Walet Besi Chapter 04

NIC

Wie Kie-hong mengambil surat.

Di amplop surat tidak tertulis sepatah katapun, setelah surat dikeluarkan dari amplop, di atas kertas surat hanya tertulis: "Semua fitnah ada permulaannya, semua hutang pasti ada pemiliknya.

Tidak ingin menyulitkan orang yang tidak terlibat.

Juga tidak mengijinkan orang lain ikut campur tangan.

Aku mengharapkan anda tahu diri! Peringatan dari: Thiat-yan (Walet Besi)." Setelah selesai membaca surat ini, orang yang mengantarkan surat tidak segera pergi, tampak dia sedang menunggu Wie Kie-hong untuk mengatakan sesuatu.

"Siapa yang sudah menyuruhmu untuk mengantarkan surat ini?" "Thiat-yan" "Apakah Bu Tiat-cui dibunuh Thiat-yan?" "Tidak tahu" "Baiklah, antarkan aku menemui Thiat-yan" "Mohon maaf, aku tidak mendapat perintah untuk melakukan hal ini" Wajah Wie Kie-hong tampak sedikit berubah, sepertinya dia berpikir hendak melakukan sesuatu, namun dia tidak segera bertindak.

Dia tidak gegabah.

Dia bisa melihat, tidak masalah muslihat apapun yang akan digunakannya, orang ini tidak mungkin akan mengkhianati tuannya.

"Kau sedang menunggu apa?" suara Wie Kie-hong tetap terdengar tenang.

"Menunggu jawabanmu" Surat yang ada ditangan Wie Kie-hong mulai disobek-sobek tapi tidak dibuang.

Setelah habis disobek dia berkata dengan dingin: "Ini adalah jawaban dariku.

Kalau suatu hari nanti Thiatyan jatuh ke dalam tanganku, aku pun pasti akan menyobeknyobeknya seperti surat ini..." Setelah mengatakan ini, Wie Kie-hong terus berjalan keluar.

Setelah membuka pintu di taman, dia melihat diluar masih ada empat orang lagi.

Ada yang berdiri, ada yang berlutut, ada yang berjalan mondar-mandir.

Dilihat sekilas mereka tampak seperti pejalan kaki yang kebetulan sedang lewat, namun sebenarnya mereka pasti orang yang diutus oleh Thiat-yan.

Kalau saja tadi dia turun tangan menyerang, tampaknya dia tidak akan mudah memenangkan perkelahian.

Di mulut gang San-poa, Wie Kie-hong kembali menyewa sebuah kereta kuda.

Dia meminta sais kuda agar cepat mengantar kembali pada keempat blok rumah bertingkat di sebelah timur.

Dia menyadari bahwa Thiat-yan tidak hanya memiliki tenaga yang sangat besar, namun gerakannya juga bisa sangat cepat.

Jelas terlihat kalau dia sudah menyusun tipu muslihat dengan baik dan sudah sejak lama mempersiapkan semuanya.

Sepintas saja sudah terlihat kemam-puannya yang luar biasa, dan lagi dari surat yang diberikan padanya bisa terlihat kalau pembunuhan yang tadi terjadi bukanlah yang terakhir tapi sebuah awal.

Dia berencana untuk berunding dengan ayah angkatnya sampai tuntas.

Dia juga ingin mengetahui, mengapa bisa terjadi hal seperti ini.

untuk menghadapi seorang musuh yang kuat, dia harus mengerti asal-usul kejadiannya.

Sekarang Thiat-yan sudah menjadi musuh nomor satu Wie Kie-hong.

Wie Kie-hong sudah kembali ke gang tempat tinggal ayah tirinya.

Dia melihat bahwa tempat kediaman Leng Souw-hiang kedatangan seorang tamu, karena di depan pintu masuk ada seekor kuda berwarna putih yang diikat disana.

kuda ini sangat dikenalnya dengan baik.

Pemilik kuda ini adalah Tu Liong.

Dia sebenarnya berasal dari mongolia.

Karena nama aslinya terlalu panjang untuk diingat, oleh karena itu dia diberikan nama mandarin sesuai tata bahasa Han yang pendek dan sederhana.

Tu Liong berperawakan tinggi besar, dia sangat senang bertarung, terutama dalam pukulan tangan kosong, dia benar-benar sangat mahir.

Tu Liong adalah pengawal Cu Siau-thian yang sangat termashyur di Pakhia, mengenai Cu Siau-thian, Wie Kie-hong tidak terlalu banyak mengetahui seluk beluknya.

Dia hanya tahu kalau Leng Souw-hiang sangat sombong pada orang lain.

Namun pada Cu Taiya yang satu ini dia benar-benar menaruh hormat, dia sangat kagum pada Tu Liong.

Sekarang ini setelah melihat kuda putih itu, dia cepat-cepat berlari masuk kedalam.

Walaupun Tu Liong turunan Mongolia, namun dia sudah berbaur dengan budaya Han sejak lama.

Yang tersisa dari kesan Mongolianya adalah tampang dan perawakannya, melihat Wie Kie-hong, dia cepat-cepat berdiri menyambutnya.

Dia merangkupkan tangan didepan dada, dan berkata dengan penuh perasaan: "Kie-hong, kau sudah pulang?" "Tu Toako, sudah berapa lama disini?" "Sudah lumayan lama.

Cu Taiya mendengar bahwa disini telah terjadi sebuah perkara, oleh karena itu dia menyuruhku untuk datang kemari dan mencari tahu.

Namun aku tidak dapat mencari tahu terlalu banyak, karena Leng Taiya tidak mau menemuiku.

Ini....

bagaimana aku bisa pulang kembali untuk melapor kalau aku tidakbisa menemuinya?" "Tu Toako, kau harus maklum pada hal ini.

ayah angkat sudah tua, dan lagi dia baru saja terluka parah, dia mengalami shock yang sangat berat.

Semangatnya pastilah masih sangat labil.

Dia harus banyak beristirahat!" "Apakah kau melihat siapa yang melakukan semua ini?" "Tidak" "Apakah tidak seorang pun yang melihat pelaku kejahatan ini masuk ke rumah?" "Untuk apa Tu Toako menanyakan semua ini?" "Baiklah, aku tidak bertanya lagi....Kie-hong, kau tadi pergi kemana?" "Mengerjakan tugas kecil yang diberikan ayah....

betul juga, Tu Toako, silahkan anda duduk sebentar, aku akan masuk dan melihat keadaannya." Leng Souw-hiang sudah menyuruh beberapa orang untuk berjaga di depan pintu masuk kamarnya.

Wie Kie-hong tentu saja bisa masuk tanpa dihalangi.

Setelah Leng Souw-hiang melihat dirinya, raut wajahnya langsung berubah.

"Apakah urusannya sudah beres?" "Ayah, Bu Tiat-cui sudah mati" "Hah?" "Ada orang yang mendahuluiku kesana....pada waktu aku pergi meninggalkannya, ada orang yang memberiku surat ini.

Coba lihat!" Setelah Leng Souw-hiang selesai membaca suratnya, kepalanya langsung mengucurkan keringat dingin, hatinya seperti sudah diselimuti rasa takut yang pekat.

"Ayah! sebenarnya apa yang terjadi?" "Isi surat ini harus kau ingat.

Sapu salju yang ada dihalaman, jangan perdulikan salju yang berada diatas genting....apakah Tu Liong masih ada diluar?" "Masih" "Apakah kau memberitahukan sesuatu padanya?" "Sepatah katapun tidak" "Suruhlah Tu Liong pulang, dan beritahu Cu Taiya, luka kecil ini tidak perlu diingat-ingat, setelah sembuh nanti boleh tengok kembali." "Baiklah" Wie Kie-hong segera melakukan perintah ayahnya, dia segera pergi keluar kamar dan memberitahukan Tu Liong apa yang sudah diperintahkan ayahnya.

Tu Liong segera mohon diri, namun dia meminta Wie Kie-hong untuk menemani dan mengantarnya keluar.

"Kie-hong" sambil berjalan Tu Liong mengajak bicara, "aku ingin memberitahumu tentang suatu hal.

Setelah pelakunya melukai empat orang, dia masih ingin membunuh satu orang lagi, barulah tercapai keinginannya, apakah kau tahu siapa orang yang kelima?" "Siapa?" "Majikanku Cu Taiya" "Benarkah...?" "Aku tidak mungkin berbohong didepanmu.

Aku sekarang datang kemari, tujuan utamanya adalah untuk berbicara padamu.

Kie-hong, berilah aku sedikit petunjuk." Wie Kie-hong hanya terdiam, dia tidak tahu harus bagaimana menjawab.

"Sekarang ini kau tidak terbuka dan terus terang seperti dahulu" "Hatiku terasa sangat berat...

Tu Toako! Kalau Cu Taiya sudah tahu bahwa dia akan menjadi sasaran penyerangan selanjutnya, dia pasti tahu siapa pelakunya." "Aku mengerti apa yang kau maksud.

Semua itu hanya baru berupa dugaan, harus diteliti lebih dalam lagi.

Kie-hong, hanya memberi sedikit bocoran saja sudah cukup" "Ayah tidak memberitahu apapun padaku.

Namun berdasarkan dugaanku, pelakunya kemungkinan besar adalah seorang wanita, seorang nona yang masih sangat muda." Walaupun Tu Liong hanya meminta sedikit bocoran informasi, namun apa yang dikatakan oleh Wie Kie-hong tampak sangat memuaskannya.

Seperti-nya sepotong kalimat ini, apa yang dia ingin dengar, dia segera berkata: "Ini sudah cukup....

Ini sudah cukup, aku sekarang pergi.

Titip salamku untuk Leng Taiya nanti." Tu Liong menaiki kuda putihnya dan mulai memacunya pulang, dia memacu kudanya sangat cepat, membuat Wie Kiehong merasa sedikit aneh.

Dia berpikir hendak menyusul untuk menanyakan keadaannya sampai jelas, namun dia tidak berbuat demikian.

Tu Liong adalah orang yang selalu bergerak cepat.

Biasanya ketika sedang bertemu dengan Wie Kie-hong pun dia selalu menjaga jarak, sampai-sampai kalau Wie Kiehong ingin tahu apa-apa darinya, tidak selalu yang dia tanyakan bisa langsung dijawab olehnya.

Pengurus tuan besar yang tinggal di dalam kediaman Leng yang bernama Su-cie datang menghampiri, dialah pelayan yang mengantarkan perem-puan muda itu menemui Leng Taiya.

Perlahan-lahan dia berkata: "Wie Siauya, ada sedikit hal yang ingin aku bicarakan denganmu." "Oh?" Wie Kie-hong memperhatikan bahwa sikap Su-cie sangat serius, dia sedikit merasa khawatir.

"Wie Siauya, apakah Leng Taiya tidak memberi tahumu siapa yang sudah melakukan kejahatan padanya?" "Tidak" "Aneh" Kenapa Taiya tidak mau memberi-tahukan padamu?" "Sebenarnya walaupun tidak diberitahu, tapi kami semua juga sudah bisa menebaknya, dia pasti tamu wanita muda yang datang pagi itu." "Wie Siauya, bukan aku ingin melalaikan tanggung jawabku, namun berdasarkan pengamatan-ku, belum tentu perempuan itu pelakunya.

Pada waktu dia keluar, aku masih melihat dia mohon pamit dengan tuan besar" "Apa kau melihat dengan mata kepalamu sendiri?" "Tidak, aku menunggu mereka berdua diluar kamar" "Apakah waktu itu kau melihat Gihu (ayah angkat) ku?" "Tidak.

Aku hanya melihat tamu perempuan itu keluar dari ruangan.

Sambil memberi hormat, dia berkata pada tuan besar agar tetap tinggal ditempat-nya." "Pengurus Su, ini hanya tipu muslihat menghindari kesulitan yang lebih besar, dia tidak ingin membuat keadaan menjadi kacau." "Wie Siauya, kata-katamu masuk akal juga, tapi...

tapi...

apakah tidak sakit kalau kehilangan sebelah tangan" Kenapa aku tidak mendengar tuan besar menjerit kesakitan?" Wie Kie-hong mengkerutkan kedua alisnya sampai nyaris bersatu.

Dia tidak bisa memikirkan alasan yang masuk akal untuk menjawab pertanyaan ini.

Kediaman Leng Taiya dipenuhi oleh orang-orang yang mahir dalam ilmu silat.

Asalkan Leng Souw-hiang memanggil, tidak masalah betapapun lihainya perempuan itu, dia tidak mungkin bisa menang.

Namun Leng Souw-hiang sama sekali tidak mengeluarkan suara, dia benar-benar pasrah, ini...

Posting Komentar