan berada di situ dan dapat dihubungi sudah mengatur rencana penghadangan terhadap Lin Lin dan Bok Liong. Ada tiga orang pengemis lihai yang kebetulan dapat dihubungi Suma-kongcu dan yang segera membawa teman-temannya melakukan pengejaran. Yang pertama adalah ketua dari perkumpulan pengemis Hui-houw-kai-pang (Harimau Terbang). Hui-houw-pangcu ini sudah tua, usianya kurang lebih enam puluh tahun, rambutnya sudah putih semua dan senjatanya sebatang tongkat baja.
Selain lihai sekali ilmu tongkatnya, juga ia amat terkenal dengan senjata rahasia yang ia sebut bulu harimau. Sebetulnya senjata ini adalah jarum-jarum halus yang diberi racun, siapa terkena akan menjadi gatal-gatal yahg menjalar ke seluruh tubuh dan berakhir dengan kematian yang mengerikan. Hui-houw-pangcu pergi melakukan pengejaran bersama barisannya yang paling ia banggakan, yaitu Hui-houw-tin (Barisan Macan Terbang). Barisan ini terdiri dari tiga belas orang tokoh pengemis yang berkepandaian tinggi dan yang khusus dilatih untuk membentuk Hui-houw-tin. Besarlah hati Hui-houw-pangcu mengajak barisannya ini, biarpun ia mendengar dari Suma-kongcu bahwa dua orang muda itu lihai, namun ia yakin bahwa Hui-houw-tin akan dapat mengalahkan mereka dan dapat menawan mereka seperti yang diminta oleh Suma-kongcu.
Lewat tengah malam, Lin Lin dan Bok Liong menunda perjalanan karena mereka merasa lelah dan mengantuk. Bok Liong yang sudah beberapa kali melakukan perjalanan lewat daerah ini, tahu bahwa di luar hutan terdapat sebuah kuil kuno yang kosong dan tidak terpakai lagi. Mereka lalu menuju ke kuil itu dan girang hati Lin Lin dapat mengaso di tempat yang terlindung sehingga hawa tidak terlalu dingin. Bok Liong segera membuat api unggun dan mereka duduk di ruangan depan yang agak bersih setelah keduanya menyapu lantai dengan daun-daun kering.
"Kau mengaso dan tidurlah, Lin-moi, biar aku menjaga di sini."
"Mana bisa aku tidur kalau dijaga orang? Twako, jangan kira aku seorang yang mau enak sendiri, tidur pulas membiarkan kau digigiti nyamuk dan mengantuk. Tidak, kalau kau tidak tidur, aku pun tidak mau tidur."
Bok Liong tersenyum lebar, dalam hati amat bersyukur bahwa gadis ini memiliki watak yang demikian baik. Memang, kalau orang sedang jatuh cinta, segala yang dilakukan orang yang dicintanya selalu baik, setiap gerak-gerik menyenangkan. Ia maklum bahwa kalau ia bersitegang, gadis yang keras hati ini tentu betul-betul tidak mau tidur.
"Baiklah, aku pun akan tidur di sini, kau tidur di situ. Besok pagi-pagi kita bangun melanjutkan perjalanan ke kota raja."
"Nah, begitu baru adil namanya,"
Kata Lin Lin melihat pemuda itu merebahkan diri telentang dekat api unggun. Ia pun lalu merebahkan diri miring, membelakangi api unggun yang menyilaukan mata, berbantal tangan. Melihat ini, Bok Liong lalu melempar bungkusan pakaiannya.
"Nih, pakailah untuk bantal, lumayan."
Lin Lin tidak membantah, memberi hadiah senyum terima kasih lalu meramkan matanya.
Bok Liong tentu saja tidak mau tidur, maklum bahwa kalau tertidur keduanya di tempat itu, akan berbahaya sekali. Yang paling berbahaya adalah ular, karena ada beberapa macam ular yang tidak takut akan api. Juga, kalau api unggun padam tidak ada yang tahu. Ia tadi merebahkan diri hanya untuk memanaskan hati Lin Lin agar nona itu mau tidur. Karena gadis itu rebah membelakanginya, dengan leluasa ia dapat memandang belakang tubuh Lin Lin dan pikirannya melamun jauh, mata dan bibirnya membayangkan gelora hati yang penuh kasih dan rindu. Inilah yang menjauhkannya daripada kewaspadaan. Ia tidak tahu bahwa belasan pasang mata sedang mengintai dari tempat gelap. Tiba-tiba, selagi Bok Liong melamun muluk-muluk, tampak sinar-sinar kecil berwarna putih berkelebatan menyambar.
Bok Liong, seorang pendekar muda yang terlatih dan sudah banyak makan asam garamnya pengalaman dunia kang-ouw, terkejut bukan main. Bukan sinar-sinar putih yang menyambar ke arah dirinya yang ia kejutkan, melainkan sinar yang menyambar ke arah diri Lin Lin yang sudah pulas. Tanpa berpikir panjang lagi, semata-mata untuk melindungi diri gadis itu daripada bahaya maut, ia membuang dirinya ke depan Lin Lin sambil mengebutkan kedua lengan bajunya. Cepat sekali gerakannya sehingga gerakan ini membuat beberapa batang jarum halus yang tadinya menyambar ke arahnya, terbang lewat dan menancap ke dalam dinding. Ia berhasil pula menyelamatkan Lin Lin, akan tetapi dua batang jarum tak berhasil dikebut runtuh dan langsung menancap pada pangkal lengannya sebelah kiri.
"Twako.. ada apa..?"
Lin Lin melompat bangun dan secepat kilat ia melompat lagi mendahului Bok Liong. Sebagai seorang ahil silat tinggi, begitu sadar daripada tidurnya Lin Lin sudah berada dalam keadaan siap siaga dan sedetik ia mengira bahwa Bok Liong secara kurang ajar telah mendekatinya. Selagi ia hendak memaki sambil mencabut pedangnya tiba-tiba ia melihat Bok Liong merintih-rintih dan menggaruk-garuk pangkal lengan kirinya. Pada saat itu tampak sinar putih menyambar-nyambar pula. Maklumlah Lin Lin bahwa mereka diserang oleh lawan dengan senjata rahasia, maka cepat ia memutar pedangnya, melompat ke depan Bok Liong dan sinar kuning pedangnya merupakan gulungan yang memukul runtuh sinar-sinar putih bersambaran itu.
"Jangan gerak, cabut jarum gosokkan ini"
Tiba-tiba terdengar suara dari jauh, hanya gemanya saja yang terdengar, akan tetapi tahu-tahu ada sebuah benda kecil melayang jatuh dekat Bok Liong.
Ternyata benda itu adalah sebuah bungkusan kecil. Bok Liong tadinya merasa gatal-gatal bukan main pada pangkal lengannya sehingga biarpun ia tahu bahwa menggaruknya merupakan pantangan yang berbahaya, namun ia tidak kuat menahan. Mendengar suara itu ia terkejut, akan tetapi juga girang melihat datangnya bungkusan. Apalagi melihat bahwa Lin Lin tidak terluka, bahkan gadis ini sekarang berdiri melindunginya. Cepat ia merobek bajunya pada lengan tangan, menggunakan penerangan api unggun yang masih bernyala besar untuk mencabut keluar dua batang jarum yang hampir amblas semua ke dalam daging. Bungkusan itu ia buka, ternyata isinya bubuk berwarna kuning. Tanpa ragu-ragu lagi Bok Liong menggosok-gosokkan bubuk kuning ini pada kedua luka kecil di pangkal lengan kiri. Hebat"
Seketika lenyap rasa gatal-gatal. Dengan kemarahan meluap Bok Liong mencabut pedangnya, melompat berdiri di samping Lin Lin dan berseru.
"Penjahat berhati binatang berwatak pengecut. Kalau memang ada kepandaian, keluarlah dan mari kita bertempur secara orang gagah"
"Sudah lama kami berada di sini, buka matamu baik-baik, pemuda sombong"
Bok Liong dan Lin Lin membalikkan tubuh. Kiranya penyerang gelap itu telah berpindah tempat, kini berada di belakang mereka. Meremang bulu tengkuk mereka memikirkan betapa bahayanya keadaan mereka tadi. Kalau penyerang gelap ini menyerang dengan jarum-jarum halus lagi dari belakang, bukankah amat berbahaya? Jarum-jarum itu demikian halusnya sehingga tidak terdengar sambarannya. Hanya berkat sinar api unggun maka jarum-jarum putih itu kelihatan berkelebat sehingga mereka tadi dapat menyampok runtuh. Kiranya yang berada di situ bukan hanya seorang saja, melainkan empat belas orang yang kesemuanya berpakaian pengemis. Tahulah mereka bahwa hal ini tentu ada hubungannya dengan tiga orang yang dirobohkan Lin Lin di gedung Suma-kongcu.
"Hemmm, kiranya kalian adalah ahli-ahli pula dalam senjata rahasia. Aku kagum dan mengaku kalah dalam hal ilmu senjata rahasia. Akan tetapi, kami tantang kalian untuk menghadapi Barisan Macan Terbang (Hui-houw-tin). Kalau tidak berani, lebih baik kalian menyerah untuk kami tawan. Kalau kalian dapat menangkan Hui-houw-tin, barulah aku Hui-houw-pangcu mengaku kalah."