Sian Eng melanjutkan penuturannya, semenjak munculnya Giam Sui Lok sampai dengan terbunuhnya Kam Si Ek suami isteri dan juga Giam Sui Lok dalam keadaan mengerikan. Ia menceritakan semuanya, malah urusan kakaknya, Kam Bu Song yang harus mereka cari itu pun ia ceritakan kepada Suling Emas. Panjang ceritanya, memakan waktu seperempat jam untuk menceritakan semua dengan jelas. Dan selama itu, Suling Emas duduk menghadapi api tanpa bergerak. Tak pernah menoleh kepadanya, tak pernah pula memotong ceritanya sehingga kadang-kadang Sian Eng meragu apakah ia didengar orang. Ia merasa seperti bercerita kepada sebatang pohon atau kepada sebuah patung.
"Begitulah, kami bertiga berangkat meninggalkan kampung halaman, pergi menuju ke kota raja untuk mencari musuh besar kami dan juga kakak kami Kam Bu Song. Akan tetapi, belum tercapai maksud kami dan belum selesai tugas kami, musuh belum terdapat, kakak belum bertemu, kami sudah cerai-berai tertimpa malapetaka."
Dengan ringkas Sian Eng menceritakan betapa adiknya, Lin Lin, lenyap di atas gedung keluarga bangsawan Suma di An-sui. Kemudian betapa dia dan kakaknya, Bu Sin, yang mendatangi keluarga Suma untuk bertanya tentang kakak mereka, diserang dan ditangkap oleh Suma Boan.
"Tak tahu aku bagaimana akan nasib Sin-ko."
Ia mengakhiri ceritanya dengan suara penuh kegelisahan.
"Tak perlu gelisah. Dia selamat."
"Bagaimana kau tahu?"
Sian Eng bertanya, nada suaranya gembira dan lega bukan main. Tadinya ia mengira bahwa kakaknya itu mungkin sekali tewas dalam tangan putera pangeran yang jahat dan lihai itu.
"Ah, tentu kau telah menolongnya pula, bukan?"
"Menolong sih tidak, hanya aku melihat dia diikat, luka-luka oleh anak panah Suma Boan. Tak dapat aku membiarkan dia mati begitu, kuambil dia dan sekarang dia sudah bebas daripada bahaya. Kalian bertiga sungguh tak tahu diri.."
Sian Eng mengerutkan kening. Kalau saja ia tidak ingat bahwa orang ini sudah menolongnya, juga sudah menyelamatkan Bu Sin, tentu ia akan marah sekali. Kata-kata yang tidak hanya mencela, akan tetapi juga sifatnya memandang rendah, bahkan menghina.
"Kau sudah menolong kami, patut aku berterima kasih kepadamu. Akan tetapi, mengapa kau melakukan semua ini? Mengapa kau menolong kami apa pula maksud kata-katamu tadi bahwa kami adalah tiga orang yang tak tahu diri?"
Suling Emas bangkit berdiri untuk mengumpulkan ranting di sekitar tempat itu, kemudian ia membanting ranting-ranting kering itu dekat api unggun dan berkata, suaranya seperti orang marah,
"Kalian bertiga dengan kepandaian yang tidak berarti begitu berani mati melakukan perantauan untuk mencari musuh besar yang belum diketahui siapa. Sungguh menyia-nyiakan usia muda. Apa yang kalian dapat lakukan kalau bertemu dengan orang-orang jahat? Bagaimana seandainya bertemu dengan orang yang membunuh ayah bundamu?"
Sian Eng maklum akan maksud kata-kata Suling Emas, tahu bahwa kepandaian mereka bertiga memang masih jauh jika dibandingkan dengan kepandaian beberapa orang tokoh besar dalam dunia kang-ouw. Akan tetapi tadinya ketika mereka melakukan perantauan, mereka sama sekali tidak mengira akan hal ini, sama sekali tidak pernah mengira bahwa di dunia ini begitu banyaknya orang pandai, orang aneh dan orang jahat. Betapapun juga, ia tetap tidak menjadi jerih.
"Kalau bertemu, biar kepandaiannya setinggi langit, aku akan melawannya dan mengajaknya bertanding mati-matian"
Sian Eng menjawab dengan suara lantang. Suling Emas mendengus.
"Huh, mudah saja bicara. Kau anak kecil.."
Sian Eng mau marah, tapi tidak dapat. Betapapun jugat ia memang merasa seperti anak kecil di depan pemuda yang aneh ini, yang bersikap begitu alim, pendiam dan serius.
"Memang aku anak kecil, biarlah, memang tidak setua engkau,"
Kata-kata ini untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. Suling Emas menoleh, agak tersenyum dan aneh sekali. Mendadak saja kemarahan Sian Eng lenyap dan ia merasa seakan-akan sudah lama mengenal orang ini, sudah sering kali bertemu. Hal yang tidak mungkin. Barangkali bertemu dalam alam mimpi"
"Dan kenapa kau menolongku, menolong Sin-ko?"
"Siapa menolong siapa? Aku tidak menolong siapa-siapa, hanya melakukan kewajiban sebagai manusia. Kesembronoan kalian bertiga sudah membawa korban. Adikmu yang paling kecil itu hilang, kau bilang tadi ia meninggalkan surat dan menyatakan bahwa ia dibawa pergi Kim-lun Seng-jin? Untung bertemu dengan Kim-lun Seng-jin. Kalau yang membawa itu seorang di antara Thian-te Liok-koai (Enam Setan), apakah tidak celaka sekali?"
Sian Eng memandang heran. Orang ini tidak mau disebut menolong, sikapnya acuh tak acuh, tidak peduli, akan tetapi kadang-kadang bisa marah-marah. Memang aneh sekali, membuat ia bingung. Ah, kalau saja ada Lin Lin di sini, pikirnya, tentu kau akan tahu rasa. Lin Lin wataknya tidak kalah anehnya, dan adiknya itu pandai sekali bicara, pandai berdebat dan andaikata di situ ada Lin Lin, agaknya keadaannya akan berubah. Suling Emas ini tentu akan menjadi gelagapan dan gagap gugup menghadapi serangan bicara Lin Lin.
"Tak perlu kau marah-marah kepadaku,"
Akhirnya ia berkata.
"kau mau menolong atau tidak, terserah. Juga kau mau memberi tahu kepadaku, kalau kau mengetahuinya, siapa adanya pembunuh ayah bundaku dan di mana pula adanya kakakku Bu Song, terserah."
Suling Emas kembali membuang muka memandang api unggun. Wajahnya yang tadi agak berseri dan tampak sekali ketampanannya, sekarang kembali menjadi suram-muram seperti wajah patung mati. Setelah menarik napas beberapa kali dan menambah ranting pada api, ia berkata.
"Siapa yang membunuh ayah bundamu, aku tidak tahu. Terang bukanlah aku. Akan tetapi karena kau dan saudara-saudaramu menuduhku, aku akan berusaha mendapatkan siapa pembunuh itu. Tentang pelajar bernama Bu Song itu, setahuku dia sudah mati"
Kaget sekali hati Sian Eng mendengar berita terakhir ini, apalagi Suling Emas kelihatannya tidak senang ketika bicara tentang kakaknya, Bu Song.
"Bagaimana kau bisa tahu? Kenalkah kau dengan kakakku Bu Song? Bagaimana matinya? Harap kau suka bercerita kepadaku."
"Tidak ada yang dapat diceritakan tentang diri pemuda tolol itu. Kenyataan bahwa dia meninggalkan ayahnya dan tak pernah kembali atau memberi kabar membuktikan bahwa dia tidak berharga untuk dipikirkan lagi. Mengapa kau bersama saudara-saudaramu bersitegang hendak mencarinya?"
Sian Eng tidak menjawab dan mendengar bahwa kakak sulung yang sedang dicari-cari itu telah meninggal dunia, tak dapat ditahannya lagi ia menangis terisak-isak. Suling Emas membiarkan ia menangis sampai lama. Baru kemudian terdengar ia berkata.
"Sudahlah, ditangisi air mata darah sekalipun tiada gunanya. Lebih baik kau memikirkan keadaan saudara-saudaramu yang masih ada. Kakakmu Bu Sin selamat dan tentu berada di tempat tidak jauh dari kota raja. Besok kita pergi ke sana dan aku akan mengantarmu sampai di kota raja. Kemudian, kalau aku dapat bertemu dengan orang aneh Kim-lun Seng-jin, akan kupesan agar dia mengembalikan adikmu yang bernama Lin Lin itu. Kemudian kalian bertiga lebih baik pulang ke Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Sekarang kau tidurlah."
Setelah berkata demikian, Suling Emas duduk menjauhi Sian Eng, kembali merenung dekat api unggun. Sian Eng maklum bahwa percuma mengajak bicara orang aneh ini, maka ia pun membaringkan tubuh. Sampai jauh malam masih terdengar beberapa kali ia mengisak. Akan tetapi kelelahan dan kedukaan membuat ia tertidur.
Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sian Eng sudah terbangun dan alangkah herannya ketika ia melihat pakaian terletak di dekatnya. Ia cepat bangkit duduk. Suling Emas telah menggosok-gosok tubuh kudanya dan tak jauh dari situ terdapat api unggun. Sian Eng tertegun memandang. Orang aneh yang telah menolongnya itu sedang bersenandung. Entah apa yang dinyanyikannya karena terlalu periahan untuk dapat ditangkap pendengarannya, akan tetapi Sian Eng mendengar suara yang menggetar penuh perasaan dalam lagu sedih yang disenandungkan itu. Bau hangus membuat ia cepat memandang api unggun dan kiranya di atas api itu terpanggang sepotong besar daging.
"Daging hangus.."
Otomatis Sian Eng melompat, menutupkan jubah hitam yang terbuka di bagian dada, lari menghampiri daging itu dan membaliknya. Suara senandung menghilang.
"Wah, aku lupa.., Rusakkah dagingnya?"
Suling Emas sudah mendekat.
"Tidak, hanya hangus sedikit.., Pakaian itu.. punya siapa?"
"Kau pakailah. Malam tadi kudapatkan dari dusun di sana."
Setelah berkata demikian, Suling Emas meninggalkan Sian Eng, kembali pada kudanya dan melanjutkan menggosok-gosok tubuh kudanya, berdiri membelakangi gadis itu. Sian Eng memandang wajahnya agak merah, dadanya berdegup aneh. Orang yang selama ini disangkanya musuh besar pembunuh ayah bundanya, kiranya seorang penolong dan seorang yang amat baik, orang yang menarik hatinya. Tak mungkin, Sian Eng membantah di dalam hatinya, dia jauh lebih tua dariku, dia orang aneh. Gadis ini mengusir perasaan tertarik di hatinya, bersembunyi di belakang sebatang pohon besar untuk mengganti pakaian. Beberapa menit kemudian ia telah bersalin pakaian. Jubah hitam milik Suling Emas ia lipat baik-baik, kemudian ia menghampiri daging panggang yang sudah masak.
"Dagingnya sudah matang"