Perjalanan yang amat jauh dan terhalang hawa udara yang buruk membuat pekerjaan itu memakan waktu seluruhnya tiga bulan. Selama dalam perjalanan Itu, baik selagi tidur maupun terjaga, pendekar Ini merasakan sesuatu yang tidak enak di dalam hatinya, terutama sekali kalau dia mengingat akan kakaknya Bu Toa. Karena itulah, dia mengirim utusan agar melakukan perjalanan terlebih dulu pulang dan segera menyampaikan suratnya kepada kakaknya. Dan kini pesuruh itu telah tiba di depan rumah Kim Lian. Dia melihat betapa pintu rumah itu tertutup dan ketika dia hendak mengetuk pintu. dia melihat Nenek Wang yang merupakan tetangga terdekat berdiri di luar rumah, dan Nenek Wang bertanya apa yang dikehendaki penunggang kuda Itu. “Saya membawa sepucuk surat dari Kapten Keamanan, Komandan Bu Siong, untuk diserahkan kepada kakaknya.”
“Dia tidak ada di rumah, seluruh isi rumah berada di kuburan. Berikan saja surat itu kepada saya, dan saya dapat menyerahkannya kalau dia pulang, percayalah saja kepada saya.” Utusan itu menyerahkan surat, memberi hormat sambil berterima kasih, lalu pergi. Nenek Wang cepat membawa surat itu ke rumah sebelah melalui pintu belakang dan mengetuk daun pintu kamar di mana sepasang kekasih itu masih tidur berpelukan.
“Bangun! Bangunlah kalian berdua!” teriak Nenek Wang dan ketika dua orang itu terbangun dan membuka pintu, Nenek itu melanjutkan... “Seorang utusan datang membawa surat dari Bu Siong. Dia sendiri akan segera datang di sini. Surat dari Bu Siong itu ditujukan untuk Bu Toa. Aku telah minta surat itu dan meryuruhnya pergi. Sekarang kita tidak boleh membuang-buang waktu lagi, harus cepat bertindak kalau ingin selamat.”
Andaikan Shi Men diceritakan tentang hal lain, mungkin dia takkan mau memperdulikannya karena dia masih mabuk oleh kemesraan yang dinikmatinya dari pelayanan Kim Lian. Akan tetapi begitu mendengar disebutnya nama Bu Siong, dia terkejut seperti disambar petir dan seketika dia tergugah benar-benar, tidak ada kantuk sedikitpun tinggal di kepalanya. Tergesa-gesa sepasang kekasih ini mengenakan pakaian mereka dan segera membaca surat dari Bu Siong itu bersama-sama. Bu Siong menulis bahwa dia akan tiba beberapa hari lagi dan tentu saja sepasang kekasih itu menjadi ketakutan. Dengan tubuh gemetar mereka lalu minta nasihat Nenek Wang yang banyak akalnya itu.
“Ah, masalah ini sederhaha sekali,” kata Nenek Wang menghibur mereka.
“Seperti pernah saya katakan, pernikahan pertama untuk menyenangkan orang tua, pernikahan ke dua untuk memyenangkan diri sendiri. Selain dari itu, hukum melarang seorang laki-laki tinggal serumah dengan ipar perempuannya. Perkabungan seratus hari dari Bu Toa sudah hampir lewat. Sekarang yang perlu dilakukan nona Kim Lian adalah untuk mengundang beberapa orang Hwesio untuk melaksanakan upacara doa seratus hari meninggalnya suaminya, kemudian, sebelum Bu Siong pulang Kongcu Shi Men harus memboyongnya ke rumahnya, di dalam joli sebagai pengantinnya. dan, Bu Siong akan berhadapan dengan kenyataan yang tak dapat dibantah lagi karena bukankah bekas kakak iparnya telah menjadi isteri orang lain secara sah? Nah, bagaimana ji-wi (anda berdua) pikir? Baik tidak usulku itu?”
“Hebat Dan semua itu akan kami lakukan, Bibi Wang!” kata Shi Men dengan girang karena dia memperoleh jalan untuk menyelamatkan diri dari Bu Siong. Rencana siasat itu mereka rayakan sambil makan pagi bersama, dan lenyaplah semua kekhawatiran dari hati sepasang kekasih itu. Enam orang Hwesio (Pendeta Buddhis) diundang untuk melaksanakan upacara sembahyang bagi arwah Bu Toa yang telah meninggal dunia seratus hari yang lalu. Hwesio kepala sejak pagi sekali telah berada di rurnah Kim Lian dan dia sibuk bersama Nenek Wang membuat persiapan masakan yang akan dipergunakan untuk sembahyangan itu. Sementara itu, tanpa memperdulikan segalanya, selagi para Hwesio sibuk, Shi Men tidur di dalam kamar bersama Kim Lian.
Setelah semua persiapan selesai, segera dimulailah sembahyangan itu dengan segala macam upacaranya. Terdengar para Hwesio itu membaca doa, dibarengi suara kelenengan dan tambur, dan nyanyian pujian. Sementara itu, Kim Lian yang sedikitpun tidak menaruh hormat kepada arwah suaminya, sedang bermesraan dengan Shi Men di dalam kamarnya. Biar pagi telah berganti siang dan matahari sudah naik tinggi, dua orang kekasih itu merasa malas untuk berpisah dan meninggalkan tempat tidur. Bagaimanapun juga, upacara sembahyang itu mengharuskan isteri si mati untuk membakar dupa, menanda-tangani formula sembahyang. bersembahyang dan sebagainya lagi. Dengan terpaksa sekali Kim Lian bangun dari tempat tidurnya, meninggalkan kekasihnya, mencuci muka, berganti pakaian dan membereskan rambutnya.
lapun keluar dan dengan gerakan anggun sekali ia membungkuk dengan hormatnya di depan arca Sang Buddha. Ketika enam orang Pendeta Hwesio itu untuk pertama kalinya melihat nyonya rumah, janda yang demikian muda dan cantik jelitanya, bergolaklah hati yang terbungkus pakaian Pendeta itu, dan dari kepala mereka yang dicukur gundul itu membumbung uap yang penuh dengan gairah berahi. Seketika mereka merasa betapa panasnya hawa udara dan suara nyanyian dan doa mereka mulai menjadi kacau balau.! Demikianlah keheningan yang didapatkan dengan cara penekanan. Memang, tak dapat disangkal bahwa dengan cara penekanan, memaksa diri, latihan dan sebagainya, batin dapat dibuat menjadi hening dan pikiran menjadi hening. Namun, hasil yang didapatkan karena penekanan ini hanya merupakan kelumpuhan sementara belaka.
Sekali datang rangsangan yang kuat, maka keheningan menjadi kebisingan dan kebeningan menjadi kekeruhan. Setelah Kim Lian melaksanakan semua tugas sebagai isteri si mati, iapun cepat kembali ke kamarnya di mana sudah menanti Shi Men yang sudah kehilangan kesabarannya karena kemesraan yang sedang berlangsung tadi terganggu oleh upacara sembahyang itu. Sebelam menutupkan kembali daun pintu kamar, Shi Men memesan kepada Nenek Wang agar para Pendeta itu tidak lagi mengganggu Kim Lian. Ketika tengah hari tiba, para Pendeta itu berhenti sebentar, Upacara itu di hentikan karena mereka harus kembali ke kuil dulu untuk makan siang. Ketika makan siang selesai, seorang di antara mereka lebih dahulu kembali ke rumah Kim Lian. Dia masih selalu membayangkan janda yang tadi menjadi bahan percakapan kawan-kawannya ketika mereka makan siang.
Tanpa disengaja, ketika Hwesio yang masih muda itu hendak mencuci. tangan di belakang, dan lewat di depan kamar Kim Lian, dari jendela kamar itu dia mendengar suara-suara mencurigakan, bisikan dan desahan, jelas suara orang yang sedang bercintaan di dalam kamar itu! Tentu saja hal ini amat mengejutkan dan mengherankan sang Hwesio. Janda yang cantik dan muda itu baru saja ditinggal mati suaminya, bahkan hari ini diadakan upacara sembahyang ke seratus Harinya, akan tetapi tak dapat disangkal lagi, janda cantik itu kini sedang bermain gila dengan seorang pria di dalam kamarnya itu! Hwesio itu sengaja memperlambat pekerjaannya mencuci tangan, dengan jantung berdebar penuh gairah dia mendengarkan dengan penuh perhatian dan akhirnya dia mendengar suara si janda cantik, suaranya terputus-putus dan terengah-engah.
“Aih... sudahlah koko (kanda)... mereka sudah akan kembali... kalau ada yang mendengar kita... ah sudahlah!” Lalu dia mendengar suara laki-laki,
“Jangan takut! Sekali lagi saja, sayang...” Ah, kalau saja Shi Men dan Kim Lian tahu bahwa kata-kata mereka itu ada orang mendengarkan.! Setelah hwwesio yang tadi kebetulan mendengar kata-kata yang penuh arti itu, membisikkan semua yang didengarnya kepada kawan-kawannya. Hal ini menambah, berkobarnya gairah birahi dari mereka berenam dan semakin tidak karuanlah jalannya upacara. Nyanyian, pujian menjadi sumbang, doa-doanya tersendat-sendat dan banyak yang, keliru, bahkan pemukul tambur, canang dan kelenengan kehilangan iramanya.
Menjelang senja, selesailah upacara sembahyang itu. Hadiah-hadiah rumah gedung, uang dan harta benda dunia lainnya dalam ujud kertas kini dibawa keluar dan dibakar. Menurut kepercayaan kuno, mereka yang masih hidup dapat mengirimkan benda-benda duniawi yang serba indah kepada si mati dalam bentuk duplikat dari kertas, membakar semua itu dan di “sana” roh si mati akan menerimanya dalam bentuk yang nyata! Lebih menggelikan lagi, ada yang mengirim dari kertas untuk si mati, berupa semangka ke “sana” karena semangka ini amat diperlukan oleh roh yang mati. Untuk apa? Apakah roh si mati gemar makan semangka seperti ketika hidupnya? Tidak, bukan untuk itu melainkan untuk maksud yang jauh lebih penting lagi, yaitu untuk... menyogok para dewa maut agar roh itu di “sananya” dapat memperoleh tempat yang baik dan perlakuan yang pantas.
Agaknya mirip dengan orang-orang memberi imbalan jasa atau istilah kasarnya sogokan kepada para penjaga penjara agar keluarganya yang menjadi orang hukuman di situ mendapat perlakuan yang baik dari para sipir penjara yang dapat mereka sogok! Karena sudah lepas masa perkabungan, kini Kim Lian membereskan rambutnya, disisir rapi, mukanya dibedaki dan Bibirnya ditambah merah dengan gincu, mengenakan pakaian berkembang yang baru, dan mengintai dari balik jendela bersama Shi Men. la menyandarkan kepalanya di pundak kekasihnya itu, tidak tahu bahwa bayangan mereka nampak. dari balik tirai jendela oleh para pendeta yang sedang menyelesaikan bagian-bagian terakhir dari upacara itu. Penglihatan ini membuat mereka membayangkan apa yang tadi terjadi di dalam kamar seperti yang dibisikkan oleh seorang kawan mereka dan tingkah mereka menjadi semakin kacau balau.
Mereka masih terus memukul tambur dan kelenengan, demikian penuh semangat dan ketika topi penutup kepala dari Hwesio kepala terjatuh ke atas tanah, tak. seorangpun di antara mereka memperdulikannya. Sungguh menggelikan sekali tingkah laku mereka itu. Hal ini dapat dimengerti. Selama bertahun-tahun para Hwesio itu mengekang segala macam nafsu mereka, hidup, terasing di dalam kuil, tak pernah berdekatan dengan wanita. Agaknya secara lahiriah saja demikian, namun batin mereka tak pernah lowong dari bayangan wanita sehingga sekarang, setelah mereka melihat janda muda cantik itu bermain cinta dengan seorang kekasih pada saat sembahyang roh suaminya dilakukan, mereka semua itu tak mampu lagi membendung peluapan nafsu berahi mereka!