“Ya Tuhan, ampunkan seorang wanita tak berdosa ini.” Kim Lian mengeluh dan menangis.
“Sesungguhnya aku tidak pernah melakukan kesalahan apapun selagi engkau tidak di rumah. Setiap siang aku menyulam bersama Yu Lok, dan setiap malam aku mengunci pintu dan tidur sore-sore. Belum pernah aku mempergunakan pintu samping. Kalau tidak percaya, tanya saja Cun Bwe.”
“Akan tetapi aku mendengar engkau memberinya tali rambut, tiga penjepit rambut. Kebohonganmu tidak berguna” Shi Men berteriak marah.
“Mereka itu menyebar fitnah kepadaku!” Kim Lian menyangkal. “Semua cerita itu hanya karangan saja dari perempuan busuk kampungan itu, yang membenciku karena engkau sayang kepadaku. Semoga ia terkutuk, mulutnya membusuk dan mati tersiksa. Tali rambut dan penjepit rambut itu berada di sini, ada padaku. Jangan percaya segala fitnah. Kalau bajingan cilik itu mengaku apa-apa, berarti dia telah berbohong!”
“Hemm, apakah engkau mengenal barang ini?” Shi Men mengeluarkan kantung harum yang didapatkannya pada diri Kin Tung tadi dan memperlihatkannya kepada Kim Lian. “Bagaimana barang ini bisa berada di tubuhnya? Apakah engkau masih hendak menyangkal, perempuan tak tahu malu?” Kemarahan Shi Men berkobar lagi dan cambuk kuda itu mengeluarkan suara ledakan ketika menyambar kulit tubuh yang putih mulus itu.
“Aduhh ampunkan aku, Kongcu, aku akan bicara terus terang” Kim Lian menggeliat kesakitan.
“Aku... aku telah kehlangan kantung ini di taman. Ikat pinggangku melonggar ketika aku berjalan-jalan di taman bersama Mong Yu Lok. Tentu kantung itu terlepas dan jatuh ke tanah, akan tetapi aku tidak mengetahuinya sampai kemudian aku kehilangan barang itu dan tidak dapat kutemukan. Siapa yang menyangka bahwa bajingan cilik itu telah mengambilnya? Aku berani bersumpah bahwa aku tidak pernah memberikan benda itu kepadanya.”
Shi Men tertegun. Kata-kata selirnya itu cocok dengan pengakuan Kin Tung yang katanya menemukan barang itu ditaman. Shi Men memandang Kim Lian yang masih berlutut dengan telanjang bulat. Tubuhnya demikian indah menggairahkan, cantik menarik walaupun dalam kesakitan, menggairahkan walaupun sedang menangis dan melihat ini, mencairlah hati Shi Men yang sudah membeku dan mengeras oleh cemburu dan marah tadi. Dia berteriak memanggil pelayan Cun Bwe yang cepat datang ke situ. Shi Men menarik tangan Cun Bwe dan sambil duduk di atas bangku, dia memangku pelayan yang telah menjadi kekasihnya itu.
“Sekarang tergantung kepadamu apakah yang harus kulakukan dengan majikanmu ini. Apakah cerita tentang hubungan gelapnya dengan tukang kebun cilik itu benar? Katakanlah terus terang.” Cun Bwe bukanlah seorang yang bodoh dan ia melihat keuntungan-keuntungannya kalau berpihak kepada Kim Lian.
“Semua itu bohong belaka, Kongcu. Setiap waktu saya berada bersama nyonya. Kami berdua tak pernah berpisah seperti pipi dan Bibir. Semua cerita itu adalah karangan belaka dan fitnah keji. Sebaiknya Kongcu tidak percaya desas-desus bohong seperti itu.” Ucapan pelayan ini meyakinkan hati Shi Men. Dia melempar cambuk kudanya dan menyuruh Kim Lian berpakaian kembali. Lalu dia memanggil Siauw Giok, pelayan ke dua dan memerintahkan pelayan ini untuk menghidangkan makanan dan arak. Setelah hidangan dikeluarkan lengkap, sambil berlutut Kim Lian menyuguhkan cawan pertama kepada Shi Men yang menerimanya.
“Aku ampunkan kau,” katanya. “Akan tetapi di masa depan, selagi aku tidak berada di rumah, pergunakanlah waktumu untuk membersihkan hatimu. Tutuplah gerbang dan pintu pada waktunya. Jangan memikirkan hal-hal yang tidak patut. Kalau sampai ada hal-hal buruk lagi terdengar olehku, aku tidak akan mengampunimu lagi.”
“Perintah Kongcu akan kutaati selalu,” kata Kim Lian sambil bersoja empat kali. Maka peristiwa itupun berakhir dengan baik bagi Kim Lian yang hampir saja tertimpa malapetaka akibat ulahnya sendiri. Akan tetapi bagaimanapun juga, peristiwa itu melukai hati Kim Lian dan ia terus mengurung diri di dalam pondoknya sendiri., Pada hari ulang tahun Shi Men, dua hari kemudian, ketika banyak tamu berkunjung ke rumah itu, Kim Lian tidak muncul. Ketika Bi Hwa, kekasih baru Shi Men, bersama Li Kiao isteri ke dua Shi Men yang menjadi Bibi Bi Hwa, datang mengunjungi Kim Lian, wanita ini memerintahkan Cun Bwe untuk menutup semua pintu pondoknya.
Dua orang pengunjung ini terpaksa pergi tanpa dapat berjumpa dengan Kim Lian dan mereka merasa malu sekali. Ketika pada malam hari itu Shi Men datang mengunjungi Kim Lian, dia melihat isterinya ke lima ini dalam keadaan menyedihkan, Rambutnya yang lebat itu tidak tersisir, wajahnya yang cantik jelita nampak pucat dan murung. Kim Lian melakukan tugasnya seperti biasa dengan baik. Dia membantu Shi Men menanggalkan ikat pinggangnya, berganti pakaian dan mencuci kaki suaminya dengan air hangat. la melayani suaminya dengan penuh kemesraan dan kepasrahan diri dan baru setelah melihat Shi Men rebah kepuasan dan kelelahan di sampingnya, ia menuangkan perasaan hatinya yang amat menekan batin itu.
“Koko (Kanda), siapakah di antara isteri-isterimu yang demikian sungguh dan jujur mencintamu seperti cintaku kepadamu? Cinta wanita-wanita lain itu semua hanyalah seperti kabut pagi yang akan lenyap begitu matahari terbit. Mereka siap duduk di kursi pengantin yang baru begitu engkau meninggal. Akulah satu-satunya yang mengerti dan mengenalmu sedalam-dalamnya, Koko. Kalau saja engkau mau berusaha untuk mengerti aku! Apakah engkau tidak melihat bahwa semua desas-desus itu sengaja disebarkan atas dasar kebencian dan iri hati melihat betapa kita saling mencinta? Aku tidak akan merasa heran kalau kini mereka merencanakan siasat lain untuk menusukku dari belakang. Dan sekarang engkau menghinaku dan membikin malu orang yang sungguh-sungguh mencintamu lahir batin.” Kim Lian mengusap air matanya dan dengan girang ia melihat keharuan membayang di wajah suaminya.
“Apakah engkau tidak menyadari, Koko, bahwa dengan menyiksaku berarti engkau menyiksa isterimu yang paling baik dan paling mencintamu? Ketika baru-baru ini, di rumah pelesir, engkau menendang Siauw Thai, sedikitpun aku tidak mengeluarkan kata-kata mencela. Goat Toanio dan isterimu ke tiga menjadi saksi. Satu-satunya kegelisahanku adalah kalau-kalau engkau akan merusak diri sendiri dengan menggauli perempuan-perempuan berbedak tebal itu. Ingatlah baik-baik, Koko. Perempuan macam itu hanya mencinta uangmu, bukan dirimu. Jangan terpengaruh perempuan seperti itu. Percayalah kepadaku, satu-satunya isterimu yang setia dan mencinta.”
Demikianlah, dengan kata-kata halus, Kim Lian merayu dengan ucapan manis dan belaian-belaian lembut, dengan kehangatan tubuhnya. Akan tetapi agaknya bujuk rayu dan peringatan Kim Lian itu tak berbekas lagi ketika beberapa hari kemudian Shi Men sudah pergi ke rumah pelesir yang dimiliki Bibi Li. Ketika itu, Bi Hwa sedang melayani tamu-tamu di meja makan. Melihat kedatangan Shi Men, cepat Bi Hwa lari meninggalkan ruangan dan masuk ke kamarnya sendiri, menghapus bedak dan gincu dari mukanya, melepaskan perhiasan yang menempel di tubuhnya, berganti pakaian sederhana lalu ia melempar diri di atas pembaringan, membenamkan mukanya di bantal. Tak lama kemudian Bibi Li muncul menyambut Shi Men.
“Aih, sudah lama kami tidak mendapat kehormatan kunjunganmu, adik iparku yang terhormat.” “Ya, kesibukan pesta hari ulang tahunku menghalangiku pergi meninggalkan rumah.”
“Saya harap saja kunjungan kami tempo hari tidak mendatangkan perasaan tidak enak kepadamu.” “Sama sekali tidak. Oya, di mana ia?” Tentu saja yang dimaksudkan adalah Bi Hwa.
“Aihh, ia telah berubah banyak sejak kembali dari rumahmu. Agaknya la menyusahkan sesuatu. Setiap hari ia tidur saja dan sama sekali tidak mau bangun. Tak pernah ia meninggalkan kamarnya.”
“Aneh sekali. Kalau begitu biar aku naik dan menemuinya.” Ketika memasuki kamar kekasihnya, Shi Men melihat gadis itu rebah di atas pembaringan, rambutnya awut-awutan, mukanya ditekan pada bantal dan ia tidak bergerak ketika Shi Men masuk.
“Engkau mengapakah, manis? Kenapa engkau berduka sejak pulang mengunjungi aku di rumahku beberapa hari yang lalu? Apakah ada seseorang atau sesuatu yang mengganggumu?” Sampai lama Bi Hwa tidak menjawab. Setelah Shi Men beberapa kali mengulang pertanyaamya, barulah ia menjawab seperti air bah terlepas dari bendungannya.
“Mau apakah engkau mencari aku sedangkan di rumah engkau mempunyai isterimu yang ke lima itu? Biarpun aku dibesarkan di rumah pelesiran, aku memiliki pula kelebihanku dan aku hanya akan berjingkat sedikit saja untuk dapat menandingi seorang isteri sepertinya itu! Baru-baru Ini aku berkunjung ke rumahmu, bukan karena undangan melainkan karena ada hubungan keluarga dengan isterimu yang ke dua, untuk menghaturkan selamat bersama ibuku. Isterimu yang pertama menerimaku dengan manis budi, memberiku pakaian dan hadiah, minta kepadaku untuk datang berkunjung lagi. Kami dari rumah pelesir juga memiliki sopan santun. Kami sengaja berkunjung ke pondok isterimu yang ke lima untuk memberi hormat. Akan tetapi apa yang dilakukannya? la tidak mau keluar dan mengatakan kepada kami melalui pelayannya bahwa ia tidak ingin menemui siapapun. Begitukah cara bersopan santun? Begitukah orang berpendidikan?”
“Jangan masukkan dalam hatimu,” Shi Men menghibur. “Hari itu ia sedang tidak senang hatinya. Akan tetapi kalau ia berani lagi bersikap seperti itu kepadamu, ia akan kuhukum cambuk!” Bi Hwa cepat menutup mulut Shi Men dengan jari tangannya.
“Orang liar, masa engkau harus mencambukinya ?” “Ha-ha, kalau saja engkau tahu!” Shi Men tertawa.
“Bagaimana aku akan dapat mengendalikan isteri-isteriku kalau aku bersikap lunak? Dua puluh atau tiga puluh kali cambukan! Dan kalau itu tidak menolong, akan kupotong rambutnya!
“Hemm, engkau hanya membual saja. Kekerasanmu akan mencair menjadi kelembutan dan kemesraan kalau engkau sudah berdekatan dengannya. Aku tidak dapat menyaksikannya sendiri bualmu. Kalau aku dapat melihat segumpal rambut yang dipotong dari kepalanya baru aku mau percaya kekejamanmu yang kau bualkan itu.
“Hemm, tunggu saja, aku akan membuktikannya.” Pada keesokan harinya, ketika pagi-pagi sekali Shi Men hendak meninggalkan rumah pelesir itu, Bi Hwa mengingatkannya,
“Jangan datang ke sini lagi kalau engkau tak dapat membuktikan janjimu !” Ketika tiba di rumahnya, Shi Men masih terpengaruh oleh kata-kata Bi Hwa dan dia pun langsung saja pergi ke pondok Kim Lian. Kim Lian menyambutnya dengan senyum manis dan membantunya melepas sepatunya. Akan tetapi tiba-tiba Shi Men membentak,
“Berlutut dan lepaskan pakaianmu!” Kim Lian terkejut sampai keringat dingin membasahi tubuhnya. la berlutut akan tetapi tidak menanggalkan pakaiannya.