Si Teratai Emas Chapter 07

NIC

“Toako dan So-So. Besok aku akan pergi melaksanakan tugas selama dua bulan lebih. Toako, engkau adalah orang yang berwatak lemah dan selalu mengalah. Aku khawatir bahwa selama aku pergi, ada orang yang akan mengganggumu. Janganlah membiarkan dirimu terlibat dalam percekcokan, tunggu sampai aku pulang untuk membereskan urusannya. Dan kalau aku menjadi engkau, kakakku, aku tidak akan membawa dagangan terlalu banyak, dan tidak akan berjualan terlalu lama meninggalkan rumah. Juga, kalau engkau pergi, sebaiknya engkau mengunci pintu. Jangan minum-minum dengan teman- temanmu. Namun, perhatikanlah pesanku, Toako.”

“Baiklah, aku akan mengingat pesanmu dan mentaatinya,” kata Bu Toa sambil mengangguk-angguk.

“Dan engkau So-So. Engkau memiliki perasaan yang demikian halus sehingga kiranya tak perlu aku banyak bicara lagi. Engkau melihat sendiri betapa kakakku adalah seorang yang amat lemah dan tergantung kepadamu. Dia jujur dan sederhana, sifat yang sesungguhnya jauh lebih baik dan berharga daripada yang nampak pandai dan gemerlapan, Karena itu So-So, jadikanlah rumah tangga kalian ini menjadi sebuah rumah tangga yang penuh dengan kebahagiaan. Rumah tangga harus mempunyai pagar halaman yang kokoh kuat agar anjing-anjing tidak dapat sembarangan memasukinya.” Mendengar ini, wajah Kim Lian menjadi merah sekali dan ia menjadi marah. la menudingkan jari telunjuknya kepada suaminya dan berteriak marah.

“Engkau laki-laki tolol! Apa saja yang kau telah bicarakan tentang diriku sehingga aku harus menghadapi semua penghinaan ini? Apakah karena aku hanya seorang wanita maka kalian menganggap aku tidak berharga? Aku adalah seorang isteri yang setia dan jujur! Coba buktikan untuk menyangkal kesetiaanku kepadamu. Sejak aku menikah denganmu, tidak ada seekor semutpun pernah memasuki tempat tidurku. Maka, apa artinya semua omong kosong dan penghinaan tentang anjing dan pagar halaman ini? Bu Siong, tidak sepantasnya engkau mengeluarkan ucapan yang bukan-bukan, tuduhan-tuduhan yang tak berdasar dan tanpa bukti!” Bu Siong memandang kepada kakak iparnya dengan wajah berseri. Hatinya gembira melihat So-Sonya menjadi marah-marah karena hal itu menunjukkan bahwa So-Sonya masih memiliki pendirian dan keangkuhan untuk melakukan hal-hal yang tercela bagi seorang isteri.

“Eh, jadi engkau merasa bertanggung jawab untuk kedamaian rumah tangga kalian, So-So? Bagus sekali kalau begitu, asal saja bukan hanya dalam kata-kata kosong belaka. Betapapun juga, ucapanmu itu akan kuingat dan akan menenteramkan hatiku.” Pada keesokan harinya, Bu Siong berangkat melaksanakan tugasnya yang berat dan berbahaya. Dan kakaknya yang ditinggalkannya itu mulailah menghadapi sikap isterinya yang selalu marah-marah. Akan tetapi Bu Toa tidak melayaninya menahan kesabarannya dan mentaati pesan adiknya. Dia berangkat tidak terlalu pagi dan pulang tidak terlalu sore, kalau dia pergi berjualan, dia menutupkan dan mengunci pintu depan. Tentu saja hal ini membuat Kim Lian menjadi marah sekali.

“Engkau manusia tolol! Perlu apa menutup daun pintu selagi matahari masih tinggi di angkasa? Para tetangga tentu akan menertawakan kita, seolah-olah kita ketakutan di siang hari, takut melihat setan. Inilah akibat engkau terlalu mendengarkan adikmu yang tidak becus apa-apa akan tetapi bermulut besar itu!”

“Biarlah orang lain mentertawakan aku.” Bu Toa menjawab. “Adikku memang benar. Dengan begini kita terhindar dari hal-hal buruk.” Kim Lian hanya dapat bersungut-sungut marah karena merasa betapa langkahnya dibatasi, dan ia merasa semakin tidak senang menjadi isteri Bu Toa yang tidak memuaskan hatinya dalam segala hal.

Seperti segala sesuatu di dunia ini, baik yang menyenangkan maupun yang tidak, yang dianggap baik maupun yang dianggap buruk, pasti akan berlalu tanpa kesan, kesan itu sendiripun akan lewat dan terhapus. Segala sesuatu di dunia ini akan ditelan oleh waktu. Waktu meluncur dengan amat cepatnya kalau tidak diperhatikan, lebih cepat dari anak panah terlepas dari busurnya. Tanpa terasa musim semi telah muncul, menghidupkan semua tumbuh-tumbuhan, menyemarakkan dunia dengan mekarnya sejuta bunga. Pada suatu pagi musim semi yang amat cerah, Kim Lian pagi-pagi sekali telah mandi dan mengenakan pakaiannya yang paling indah dan baru.

la menanti sampai Bu Toa, suaminya, berangkat memikul dagangannya. Kemudian iapun berdiri di bawah tenda yang berada di depan pintu. Ada pendapat yang mengatakan bahwa segala sesuatu yang akan terjadi seperti dikehendaki oleh Nasib biasanya disebabkan oleh soal-soal kecil dan sepele saja. Ketika itu, Kim Lian sedang membereskan bambu gantungan tenda di depan pintu ketika tiba-tiba angin bertiup pada tenda membuat bambu yang dipegangnya itu menyambar ke samping dan tanpa ia sengaja, bambu itu menghantam kepala seorang laki-laki yang sedang berjalan lewat. Untung bahwa benda itu hanya sepotong bambu, namun karena mengenai kepala orang tentu saja Kim Lian merasa terkejut dan juga menyesal dan malu. Kim Lian memperhatikan orang asing yang tertimpa bambunya itu dan iapun kagum.

Seorang pria yang usianya tiga puluh tahun lebih, sikapnya seperti seorang kota. Bentuk tubuhnya yang tegap itu tertutup pakaian yang terbuat dari sutera hijau yang mahal. Kepalanya mengenakan sebuah peci yang dihias anak panah emas yang dipasangi anting-anting yang mengeluarkan gemerincing lirih kalau dia bergerak. Di pinggangnya terdapat sebuah sabuk emas dengan hiasan kemala. Kakinya memakai kaus kaki yang terbuat dari kapas, amat bersih, dengan sepatu mahal pula. Tangannya memegang sebuah kipas buatan Secuan yang gagangnya dihias emas pula. Pendeknya, seorang pria yang ganteng dan tampan seperti tokoh dongeng Cang Song, atau Pan An. Seorang pria yang akan mampu menjatuhkan hati wanita yang manapun juga! Ketika pria itu merasa betapa bambu tenda itu menyerempet kepalanya, dia berhenti melangkah dan siap untuk marah.

Akan tetapi ketika dia membalik ke kanan dan memandang, seketika napasnya memburu dan jantungnya berdebar karena dia telah berhadapan dengan seorang wanita muda yang luar biasa cantik menggairahkan. Rambut yang hitam gemuk itu digelung di atas kepalanya. Lingkaran-lingkaran anak rambut yang hitam mengkilat itu kontras sekali dengan kulit pelipisnya yang putih mulus. Alisnya yang hitam kecil dan panjang melengkung seperti bulan tanggal satu melindungi sepasang mata yang agak lebar namun sipit pada kedua ujungnya dan memiliki sinar mata yang tajam bening. Sepasang Bibirnya merah basah yang bentuknya seperti gendewa terpentang, mudah bergerak-gerak menggairahkan, hidungnya kecil mancung, sepasang pipinya lembut kemerahan seperti buah tomat masak, bentuk tubuhnya ramping dan lemah lembut seperti tangkai bunga yang indah semerbak mengharum.

Jari-jari tangannya kecil meruncing, halus seperti kemala terukir. Tubuh itu amat menggairahkan, seperti tangkai bunga yang sedang mekarnya, kulitnya putih mulus, penuh lekuk lengkung yang sempurna, dada yang membusung itu, kaki yang kecil mungil. Ah, seorang wanita muda tanpa cacad cela. Pemandangan yang amat menggairahkan di depannya itu seketika mengusir kemarahan pria itu, mengubah wajah yang tadinya cemberut itu menjadi senyum ramah, seolah-olah awan tipis tersapu angin dan memperlihatkan kembali bulan yang purnama. Kim Lian menjadi salah tingkah. Wanita inipun terpesona akan ketampanan pria yang berada di depannya. Dengan gugup iapun mengangkat kedua tangan ke depan dada, membungkuk dengan lemah gemulai ketika memberi hormat dan berkata dengan suara lirih merdu, suaranya basah menggairahkan.

“Tiupan angin menyebabkan pegangan saya kurang kuat dan bambu itu tanpa saya sengaja telah mengenai Kongcu (tuan muda). Harap Kongcu sudi memaafkan saya.” Pria itu membetulkan letak pecinya dan menjura sangat dalam untuk membalas penghormatan itu. “Ah, tidak mengapa,nona. Harap nona tenang saja.” Ibu Wang, janda sebelah yang membuka kedai teh, kebetulan berada di luar dan menyaksikan semua peristiwa itu. lapun kini melangkah maju sambil menyeringai.

“Kongcu menerima pukulan keras selagi lewat, ya?”

“Aih, semua itu kesalahanku!” kata pria itu sambil tersenyum ramah. “Harap saja nona ini suka memaafkan aku.”

“Ah, Kongcu” Kim Lian berseru. “Tidak selayaknya kalau Kongcu yang minta maaf!”

“Nona yang baik, kau maafkanlah aku!” kembali pria itu berkata, suaranya terdengar lantang dan merdu merayu, sinar matanya penuh dengan gairah yang berkobar. Pandang matanya seolał-olah melekat pada wajah cantik manis dan tubuh yang indah itu. Kemudian, diapun menjura dan pergi, akan tetapi ketika melangkah pergi, berulang kali dia menengok sambll menggerakkan kipasnya, langkahnya penuh gaya. Kemunculan pria yang tampan dengan pakaiannya yang indah dan serba mahal, juga sikapnya yang menarik dengan kata-katanya yang penuh kesopanan, mendatangkan kesan mendalam di hati Kim Lian.

“Tentu dia tertarik kepadaku,” pikirnya dengan jantung berdebar, “kalau tidak demikian, mengapa ketika dia pergi berulang kali dia menoleh kepadaku? Aih... kalau saja ia tahu siapa nama pria itu dan di mana rumahnya.” la memandang terus mengikuti pria itu sampai dia menghilang di tikungan jalan. Baru setelah pria itu tidak nampak lagi, ia menutupkan daun pintu dan masuk ke dalam rumahnya. Dapatkah penbaca menduga siapa adanya pria ganteng yang menarik perhatian Kim Lian itu? Dia bukan lain adalah pemimpin kelompok pria yang memiliki kesukaan mengejar wanita-wanita cantik. Dia adalah pemilik toko rempah-rempah dan obat yang besar, yaitu si hartawan muda Shi Men!

Baru saja isterinya yang ke tiga atau selirnya yang ke dua, Coa Tiu, telah meninggal dunia karena sakit. Selama selir itu sakit berat, Shi Men menjaganya di dalam kamar sampai wanita itu meninggal dunia. Dia merasa berduka karena dia menyayang Co Tiu, dan baru hari inilah dia keluar dari rumah untuk menghibur hatinya yang masih dilanda duka. Dia berniat mengunjungi Ying Po Kui, sahabatnya yang tentu akan dapat menghiburnya, dan dalam perjalanan inilah dia mengalami peristiwa yang membuat hatinya terguncang penuh pesona. Peristiwa yang baru saja dialaminya itu membuat dia bingung, dan dia tidak jadi mengunjungi Ying, melainkan pulang ke rumah dan begitu tiba di rumah, dia lalu memasuki kamarnya dan melamun. Betapa cantik wanita itu! Ah, bagaimana dia bisa mendapatkannya? Tiba-tiba dia bangkit berdiri dan wajahnya berseri.

“Ah, tentu saja! Ibu Wang, janda pemilik kedai teh di sebelah rumah si cantik itu, tentu dapat menjadi perantara!” Begitu timbul gagasan ini, Shi Men tidak menanti sampai makin siang, dan cepat dia keluar lagi dari rumahnya, mengunjungi kedai teh milik janda Wang. Tentu saja janda tua itu menyambutnya dengan wajah Berseri.

“Hai, Bibi Wang, ke sinilah. Ada hal yang harus, kutanyakan kepadamu. Nona cantik di sebelah rumah ini, siapakah ia itu?”

“Uh, tidak tahukah Kongcu? la adalah adik Pangeran Neraka, puteri dari Jenderal Lima Jalanan!” “Hushh! Jangan main-main kau! Bicaralah yang benar. Siapa ia?” “Aha, Kongcu ingin tahu benar? Baiklah, ia adalah isteri dari pedagang kue, si Bu Toa.” “Apa? Si cebol yang suka menggonggong itu, si kerdil yang buruk?”

“Benar!'“ Shi Men tertawa bergelak. Akan tetapi dia lalu berseru penuh penasaran,

“Sungguh penasaran sekali daging domba yang lunak segar itu terjatuh ke dalam rahang seekor anjing kotor!”

Posting Komentar