“Yah, begitulah selalu,” Nenek itu menarik napas Ranjang. “Orang terburuk menunggang kuda terbaik dan tidur dengan wanita paling cantik. Kakek di bulan bertanggung jawab atas perjodohan yang tidak serasi ini.” Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketika janda Wang membuka kedainya, la melihat Shi Men sudah berjalan hilir mudik di atas jalan raya di depan kedai.
“Hemm, dia sangat bernafsu. Ah, sekali ini si hartawan royal terjatuh ke tanganku. Dia harus membayar sebanyaknya kalau mau bersenang-senang!” Demikian Nenek itu berpikir sambil menyeringai dan mengepal tinju dalam batin. Nenek ini tidak perduli akan tata susila. Ia bukan hanya membuka kedai teh, akan tetapi juga terkenal sebagai seorang perantara dan comblang, juga seorang dukun pijat dan dukun beranak, bahkan kadang-kadang ia suka menerima dan membeli barang-barang curian.
“Hai, selamat pagi, Kongcu. Agaknya ada keperluan penting sekali maka Kongcu pagi-pagi sudah berada di sini.” la menyapa dan menyalam dengan suara gembira.
“Dengar baik-baik, Bibi Wang. Kalau engkau dapat menduga apa yang, mendorongku datang ke sini, engkau akan kuberi hadiah!”
“Aha, tidak sukar, tuan muda! Kongcu menjadi gelisah dan resah karena Kongcu tidak mampu melupakan seseorang yang tinggal di sebelah rumah ini. Bukankah demikian?”
“Kau memang pandai sekali, Bibi Wang. Semenjak melihatnya kemarin, aku tak nyenyak tidur, tak enak makan, hatiku gelisah selalu, penuh kerinduan. Semangatku rasanya lumpuh. Bibi Wang yang baik, dapatkah engkau memberi nasihat bagaimana baiknya?”
“Aih, Kongcu. Semenjak muda aku menjadi janda dan kalau aku tidak membanting tulang bekerja keras, siapa yarg memberi makan padaku dan anakku? Dan berapa pula hasil menjual teh seperti ini? Segala macam pekerjaan kulakukan untuk dapat mencari sesuap nasi, Kongcu”
“Bantulah aku agar dapat mengadakan pertemuan dengan si cantik itu. Kalau engkau berhasil, jangan khawatir, aku akan memberi hadiah sepuluh tail perak. Cukup untuk membeli sebuah peti mati yang bagus untukmu!” Pada jaman itu, orang-orang yang sudah lanjut usianya akan merasa bangga dan terjamin kalau sudah mempunyai sebuah peti mati sehingga kalau dia mati sewaktu-waktu, tidak akan terlantar lagi! Kebiasaan yang lucu dan mengerikan, memang.
“Ha, Kongcu mudah saja kupermainkan! Saya hanya bergurau, Kongcu, dan tentu saja saya mau membantu Kongcu, tanpa mengharapkan uang sepuluh tail perak. Biarpun sudah tua, saya masih sanggup mencari uang yang lebih dari jumłah itu.” Dengan kata demikian, Nenek itu telah menaikkan harganya! “Bibi Wang yang baik, sepuluh tail itu hanya permulaan saja dan aku mau mengeluarkan uang lebih banyak lagi kalau kelak hasilnya cukup menyenangkan.”
“Kongcu, dalam urusan cinta tidaklah semudah itu. Apalagi cinta curian, Untuk itu diperlukan enam syarat : wajah tampan, banyak uang, tubuh muda, banyak waktu, sikap lemah lembut, dan akhirnya yang terpenting, tubuh kuat dan berpengalaman untuk memuaskan hati seorang wanita muda yang cantik jelita.”
“Terus terang saja, Bibi Wang, enam syarat itu kumiliki semua. Lihat wajahku, memang tidak setampan Pan An (tokoh dongeng) akan tetapi... hemmm... tidak buruk! Kedua, uangku cukup banyak sampai berlimpah. Aku masih muda dan hatiku lebih muda lagi. Akupun mempunyai banyak waktu luang karena usahaku sudah ada yang mengurus. Dan tentang lemah lembut dan kesabaran, ah, biar seorang wanita memukul aku empat ratus kali, belum tentu aku akan mengepal tinju. Dan syarat ke enam itu, aku telah berpengalaman sejak berusia muda sekali dan aku mengenal semua rahasia kaum wanita sehingga engkau tak usah khawatir, Bibi Wang.”
“Kalau begitu semua beres. Akan tetapi masih ada sesuatu yang sukar, dan kadang-kadang sesuatu ini merusak semua rencana.”
“Apakah itu?”
“Jangan marah kalau saya bicara secara terus terang, Kongcu, akan tetapi hubungan cinta ini dapat rusak kalau orang tidak memperhatikannya, yaitu masalah biaya. Saya mendengar bahwa Kongcu adalah seorang yang selalu memperhitungkan pengeluaran uangnya, sebagai seorang pedagang yang baik. Akan tetapi, dalam hal ini, tak mungkin berbuat seperti orang dagang dengan berusaha menekan biaya sekecil mungkin.”
“Hem, jangan khawatir, Bibi. Aku akan memenuhi semua permintaanmu.”
“Bagus kalau begitu. Saya mempunyai rencana yang baik sekali untuk mempertemukan Kongcu dengan si cantik manis itu.”
“Begitukah? Lekas katakan bagaimana rencana itu!” kata Shi Men. girang.
“Pertama-tama Kongcu harus pulang dengan tenang, dan tiga atau enam bulan kemudian kembali ke sini untuk membicarakan lagi urusan ini,” Nenek itu menggoda.
“Gila! Ini penyiksaan namanya! Ingat hadiah yang akan kuberikan padamu, Bibi Wang.”
“Ha-ha, sabarlah, Kongcu. Memang benar bahwa nona Pang Kim Lian adalah keturunan orang biasa saja. Ayahnya, Kakek Pang, hanya seorang penjahit kecil di luar Gerbang Selatan, akan tetapi ia cerdik dan terpelajar. la dapat bernyanyi dan bermain siter, bermain dadu dan catur. la pandai pula membaca sajak, dan pandai dalam segala pekerjaan rumah tangga. la mempelajari nyanyian dan permainan musik di rumah keluarga Thio Wangwe yang kaya raya. Dialah yang menghadiahkan si cantik itu kepada Si Cebol Bu Toa. la hanya sendirian di rumah, bersama anak tirinya dan saya sering menemaninya. la sering bertanya nasihat kepada saya dan hubungan kami akrab sekali.” “Baik sekali kalau begitu, Bibi Wang,” kata Shi Men ketika wanita tua itu menghentikan kata-katanya, untuk mendesak agar Nenek itu melanjutkan ceritanya tentang wanita yang membuatnya tergila-gila itu.
“Sekarang rencanaku begini, Kongcu. Pertama-tama, belilah dua gulung kain sutera, biru dan putih, juga segulung sutera putih yang halus, juga sepuluh, tali kain kapas yang baik. Kirimkan semua itu kepada saya. Saya akan mengunjunginya kemudian, berpura-pura menanyakan tanggal dan hari baik untuk menjahitkan pakaian kepada tukang jahit. Jika ia tidak menawarkan pekerjaan menjahit itu untuk dikerjakan sendiri, berarti rencana kita gagal. Namun jika ia mengatakan bahwa ia sendiri yang akan menjahitkan kebutuhan saya, berarti rencana kita berhasil sepersepuluh bagian. Jika kemudian, atas bujukan saya, ia mau datang ke sini untuk melakukan pekerjaan itu, berarti dua persepuluh bagian rencana kita berhasil. Saya lalu akan mempersiapkan arak dan makanan dan minta kepadanya untuk makan di sini. Kalau ia menolak, berarti rencana kita gagal. Kalau ia mau, berarti tiga sepersepuluh bagian rencana kita berhasil.”
Shi Men mendengarkan sambil mengangguk-angguk dan menggosok-gosok ke dua telapak tangannya, membayangkan betapa rencana itu akan berhasil setapak demi setapak dan diam-diam dia mengagumi kecerdikan Nenek ini.
“Untuk sementara Kongcu jangan datang ke sini sampai kunjungannya yang ke tiga. Kongcu datanglah lewat tengah hari, mengenakan pakaian terindah, dan ketika datang Kongcu batuk-batuklah di luar. Kemudian saya keluar dan katakan bahwa sudah lama Kongcu tidak datang berkunjung dan ingin menikmati minum semangkuk teh. Saya lalu akan minta Kongcu masuk. Jika nona Kim Lian bangkit dan pergi ketika Kongcu masuk dan saya tidak dapat menahannya, berarti rencana kita gagal. Kalau ia mau tinggal, rencana kita berhasil empat persepuluh bagian, Kemudian saya akan memperkenalkan Kongcu sebagai pemberi sutera-sutera itu dan menceritakan kepadanya tentang semua kebaikan dan keroyalan Kongcu. Di pihak, Kongcu, Kongcu harus memuji kepandaian dan keterampilannya. Kalau ia menjadi canggung dan tidak berani menjawab, gagallah rencana kita. Kalau ia menjawab, setengah bagian rencana kita berhasil baik.”
“Aku akan berusaha sebaik mungkin, Bibi Wang.” kata Shi Men sebagai seorang murid yang patuh. “Saya lalu akan membujuk agar pertemuan yang kebetulan antara dua orang yang telah berbuat baik terhadap saya, Kongcu yang memberi kain dan ia yang menjahitkan, dihormati dengan suguhan arak. Dan Kongcu agar cepat mengeluarkan úang dan menyuruh saya membeli arak. Kalau ia menolak saja tinggal sendirian bersama Kongcu, berarti rencana kita gagal. Kalau ia tinggal duduk, berarti enam persepuluh bagian berhasil. Saya akan membawa uang itu dan pergi membeli arak, dan minta kepadanya untuk menemani Kongcu, kalau ia menolak dan memaksa diri untuk pergi, berarti gagallah rencana kita. Kalau ia mau, tujuh persepuluh bagian rencana kita berhasil baik. Saya akan kembali membawa arak, mengeluarkan hidangan dan arak dan minta kepadanya untuk menemani kita minum arak. Kalau ia menolak minum semeja dengan kengcu berarti rencana kita gagal sama sekali. Kalau ia hanya pura-pura berkeberatan namun tidak beranjak dari bangkunya, kita berhasil delapan persepuluh bagian.”
Kembali Nenek itu berhenti dan Shi Men sudah berkeringat walaupun hawa cukup sejuk. Membayangkan semua keberhasilan itu membuat dia bernafsu sekali dan dia ingin mendengar kelanjutan rencana itu.
“Lalu bagaimana, Bibi Wang? Lanjutkanlah!” Nenek itu pura-pura mengerutkan alisnya dan berpikir. “Kita bertiga lalu minum beberapa cawan. Kalau bicaranya mulai lepas dan sikapnya mulai lunak, saya akan mengatakan bahwa araknya habis dan Kongcu memberi uang lagi kepada saya. Saya akan meninggalkan kalian untuk membeli arak lagi. Setelah keluar, saya akan mengunci pintu depan. Kalau ia ketakutan dan memaksa diri hendak pergi, gagallah rencana kita. Kalau ia membiarkan saja saya mengunci pintu, rencana kita berhasil sembilan persepuluh bagian.”
“Lalu bagaimana, lalu bagaimana baiknya, Bibi Wang.” Shi Men mendesak.