Ketika dia hendak pulang, Shi Men mernberi sumbangan besar kepada kepala Kuil untuk biaya perbaikan dan sebelum keluar dari Kuil, lebih dulu dia berjalan-jalan dl bagian belakang Kuil yang luas itu. Di sebuah ruangan dia melihat banyak Hwesio sedang membaca ayat-ayat suci. Seorang di antara mereka yang berlutut menghadapi kitab suci itu menarik perhatiannya. Hwesio itu kurus kering, hanya tulang- tulang terbungkus kulit. Jubahnya sederhana sekali namun cukup bersih. Sepasang matanya seperti mata harimau, mengeluarkan sinar mencorong. Kepalanya yang gundul itu mengkilap, seolah-olah terbuat dari batu marmar dan di dagunya tumbuh sedikit jenggot yang tidak terpelihara. Hwesio ini, berbeda dari yang lain, nampak berwibawa dan tenggelam ke dalam samadhinya.
“Ah, Hwesio itu bukanlah manusia sembarangan,” pikir Shi Men dan timbul keinginan hatinya untuk bercakap-cakap dengan Hwesio itu. Dengan suara nyaring dia lalu bertanya sambil mendekati Hwesio itu.
“Lo-Suhu, siapakah namamu dan dari manakah Lo-Suhu datang?” Setelah diulang dua kali, barulah Hwesio itu sadar dan membuka matanya. Melihat Shi Men, diapun cepat bangklt berdiri dan menjawab dalam suara yang parau.
“Pinceng (aku) bernama Hwan Hwesio dan Pinceng datang dari daerah barat, di perbatasan india. Pinceng adalah seorang Hwesio perantau yang suka berjalan-jalan di antara awan-awan dan Pinceng menguasai, sedikit ilmu pengobatan untuk menolong orang yang sakit. Apakah yang Taijin kehendaki dari Pinceng?”
“Ah, kiranya Lo-Suhu pandai dalam hal ilmu pengobatan. Apakah kiranya Lo-Suhu mempunyai obat kuat untuk laki-lakl?”
“Pinceng punya”
“Bagus, kalau begitu saya mengundang Lo-Suhu untuk berkunjung ke rumah saya. Maukah pergi bersama saya?” “Boleh, boleh.” Hwesio itu mengambil sebatang tongkat dari bawah bangku dan membawa pula sepasang kantong obat yang dipikulnya dengan tongkat itu. Setelah tiba di luar pintu gerbang, Shi Men rnenyuruh Siauw Thai mencarikan seekor kuda untuk Hwesio itu.
“Tidak perlu repert-repot, Taijin,” Hwan Hwesio berkata. “Pinceng tidak pernah menunggang kuda tetapi dengan jalan kaki pincang akan sampai di tempat tujuan lebih cepat daripada Taijin yang menunggang kuda.” Pada waktu itu, di depan pintu gerbang rumah Shi Men nampak seorang pemuda remaja yang sudah sejak tadi hilir mudik seperti ada yang dinantikannya... Dia adalah adik laki-laki dari Liok Hwa atau Nyonya Han, kekasih Shi Men. Encinya yang merasa rindu kepada Shi Men, mengutusnya untuk menyampaikan keinginan hatinya bertemu dengan kekasihnya itu melalui pelayan Siauw Thai. Karena, mendengar bahwa Siauw Thai pergi mengikuti majikannya keluar, dia menanti di depan pintu gerbang.
Akhirnya, muncullah Siauw Thai menunggang keledai, diikuti oleh seorang Hwesio yang berjalan kaki. Anehnya, kalau Siauw Thai yang menunggang keledai nampak berkeringat kelelahan, Hwesio itu kelihatan segar saja. Melihat orang yang dicarinya, pemuda itu cepat menyampaikan pesan Encinya kepada Siauw Thai, yang berjanji akan memberitahukan majikannya. Tak lama kemudian datanglah Shi Men berkuda dan melihat betapa Hwesio itu benar-benar telah berada di situ, dia merasa heran dan kagum sekali. Cepat dituntunnya Hwesio itu masuk ke dalam rumannya. Hwan Hwesio bengong dan kagum menyaksikan isi gedung yang demikian mewah dan indahnya. Dia dipersilakan duduk di ruangan tamu dan Shi Men masuk untuk berganti pakaian. Ketika dia kembali menemui tamunya, Shi Men bertanya,
“Apakah Lo-Suhu suka minum arak?”
“Arak dan daging bukan merupakan pantangan bagi seorang Hwesio perantau seperti Pinceng. Semua adalah rezeki yang harus diterimanya.” Karena hari itu adalah hari ulang tahun kelahiran Sun Siu Oh, isteri ke empat dari Shi Men, tentu saja di dapur terdapat banyak sekali masakan dan Hwesio itu disuguhi makanan yang belum pernah atau jarang sekali dihadapinya. Diapun tanpa malu-malu menyikat masakan itu ditemani arak dan setelah perut yang kempis itu menggendut, barulah dia menghentikan makan minumnya.
“Wah, perut Pinceng kenyang sekali,” katanya puas. Seorang pelayan lalu membersihkan meja itu dan kembali mereka ditinggal berdua saja atas isyarat Shi Men.
“Nah, sekarang saya menagih janji Lo-Suhu tentang obat kuat itu,” katanya.
“Jangan khawatir, Taijin. Karena Taijin telah bersikap amat ramah dan baik kepada Pinceng, maka Taijin berhak menerima beberpa butir pil obat kuat yang luar biasa dari Pinceng, obat ini menurut resep dari nabi Lo-Cu yang mendapatkannya menurut petunjuk Ibu Suri dari Barat.” Dia mengeluarkan sebuah dompet obat dari kantong obatnya dan menuangkan keluar seratus sepuluh butir pel “Sekali minum sebutir pel saja, Taijin, tidak boleh lebih dan telanlah dengan arak,” katanya.
“Dan apakah khasiatnya?” tanya Shi Men gembira.
“Khasiatnya? Tidak saja akan membuat Taijin nampak lebih muda, mempertebal tumbuhnya rambut, memperkuat gigi, menajamkan mata, akan tetapi juga akan memperkuat kejantanan sehingga Taijin mampu mengalahkan sepuluh orang wanita dalam waktu semalam. Kalau Taijin kehabisan tenaga, segelas air putih saja cukup untuk memulihkan tenaga Taijin.” Sebagai seorang yang gila perempuan menjadi hamba dari nafsu birahinya, tentu saja Shi Men girang bukan main mendengar keterangan akan khasiat obat dan keserakahannya membuat dia membayangkan bahwa seratus sepuluh pel itu akan cepat habis, maka alangkah baiknya kalau dia mampu memiliki resep obat kuat itu untuk dibuatnya sendiri Maka, dia menawarkan berapa saja harga resep obat itu untuk dibelinya. Mendengar ini Hwan Hwesio tertawa.
“Maaf, Taijin. Pinceng sudah bersumpah untuk meninggalkan keduniawian. Karena tidak membutuhkan barang dunia, apa artinya uang banyak bagi Pinceng? Pinceng memberi obat untuk membalas keramahan taijin. Pinceng tidak mambutuhkan uang.” Setelah berkata demikian, pendeta itupun pergi. Sementara itu, di sebelah ruang dalam, di antara para tamu yang datang memberi selamat kepada Nyonya keempat Sun Siu Oh, terdapat. dua orang nikouw, yaitu Wang Nikouw yang kali ini memehuhi janjinya membawa seorang nikouw tua dan sikapnya agung, yaitu Pi Nikouw yang diiringkan dua orang nikouw muda yang cantik.
Para nikauw itu dijamu di meja terpisah oleh Goat Toanio dengan hidangan tanpa daging. Dalam kesempatan ini, Pi Nikouw memberi wejangan-wejangan tentang Agama Buddha dan pelajarannya, dan para wanita di situ mendengarkan dengan asyik, kecuali Kim Lian yang merasa bosan mendengar teori- teori tentang hidup saleh dan baik itu. Goat Toanio merupakan pendengar yang paling serius. Melihat betapa para isterinya sibuk menjamu nikouw-nikouw, setelah mengantar Hwan Hwesio sampai di depan pintu gerbang, Shi Men langsung saja pergi mengunjungi kekasihnya, Nyonya Han. Dia tadi telah diberitahu oleh Siauw Thai bahwa kekasihnya itu mengharapkan kunjungannya, karena pada hari itu kebetulan merupakan hari ulang tahun Liok Hwa pula. Kebetulan sekali, pikir Shi Men, teringat akan obat kuat di dalam sakunya.
“Siauw Thai, kalau orang rumah menanyakan, katakan bahwa aku akan mengadakan pemeriksaan ke toko-tokoku,” pesan Shi Men kepada kacungnya. dan diapun langsung saja mengunjungi Nyonya Han. Liok Hwa menyambutnya dengan girang bukan main, apalagi ketika kekasihnya itu mengeluarkan sepasang bros emas dengan huruf “Panjang Umur” yang indah sekali. Juga Shi Men memberinya setengah ons perak.
“Suruh orang membeli arak yang baik.” Dan dia menambahkan, “Arak jagung.”
“Apa? Arak jagung? Apakah engkau telah bosan dengan arak anggur yang baik maka engkau menghendaki arak jagung yang murahan?” tanya Liok Hwa heran, akan tetapi ia segera menyuruh adik laki-lakinya untuk membeli arak yang dikehendaki oleh Shi Men. Hwesio Hwan berpesan agar pel itu diminum dengan arak jagung! Setelah araknya datang, Shi Men mengeluarkan sebutir pel merah dan di- minumnya dengan arak itu. Melihat ini, Liok Hwa tersenyum dan mengangguk-angguk.
“Aih, kiranya arak jagung itu untuk minum obat itu? Obat apakah itu?” Kekasihnya tidak menjawab, namun jawabannya segera didapat oleh Liok Hwa ketika ia berada dalam pelukan kekasihnya. Mereka berdua barmain cinta sedemikian rupa seperti yang belum pernah mereka rasakan sebelumnya. Wang Liok Hwa dihantarkan ke puncak kenikmatan sampai ia hampir pingsan, dan tentu saja Shi Men girang bukan main melihat khasiat obat pemberian Hwan Hwesio itu.
“Dengar, manisku. Aku akan mengutus suamimu yang tua itu bersama Lai Po ke pusat pembuatan garam di Yang-Couw, kemudian dari sana terus ke pabrik sutera di Hu-Couw. Dengan demikian untuk beberapa lamanya kita berdua akan menikmati cinta kita tanpa ada gangguan.” Sementara itu, para isteri Shi Men bortanya-tanya ke mana perginya suami mereka, itu. “Heran, ke mana perginya?” tanya Goat Toanio kesal.