Cinta Bernoda Darah Chapter 42

NIC

Ia berteriak pada punggung yang lebar itu. Suling Emas membalikkan tubuhnya, memandang dan tersenyum sedikit melihat Sian Eng telah berganti pakaian. Sian Eng yang mengharapkan datangnya ucapan pujian dari mulut Suling Emas, kecewa karena orang itu tidak berkata sesuatu.

"Ini jubahmu, terima kasih,"

Sian Eng mengembalikan lipatan jubah hitam. Suling Emas menerimanya tanpa berkata sesuatu, terus jubah itu dipakainya.

"Kita sarapan daging panggang lalu berangkat ke kota raja,"

Katanya singkat. Sian Eng hanya mengangguk dan keduanya lalu makan daging panggang dan kue kering yang menjadi bekal Suling Emas. Setelah selesai makan, Suling Emas berkata, suaranya serius,

"Jangan menyangka yang bukan-bukan. Kau harus membonceng kuda di depanku agar perjalanan dapat dilakukan lebih cepat. Mudah-mudahan sesampainya di kota raja, kau akan dapat bertemu dengan kakakmu Bu Sin. Silakan"

Kalau saja kata-kata itu tidak diucapkan demikian serius dan wajah Suling Emas yang tampan itu kelihatan angker, tentu Sian Eng akan menjadi malu dan mungkin tak sudi ia berboncengan di atas seekor kuda dengan orang ini. Akan tetapi karena ia ingin segera bertemu kembali dengan saudaranya, ia tidak mau membantah. Dengan ringan ia bergerak, tubuhnya meloncat ke atas punggung kuda. Tiba-tiba kuda itu melonjak dan berlari cepat sekali seperti terbang. Sian Eng terkejut. Di mana Suling Emas? Apakah ia dibawa kabur kuda dan Suling Emas tertinggal di belakang? Dalam gugupnya ia menengok dan.. hampir saja dia beradu hidung dengan orang yang duduk di belakangnya.

Kiranya Suling Emas sudah duduk di belakangnya, agak di belakang sehingga tubuh mereka tidak bersentuhan. Agaknya orang ini demikian ringan gerakannya sehingga ia sama sekali tidak tahu bahwa dia sudah berada di belakangnya tadi. Cepat Sian Eng membalikkan mukanya yang menjadi merah sekali dan diam-diam ia amat kagum akan kehebatan kepandaian orang ini, juga kagum akan kesopanannya. Biarpun ia duduk berboncengan seperti itu, namun ia tidak merasa kikuk karena Suling Emas benar-benar berlaku sopan, duduknya agak jauh di belakang. Memang benar ucapan Suling Emas. Kuda itu luar biasa larinya, cepat seperti terbang dan andaikata mereka melakukan perjalanan tanpa kuda, tentu akan lebih melelahkan, juga lambat.

Suling Emas melakukan perjalanan cepat dan terus-menerus, hanya berhenti dua kali sehari. Bahkan kadang-kadang di malam hari mereka melanjutkan perjalanan. Makin lama, makin percaya Sian Eng kepada orang aneh ini. Di dekat Suling Emas, ia merasa aman tenteram, kecurigaannya lenyap sama sekali dan ia memandang orang ini sebagai seorang pendekar besar yang amat mengagumkan. Yang ia sayangkan, Suling Emas orangnya pendiam, tak pernah mau bicara kalau tidak ditanya. Menjawab pertanyaan pun hanya singkat-singkat seperlunya saja. Hal ini mengecewakan hati Sian Eng karena gadis ini ingin sekali mendengar riwayat hidup orang aneh yang mengagumkan hatinya ini.

Ketika memasuki pintu gerbang kota raja pagi hari itu, banyak orang memandang mereka dengan kagum dan heran. Kagum karena melihat kuda besar bagus ditunggangi sepasang orang muda yang elok dan gagah. Agaknya Suling Emas hendak menyembunyikan dirinya karena ia telah menggunakan sehelai saputangan untuk menutupi gambar suling di dadanya. Namun telinga Sian Eng masih dapat menangkap beberapa orang di pinggir jalan berbisik,

"Dia.. Suling Emas.."

Suling Emas menghentikan kudanya di dalam pekarangan lebar sebuah kelenteng, mengajak Sian Eng turun. Di ruangan depan mereka disambut oleh beberapa orang hwesio yang segera memberi hormat kepada Suling Emas.

"Harap para Losuhu sudi menerima Nona Kam ini sebagai tamu terhormat dan membantunya dalam usahanya menjumpai saudaranya di kota raja."

"Omitohud.. tentu saja, Taihiap. Silakan masuk, Nona.. dan anggaplah di sini sebagai tempat tinggalmu sendiri,"

Kata hwesio tua itu dengan ramah tamah.

"Apakah Taihiap tidak keberatan untuk singgah dulu dan minum teh?"

"Terima kasih, Losuhu. Saya masih mempunyai banyak urusan."

Kemudian ia menoleh kepada San Eng dan berkata.

"Di kelenteng ini, kau berada di tempat yang aman, dan dengan bantuan para Losuhu di sini, kalau saudaramu berada di kota raja, tentu kau dapat bertemu dengannya. Ingat, kalau kalian bertiga sudah saling bertemu dan berkumpul, satu-satunya hal terbaik bagi kalian adalah kembali ke Ting-chun. Nah, selamat berpisah."

Suling Emas memberi hormat kepada pendeta kepala, lalu meloncat di atas punggung kudanya yang lari cepat meninggalkan tempat itu.

Sian Eng berdiri bengong, tak dapat berkata sesuatu. Apa yang dapat ia katakan? Berkumpul dengan orang itu, melakukan perjalanan bersama beberapa hari, telah membuktikan keluhuran budi Suling Emas, kesopanannya, akan tetapi juga keanehannya. Agaknya ada sesuatu yang menekan perasaan orang itu, ada sesuatu yang dideritanya di dalam batin, yang membuatnya tampak pendiam, tidak pedulian, dan wajahnya yang tampan selalu muram seperti matahari yang selalu tertutup mendung di musim hujan. Tiba-tiba ia menoleh kepada pendeta kepala hwesio yang gendut peramah itu.

"Losuhu, dia itu.. Suling Emas itu.. orang macam apakah dia?"

Pertanyaan yang aneh ini keluar begitu saja dari mulut Sian Eng, langsung sebagai peluapan hatinya. Untung yang diajak bicara adalah seorang hwesio tua, kalau orang lain tentu akan memalukan sekali. Hwesio itu hanya tertawa, kemudian menjawab.

Posting Komentar