Dia mengeluarkan jarum besi yang selalu disembunyikannya, dan segera menusukkan ke jalan darah penting nikoh.
Dia sengaja memilih jalan darah yang tidak mematikan, tapi hanya membuat cacat dan melumpuhkan.
Dia tidak ingin menanggung dosa membunuh seorang nikoh.
Nikoh itu langsung terjatuh dengan jeritan yang tajam, namun tiba-tiba dia berubah menjadi Thiat-yan.
Cu Siau-thian tertegun.
Pada awalnya dia tidak mengerti apa yang sudah terjadi.
Dia sangat menyayangi anak perempuan satu satunya ini.
Dia tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Mendadak dia sadar Nikoh itu sudah menghipnotisnya agar dia menyangka bahwa Thiat-yan yang diserangnya adalah nikoh.
Dapat dikatakan dia sudah membuat cacat anaknya dengan tangannya sendiri.
Kepala Cu Siau-thian serasa pecah.
Dia membelalakkan matanya sangat lebar dan jatuh lemas terduduk dilantai.
Hal terakhir yang didengarnya dengan sadar adalah kata kata nikoh.
Walaupun belum mulai bertarung, namun Boh Tan-ping tampak sudah kehabisan tenaga.
Mukanya tampak sedikit pucat, dan sepertinya dia tidak terlalu berkonsentrasi menghadapi pertarung-an Dia sedang mempertimbangkan sesuatu berulang-ulang.
Pikirannya itu tampak memberatkan hatinya.
Ini sangat jelas tergambarkan pada mukanya.
Tu Liong segera melaju menyerang Boh Tan-ping.
Pisau kecil yang tajam segera melesat menuju dadanya.
Boh Tan-ping sepertinya sedikit melamun.
Teriakan Tu Liong yang mendadak mem-buatnya kembali sadar.
Dia berusaha menebaskan pedang gigi gergaji untuk menghindari serangan "TRAAANG" Seorang pendekar tangguh tetap bisa ber-tarung dengan baik walaupun sedang banyak pikiran.
Setelah pisau Tu Liong terhempas ke sisi, dia segera menebaskan pedang gigi gergajinya ke arah Tu Liong.
Namun dia sudah sangat letih.
Gerakannya tidak lagi lincah.
Tu Liong bisa menghindari serangannya dengan sangat mudah.
Selagi Boh Tan-ping berusaha mengangkat pedang gigi gergajinya yang berat, Tu Liong sudah melangkah mendekat dan menekankan telapak tangannya ke dada lawannya.
Rasa linu yang dahsyat segera menghantam dadanya.
Boh Tan-ping mundur beberapa langkah.
Dia tahu dia tidak bisa terus bertarung seperti ini.
Dia segera memalingkan muka melihat Cu Siau-thian memohon bantuan.
Tapi tampaknya Cu Siau-thian tidak menghirau kan dirinya.
Dia sedang memalingkan muka dan melihat putri kandungnya, padahal dia sama sekali tidak diserang oleh nikoh.
Boh Tan-ping merasa kecewa.
Saking kecewanya, dia tidak memperhatikan Tu Liong kembali menghajarnya dengan telapaknya.
Dia terlempar ke belakang sampai menabrak dinding.
Tu Liong tidak melepaskannya begitu saja, sebentar saja dia sudah menempel lagi padanya dan berkata dengan jelas ke dalam telinganya.
"Untuk apa kau terus membela Cu Siau-thian" Dia tidak memperdulikanmu lagi, kau tidak dilahirkan olehnya." Setelah itu Tu Liong sudah mengayunkan pisau yang dipegangnya ke arah leher Boh Tan-ping.
Pisau itu menancap di tembok hanya meleset satu centimeter dari kulit lehernya.
Tindakan ini disengaja olehTu Liong.
Dia hanya memandang mata Boh Tan-ping dalam-dalam.
Boh Tan-ping terkulai lemas.
Tu Liong segera memalingkan muka, membalikkan tubuh dan berjalan menuju pembunuh beralis putih.
Pikiran mulai berkecamuk didalam kepala Boh Tan-ping.
Dia hanya setengah sadar ketika melihat tangan Tu Liong yang terputus.
Dia bingung ketika Cu Siau-thian malah menusuk anaknya sendiri, tidak percaya kepala pembunuh beralis putih sudah tertancap sebuah pedang panjang.
Sayang dia melihat semua hal ini dengan mata kepalanya.
Dia tidak mungkin percaya.
Mendadak dia merasa jenuh dengan semua hal ini.
Setelah semua jeritan yang memilukan hati, dia mendengar sang nikoh berkata-kata.
Tawa Cu Siau-thian menggelegar keras, namun Tu Liong tidak banyak memperhatikannya.
Rasa ngilu pada luka sayat di bahu kanannya masih terasa, namun dia sudah tidak menyimpan banyak dendam pada Boh Tan-ping.
Dia tahu sebenarnya Boh Tan-ping adalah orang yang baik.
dia sudah membuktikan kesetia-annya.
Selama itu dia selalu setia pada Cu Siau-thian mantan majikannya.
"Sayang dia tidak bisa merubah pandangannya seperti ku" katanya dalam hati.
Walau demikian Tu Liong masih berniat untuk mengalahkan Boh Tan-ping dan membuatnya sadar.
Akhirnya tawa Cu Siau-thian berhenti.
Semua orang melesat menyerang.
Tu Liong juga tidak tinggal diam.
Dia pun segera melesat menuju Boh Tan-ping.
Namun alangkah terkejutnya dia, Boh Tan-ping hanya berdiri diam ditempat.
Sepertinya dia sedang melamun memikirkan sesuatu.
Bahkan sampai pisau Tu Liong nyaris menusuk dadanya, dia tampak masih termenung.
Tu Liong segera berteriak keras untuk menyadarkannya.
Setelah kembali sadar, Boh Tan-ping tampak sangat kaget melihat Tu Liong sudah sangat dekat.
Dia segera mengayunkan pedang gigi gergaji dan menepis pisau yang melesat menuju dadanya.
"TRAAANG" Tu Liong bersyukur dia segera sadar sebelum terlambat.
Pedang gigi gergaji kembali berputar dan mengayun ke arahnya.
Dari pertarungan sengitnya dengan Boh Tan-ping, Tu Liong tahu sebenarnya ilmu silat Boh Tan-ping sangat hebat.
Namun kali ini ayunan tebasan pedang gigi gergaji tampak serampangan.
Tu Liong dapat menghindarinya dengan mudah.
Dia berkelit ke sebelah kiri dan menghen-takkan kakinya serta melayangkan telapak tangan ke arah dadanya.
Boh Tan-ping jelas sekali tidak siap meng-hadapi pertarungan kali ini.
Dia terpukul mundur beberapa langkah.
Dia menoleh pada Cu Siau-thian meminta pertolongan.
Ternyata Cu Siau-thian tidak menghiraukan nya.
Tu Liong tahu ini adalah kesempatan emas baginya untuk menyadarkan Boh Tan-ping.
Dia kembali melaju cepat ke arahnya.
Sekali lagi telapaknya menghantam keras dadanya.
Boh Tan-ping terpelanting keras dan menghantam tembok.
Kalau Tu Liong sungguh ingin membunuhnya, sekarang dia sudah pasti mati.
"Ini saatnya" kata Tu Liong dalam hati.
Dia segera melesat menuju Boh Tan-ping, mendesaknya ke dinding sampai tidak bisa bergerak.
Tu Liong berkata dengan jelas ke dalam telinganya.
"Untuk apa kau terus membela Cu Siau-thian" Dia tidak memperdulikanmu lagi, kau tidak dilahirkan olehnya." Setelah itu Tu Liong mengayunkan pisau yang dipegangnya ke arah leher Boh Tan-ping.
Pisau itu menancap di tembok hanya meleset satu centimeter dari kulit lehernya.
Tu Liong memandang mata Boh Tan-ping dalam dalam.
Boh Tan-ping terkulai lemas.
Tu Liong berpikir bahwa dia sudah cukup melakukan apa yang dia bisa lakukan.
Apakah dia akan membuka lembaran hidup baru atau tetap mengabdi pada tuan yang salah, semuanya terserah pada Boh Tan-ping.
Dia segera memalingkan muka, membalikkan badan dan berjalan menuju Pembunuh beralis putih.
Wie Kie-hong masih sangat muda.
Tu Liong tidak yakin dia bisa menghadapi pembunuh beralis putih dengan baik.
Tu Liong tidak bisa tinggal diam.
Dia harus menolongnya.
Pembunuh beralis putih sedang membelakanginya.
Dia tampak sedang bertarung sengit dengan Wie Kie-hong.
Wie Kie-hong tampaknya kewalahan menghadapinya.
Hingga suatu saat, Wie Kie-hong membuat kesalahan fatal.
Dia tidak berhasil memulihkan pertahanannya setelah gagal menyerang Pembunuh beralis putih.
Tu Liong melihat Pembunuh beralis putih mengayunkan pedang menyerang pertahanan yang lemah.
Tu Liong tahu, kalau dia tidak segera menolong, Wie Kiehong pasti kehilangan nyawanya.
Tu Liong tidak berpikir panjang.
Dia segera melesat menuju Pembunuh beralis putih, segera menjulurkan tangan kiri dan mencengkeram bahu nya.
Dia berseru keras: "Kie-hong!! hati hati!!!" Pembunuh beralis putih tampak kaget.
Dia tidak menyangka ada orang dibelakang-nya.
Konsentrasi pembunuh beralis putih menjadi buyar sesaat.
Berkat bantuan Tu Liong, Wie Kie-hong berhasil menghindar serangan.
Namun mendadak Pembunuh beralis putih memutarkan tubuhnya dan langsung menebas bahu kiri Tu Liong sampai putus.
Rasa sakit yang sangat tajam menyengat bahu Tu Liong.
Dia berteriak keras dan berjalan terhuyung-huyung kebelakang.
Darah segar bermuncratan kemana-mana.
Dia mendengar Wie Kie-hong berteriak pada nya..
"Tu Toako...!!!" Setelah itu Pembunuh beralis putih pun ikut berteriak dengan suara sangat memilukan.
Sebelum tidak sadarkan diri, dia masih sempat mendengar sang nikoh berkata: "Amitaba...
jaring takdir memang tidak rapat, namun tidak seorang pun yang bisa menembusnya." Tubuh Wie Kie-hong masih terasa pegal Staminanya belum pulih setelah bertarung dengan Boh Tan-ping di kediaman Paman Tan.
Namun saat ini hal itu tidak diperhatikannya.
Hatinya yang panas dan emosinya yang meledak-ledak membuatnya ingin membalaskan dendam pada pembunuh beralis putih secepatnya.
Cu Siau-thian tertawa panjang.
Wie Kie-hong sudah memasang ancang ancang menyerang Pembunuh beralis putih.
Dia tidak memperdulikan apa-apa lagi.
Matanya terus tertuju pada pedang milik ayahnya yang sekarang bersinar biru terang.
Ketika tawanya berhenti, Wie Kie-hong segera menjerit keras dan melesat cepat berusaha menebas Pembunuh beralis putih sampai terbelah menjadi dua.
"HIAAAAAHHH!!!!" Tampaknya Pembunuh beralis putih juga sama bersemangatnya dengan dirinya.
Kedua pedang bentrok.
Sabetan sabetan pedang berulang kali terjadi.
TRANG!!! TRANG!!! TRANG!!! TRANG!!! Pertama-tama, Pembunuh beralis putih tampak terdesak mundur.
Wie Kie-hong merasa bahwa ilmu silat Pembunuh beralis putih tidak sehebat yang dikatakan orang orang.
Dia tidak mengerti mengapa ayahnya bisa terbunuh dibawah tangan orang yang seperti ini.
Dia lalu teringat semua orang yang sudah dibunuhnya.
Hiong-ki yang dia kagumi, Hui Taiya dan ayah angkatnya Leng Souw-hiang.
Semua membuat emosinya semakin berkobar, namun pikirannya semakin kalut.
Serangannya makin membabi buta.
Lama kelamaan, tangan Wie Kie-hong mulai terasa pegal.
Wie Kie-hong sadar kalau dia belum siap menghadapi Pembunuh beralis putih.
Dia harus beristirahat dulu beberapa saat untuk memulihkan tenaga.
Tapi dia tidak bisa mundur.
Mundur hanya berarti kematian baginya.
Setelah beberapa jurus, Pembunuh beralis putih tampak menyeringai kejam.