"Nona, kau yang terkuat di antara kalian bertiga, kau di depan dan cepat larikan kuda ini keluar wilayah Khitan."
Semenjak tadi Sian Eng hanya melongo, tidak tahu harus berbuat apa.
"Kau.. kau.. Suling Emas..?"
Akhirnya dapat juga ia mengucapkan kata-kata. Wajah tampan dan mata sayu itu menjadi agak muram, tapi ia mengangguk.
"Bukan waktunya bercakap-cakap, lekas pergi lebih baik,"
Katanya. Akan tetapi pada saat itu, terdengar jerit ngeri dan dua orang gadis itu roboh terguling. Kain hitam yang menyelubungi tubuh mereka terbuka dan.. kulit tubuh yang putih bersih itu sekarang berubah menghitam, mata mereka mendelik dan bibir yang tadinya merah segar kini menjadi kering membiru"
"Ah, gobloknya aku.."
Suling Emas menarik napas panjang.
"Ihhh, mereka kenapa?"
Sian Eng berseru, cemas dan ngeri. Suling Emas menunding ke arah robekan kain hitam tanda Hek-giam-lo.
"Kain itu mengandung racun yang jahat. Mereka sudah mati. Agaknya lebih baik begitu. Nah, mari kita pergi."
Sian Eng tak sempat menjawab apalagi membantah, karena tahu-tahu tangannya telah kena dipegang dan disendal. Sentakan ini demikian kuat sehingga tak tertahankan olehnya dan tubuhnya melayang ke atas punggung kuda. Pada detik berikutnya, kuda itu telah lari cepat sekali dan Suling Emas telah duduk di belakang Sian Eng.
"Tapi.. jenazah mereka itu..?"
Sian Eng berseru sambil menoleh ke arah mayat dua orang gadis senasib yang menggeletak di atas tanah dan ditinggalkan begitu saja.
"Mereka sudah mati, mau diapakan lagi?"
Jawab Suling Emas tak acuh dan ia mengeluarkan kata-kata asing dari mulutnya kepada kuda itu yang meringkik keras lalu membalap seperti terbang cepatnya.
Tidak karuan rasa hati Sian Eng. Memang ia telah terlepas daripada ancaman bahaya maut di tangan orang-orang Khitan, maut yang amat mengerikan. Akan tetapi ia terlepas dari bahaya yang satu untuk jatuh ke dalam tangan yang lain. Ia kini terjatuh ke dalam tangan Suling Emas. Apakah kehendak orang aneh ini? Sikapnya mencurigakan, wataknya juga aneh. Ada kalanya tampak baik dan suka menolong, akan tetapi di lain saat bisa berhati keras dan kejam. Jenazah dua orang gadis itu dibiarkan begitu saja.
Ingin ia dapat memandang muka Suling Emas, akan tetapi ia duduk di depan dan orang itu duduk di belakang. Sedikitnya ia merasa lega bahwa Suling Emas agaknya bukan laki-laki yang ceriwis. Tidak ada bukti-bukti yang membayangkan watak kotornya terhadap wanita. Sekarang pun, biar mereka duduk berdua di atas punggung kuda, namun Suling Emas duduknya agak jauh di belakang sehingga tidak menyentuhnya. Kalau saja tidak tampak kedua tangan orang itu di kanan kirinya memegangi kendali kuda, tentu ia mengira bahwa Suling Emas sudah tidak berada di belakangnya lagi. Ketika ia diculik Hek-giam-lo dan dibawa ke utara, Sian Eng mengalami perjalanan yang amat aneh, dengan Hek-giam-lo sebagai pelayan dan juga pengawasnya yang jarang mengeluarkan suara, dengan maksud yang masih merupakan rahasia baginya.
Sekarang, dalam perjalanan kembalinya menuju ke selatan bersama Suling Emas, Sian Eng mengalami perjalanan yang aneh pula. Seperti juga Hek-giam-lo, tokoh ini jarang sekali membuka mulut. Biarpun wajah yang tampan itu ketihatan selalu sayu dan muram, namun membayangkan sesuatu yang mengerikan bagi Sian Eng, tidak kalah seramnya oleh muka Hek-giam-lo, muka iblis tengkorak itu. Bagaimana takkan ngeri dan seram kalau melihat orang ini diam saja, tak pernah memandangnya, tak pernah bicara, pendeknya, tidak pernah apa-apa seperti patung hidup. Malam itu Suling Emas terpaksa menghentikan kudanya. Malam amat gelap sehingga tak mungkin melanjutkan perjalanan. Mereka berhenti di sebuah lereng bukit, di pinggir jalan. Kuda hitam belang putih itu tidak diikat, dibiarkan terlepas begitu saja.
Suling Emas lalu mengumpulkan ranting dan daun kering, membuat api unggun di bawah pohon besar. Mengambil roti kering dan tempat minum dari kantung yang tergantung di punggung kuda, lalu duduk di dekat api unggun. Ia tidak berkata apa-apa, hanya menoleh ke arah Sian Eng dan sinar matanya saja yang mengajak gadis itu duduk mendekati api. Sian Eng mendekat, lalu duduk di atas rumput kering dekat api unggun. Tanpa berkata sesuatu, Suling Emas memberi roti kering dan tempat minum. Sian Eng menghela napas, akan tetapi menerima roti dan makan roti itu, karena perutnya terasa amat lapar. Sehari suntuk mereka menunggang kuda, tak pernah berhenti sebentar pun juga, tidak makan tidak minum. Sudah lama Sian Eng tidak pernah menunggang kuda dan sekarang, sekali naik kuda sehari penuh. Punggungnya terasa kaku dan seluruh badan sakit-sakit.
Mereka makan roti kering dan minum air tawar tanpa bicara. Sesudah makan, Sian Eng melihat betapa Suling Emas hanya duduk termenung memandang api yang bernyala-nyala, duduk tak bergerak dan mata itu bersinar-sinar, hilang kesayuannya. Wajah yang tampan dan aneh itu pun tidak muram lagi, malah agak berseri. Keindahan api itukah yang mendatangkan semua ini? Ataukah karena di dalam nyala api ia melihat atau teringat akan sesuatu? Diam-diam Sian Eng menatap wajah itu dari samping. Wajah yang tampan, dengan guratan-guratan yang membayangkan penderitaan hidup, guratan kematangan jiwa. Tidak terlalu muda lagi biarpun tak mungkin mengatakan bahwa dia itu sudah tua. Sukar menaksir usianya. Akhirnya Sian Eng tak dapat menahan lagi kegelisahannya.
"Kau hendak membawaku ke mana?"
Suling Emas agaknya terkejut mendengar suara ini. Tadinya ia melamun dan seakan-akan telah lupa bahwa di dekatnya terdapat seorang manusia lain. Suara Sian Eng seperti menyeretnya turun dari dunia lamunan dan gagap ia menoleh sambil bertanya.
"Apa..?"
Mendongkol juga hati Sian Eng. Orang ini terlalu memandang remeh kepadanya, pikirnya. Dengan ketus ia bertanya.
"Dengan maksud apa kau menolongku, dan ke mana kau hendak membawaku pergi?"
"Dengan maksud apa?"
Agaknya pertanyaan ini membuat Suling Emas kembali melamun sebentar, mengingat-ingat setelah mengulang pertanyaan itu, kemudian ia menjawab,
"Tentu saja agar kau bebas daripada ancaman bahaya, dan tentu saja membawamu pergi dari daerah yang dikuasai orang-orang Khitan."
Sian Eng tak dapat berkata apa-apa lagi. Memang alangkah bodohnya pertanyaannya tadi. Tentu saja begitulah tujuan Suling Emas menolongnya, tanpa bertanya pun seharusnya ia mengerti. Akan tetapi, Suling Emas ini bukan orang biasa, melainkan musuh besarnya. Kembali berdebar jantungnya dan dia memandang wajah yang sudah menoleh kembali menatap api unggun.
"Kurasa bukan itu maksudmu,"
Ia berkata dengan suara tegas dan ketus.
"Suling Emas, kau telah membunuh ayah bundaku. Sekarang kau pura-pura menolongku, tentu dengan maksud tertentu yang.. yang tidak baik"
Suling Emas mengangguk-angguk, tetap memandang api, matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri, agaknya ia gembira sekali mendengar ini.
"Hemmm.. itukah sebabnya mengapa kalian bertiga mencari-cari Suling Emas? Pantas saja kalian menghujankan senjata rahasia kepadaku di hutan itu.."
Sian Eng terkejut. Jadi orang ini sudah tahu bahwa dia dan dua orang saudaranya mencari-carinya, malah tahu pula akan penyerangan di dalam hutan itu. Benar-benar orang aneh dan lihai sekali, Akan tetapi ia tidak takut.
"Memang betul. Biarpun kau berkepandaian tinggi, karena kau membunuh ayah bunda kami, kami hendak menuntut balas. Malah sekarang juga aku menantangmu untuk bertempur. Kau harus menebus kematian orang tuaku dengan nyawamu, atau aku yang akan mengorbankan nyawa dalam menuntut balas dendam"
Sian Eng meloncat bangun dan memasang kuda-kuda, mengambil keputusan untuk mengadu nyawa dengan musuh besarnya walaupun ia cukup maklum bahwa kepandaiannya sama sekali tidak ada artinya kalau dibandingkan dengan tokoh aneh ini. Suling Emas tetap tidak menoleh, malah menggunakan sebatang ranting untuk mengorek api unggun sehingga nyala api membesar, menerangi wajahnya yang tampan dan yang kini berkerut-kerut di bagian jidatnya itu.
"Hemmm, kalian bodoh. Aku tidak membunuh orang tua kalian, tahu pun tidak aku siapa mereka dan siapa kalian bertiga. Mana bisa aku membunuh orang yang tak kuketahui siapa dan di mana tempat tinggalnya?"
Sian Eng ragu-ragu dan bimbang. Ketegangan yang sudah memenuhi tubuhnya tadi mengendur,
"Tapi.. tapi.. sebelum meninggal, Ibu bilang.. tentang pembunuh itu.. menyebut-nyebut tentang suling.."
"Jangan bodoh. Duduklah dan ceritakan yang jelas. Kalau aku membunuh orang, siapapun dia itu, aku takkan menyangkal. Suling Emas tidak biasa menyangkal perbuatannya, tidak biasa bersikap pengecut, berani berbuat harus berani bertanggung jawab."
Biarpun Suling Emas tidak menengok dan masih memandang api namun terasa oleh Sian Eng bahwa ucapannya itu keluar dari lubuk hati. Kemarahannya melunak dan ia lalu duduk lagi dekat api, melirik ke arah orang itu dengan bingung.
"Kalau bukan engkau, siapa..?"
Pertanyaan ini keluar dari bibirnya tanpa ia sadari, seakan-akan suara hatinya yang terdengar melalui bibirnya.
"Bukan aku"
Jawab Suling Emas pasti.
"Kalau kau mau, ceritakanlah tentang pembunuhan itu."
Sian Eng percaya.
Andaikata orang ini yang membunuh orang tuanya, kiranya tak perlu menyangkal memang. Kepandaiannya tinggi dan dia sendiri akan dapat berbuat apakah terhadap Suling Emas? Dan hatinya menjadi agak lega. Syukur kalau bukan Suling Emas. Pertama, karena kalau benar dia pembunuhnya, tentu sukar sekali membalas dendam. Kedua, ia sudah ditolongnya terlepas daripada bahaya maut di tangan orang-orang Khitan. Ke tiga, ia ingat sekarang, dan tahu bahwa dia bersama dua orang saudaranya dahulu itu pun dibebaskan daripada bahaya maut di tangan It-gan Kai-ong oleh Suling Emas. Kalau Suling Emas pembunuh orang tua mereka dan sekaligus penolong mereka, bukankah hal itu akan menimbulkan hal yang amat membingungkan?
"Ah, kalau begitu maafkan kami. Kami selalu mengira kaulah musuh besar kami. Ah, kalau begitu benar dugaan Lin-moi.."
"Lin-moi? Siapa?"
"Adikku.."
"Ahhh, begitu? Kalau tidak keberatan, ceritakan tentang pembunuhan itu."
Sian Eng berpikir sejenak. Apa salahnya menceritakan hal itu kepada Suling Emas yang sekarang bukan lagi merupakan musuh, malah menjadi penolong? Siapa tahu dari tokoh ini ia akan dapat mengetahui siapa gerangan pembunuh ayah bundanya.
"Kami adalah keluarga Kam, tinggal di dusun Ting-chun di kaki Gunung Cin-ling-san. Ayah kami.."
"Jenderal Kam?."
Sian Eng terkejut dan kembali ia menjadi curiga.
"Bagaimana kau bisa tahu?"
Masih tetap merenung dan memandang api, Suling Emas menjawab tak acuh.
"Banyak tokoh kukenal. Jenderal Kam bukanlah orang yang tidak ternama. Teruskanlah."