Si Teratai Emas Chapter 06

NIC

“Baiklah, So-So. Karena So-So dan Toako membutuhkan aku, maka aku akan mengirim barang-barangku dan pindah ke sini.” Tentu saja Kim Lian merasa girang bukan main, akan tetapi ia menyembunyikan perasaan itu dan hanya menjura dengan hormat. “Kehadiranmu di sini akan memberi kehormatan bagi kami, adikku.” Setelah Bu Siong pindah ke rumah kakaknya, dia memberi beberapa potong uang perak kepada kakaknya untuk membeli kue-kue dan beberapa barang lain dan mengirimkannya kepada para tetangga sebagai tanda persahabatan. Para tetangga merasa girang apalagi mendengar bahwa kini pendekar perkasa Bu Siong yang namanya amat terkenal sebagai pembunuh harimau itu tinggal di rumah Bu Toa, bahkan ternyata pendekar itu adalah adik kandung Bu Toa. Mereka semua kini menghadapi Bu Toa dengah sikap lain menghormat dan kagum. Kehadiran Bu Siong, tepat seperti dikatakan oleh Kim Lian, telah mengangkat martabat keluarga itu dalam pandang mata para tetangga.

Bu Siong adalah seorang pendekar yang berwatak polos dan hormat. Dia tidak lupa untuk membelikan kain yang indah untuk kakak iparnya, dan tentu saja Kim Lian menerima hadiah ini sebagai suatu kejutan yang amat menggembirakan hatinya. Kim Lian bersikap penuh kasih sayang terhadap Bu Siong seperti terhadap adik sendiri yang disayang. Melayani pendekar itu dengan masakan-masakan yang lezat, mengerahkan segala daya upayanya untuk menyenangkan adik iparnya itu. Di pihaknya, Bu Siong yang jujur tidak pernah berprasangka buruk, berterima kasih sekali kepada kakak iparnya yang demikian baik terhadap dirinya, sama sekali tidak tahu bahwa semua perlakuan yang amat baik dari Kim Lian itu mengandung pamrih lain yang lebih mendalam. Hubungan mereka menjadi akrab seperti layaknya seorang adik dan kakak.

Beberapa bulan kemudian, musim salju pun tiba. Hawa udara menjadi dingin sekali, membuat orang merasa malas untuk keluar dari dalam rumah yang hangat. Akan tetapi, Bu Toa tidak pernah berhenti keluar rumah setiap pagi untuk menjajakan dagangannya. Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Bu Toa sudah menempuh salju sambil memikul dagangannya. Tubuhnya dilindungi jubah tebal yang hangat pemberian adiknya. Malam tadi Bu Siong bertugas di benteng dan siang Ini baru akan pulang. Setelah suaminya berangkat, Kim Lian sibuk sendiri.

“Hari ini aku harus berhasil!” la mengepal tinju. “Dia tidak mungkin dapat bersikap acuh lagi terhadap diriku!” Kim Lian segera menemui janda Wang yang tinggal di dekat rumahnya untuk membeli anggur yang baik dan daging. la sendiri membakar arang di tempat perapian dalam kamar Bu Siong. Kemudian ia mempersiapkan masakan yang lezat, kemudian menanti kedatangan adik ipar itu. Akhirnya, lewat tengah hari, muncullah Bu Siong di ambang pintu, menggigil kedinginan dan mengebut-ngebutkan salju dari jubahnya. Kim Lian segera menyambutnya, wajahnya yang cantik itu penuh dengan senyum yang manis. Ketika Bu Siong membuka jubah dan topinya yang basah oleh salju, Kim Lian maju untuk membantunya.

“Aih, jangan repot, So-So.” Bu Siong mencegah. Dia mengebutkan jubah dan topinya, lalu menggantungkannya di tembok. Setelah itu seperti biasa, Bu Siong melangkah lebar menuju ke kamarnya. Kim Lian mengikutinya, sepasang matanya bersinar-sinar dengan cerdik.

“Adik Bu Siong, aku telah menanti kembalimu sejak pagi. Kenapa engkau begitu lama baru pulang?”

“Seorang kawan membujukku untuk makan di rumahnya, akan tetapi aku berhasil menolaknya dan hanya bercakap-cakap.”

“Ah, kiranya begitu. Nah, duduklah dekat perapian biar hangat, adikku.” Bu Siong menjatuhkan diri di atas kursi dekat perapian yang hangat dan menarik napas panjang. “Aahh, nyaman sekali di sini!” Dia berkata senang dan melepaskan sepatunya, kaus kakinya, kemudian memasukkan kedua kakinya kedalam sepasang sandal yang hangat. Memang nyaman dan menyenangkan sekali duduk dekat perapian seperti itu setelah tertimpa hujan salju di luar rumah tadi. Si kecil A Ying muncul membawa anggur dan masakan, dan dengan gerakan yang manis memikat Kim Lian mengatur semua iu di atas meja. A Ying lalu keluar dari kamar itu. Kim Lian mengambil sebuah bangku dan duduk pula di dekat perapian.

“Adik Bu Siong, minumlah anggur ini” katanya setelah menuangkan anggur ke dalam cawan arak. Untuk menghormati kakak iparnya, Bu Siong menerima cawan itu dan minum anggur yang dituangkan oieh Kim Lian sampai dua kali. Diapun membalas dengan menuangkan anggur ke dalam cawan Kim Lian. Wanita itu lalu mengajak adik iparnya makan minum dan berusaha untuk terus mengisi cawan arak di depan Bu Siong agar tidak sampai kosong. Dan tiba-tiba saja pakaian Kim Lian sudah tidak karuan letaknya. Bagian dadanya terbuka karena ada dua buah kancing lepas sehingga nampak lengkung dadanya. Ikatan rambutnyapun tiba-tiba terlepas sehingga rambut yang hitam panjang dan harum itu terurai di atas pundaknya. Bibirnya yang merah basah itupun terbuka dan sepatang matanya setengah terkatup, penuh gairah.

“Adik Bu Siong, ada desas-desus bahwa engkau menyimpan seorang gadis penyanyi di dalam sebuah rumah tak jauh dari benteng. Benarkah itu?”

“Jangaภ dengarkan desas-desus itu, Aku bukan laki-laki macam itu” “Siapa tahu? Jangan-jangan engkau bicara begini dan berpikir lain.” “Hemm, tanya saja kepada kakakku!”

“Kakakmu? Apa yang dia ketahui? Dia seperti mimpi dalam hidupnya, seolah-olah dia selalu dalam keadaan setengah mabuk. Apakah dia harus berdagang makanan seperti itu kalau dia memang berotak? Minumlah, adik Bu Siong.” Kim Lian membujuk adik iparnya untuk meneguk tiga cawan arak lagi bahkan masih terus mengisi cawannya. la sendiri telah minum tiga cawan dan iapun mulai mabuk, dibakar oleh api nafsu berahi yang bernyala-nyala didalam tubuhnya.

Kata-katanya menjadi semakin bebas dan tidak terkekang lagi. Biarpun dia telah minum banyak arak, Bu Siong masih sembilan persepuluh bagian sadar. Dia tidak terpengaruh oleh arak dan keadaan So-Sonya dan lebih banyak menundukkan mukanya. Karena guci arak pertama telah kosong, Kim Lian meninggalkan kamar untuk mengisinya lagi. la meninggalkan kamar itu dengan langkah gontai, dengan lenggang yang memikat. Akan tetapi Bu Siong tidak memperhatikannya, bahkan pendekar ini lalu membereskan arang yang membara di dalam perapian. Kim Lian masuk lagi ke kamar dan dengan tangan kanan memegang seguci arak ia meletakkan tangan kiri ke atas pundak Bu Siong. Pendekar ini merasa betapa jari-jari tangan itu menekan pundaknya.

“Pakaianmu begitu tipis, adik Bu Siong. Apakah engkau tidak merasa dingin?” Bu Siong tidak menjawab melainkan melanjutkan pekerjaannya mengorek-ngorek arang dengan alat pengorek. Kim Lian mengambil pengorek itu dari tangannya.

“Ihh, agaknya engkau tidak tahu bagaimana caranya untuk membikin panas, adik yang baik. Biarkan aku yang akan membuat engkau menjadi sepanas perapian itu sendiri!” Bu Siong mulai marah bukan main, akan tetapi dia menekan kemarahannya. Agaknya Kim Lian yang sudah mabuk itu tidak menyadari akan kemarahan adik iparnya. la menegak arak dari cawannya, meninggalkan setengahnya dan menyodorkan cawan dengan sisa arak yang diminumnya itu kepada Bu Siong.

“Minumlah ini, adikku yang gagah, minumlah kalau engkau kasihan kepadaku.” Bu Siong tak dapat menahan dirinya lagi. Dia mengambil cawan itu dan dengan marah menuangkan isinya ke atas lantai. Dan dengan tangan seperti hendak menolak kakak iparnya, dia berkata dengan sepasang mata berkilat marah.

“Cukup semua gila-gilaan ini, So-So! Aku adalah seorang jujur yang berdiri dengan tegak di atas kedua kakinya di antara langit dan bumi, dan yang membiarkan lidahnya di dalam mulutnya! Aku bukanlah seekor babi yang tidak tahu akan kesusilaan dan perikemanusiaan. Hentikan semua tetek bengek ini! Kalau engkau membiarkan dirimu mudah dimabuk nafsu, mataku boleh jadi akan dapat mengenalmu sebagai kakak ipar, akan tetapi kepalan tanganku boleh jadi akan melupakan hal itu!” Dengan muka merah padam, Kim Lian menundukkan mukanya. Kemudian ia memanggil A Ying untuk membersihkan meja. Setelah hal ini dilakukan dan anak itu keluar lagi dari dalam kamar, ia berkata dengan suara lirih,

“Aku hanya bergurau. Bagaimana aku dapat menduga bahwa engkau akan menanggapinya secara sungguh-sungguh? Betapa kasarnya engkau, adik Bu Siong.” la lalu meninggalkan kamar itu menuju ke dapur. Peristiwa itu terasa amat menyakitkan hati bagi Kim Lian, akan tetapi ia tidak berani berbuat sesuatu, hanya menyesali diri sendiri dan nasibnya yang dianggapnya amat buruk. Dan terjadilah perubahan dalam rumah tangganya pada hari itu juga. Ketika pada sore harinya Bu Toa pulang dari menjajakan dagangannya, dia disambut oleh adiknya yang bersikap dingin dan muram. Bahkan Bu Siong lalu pergi meninggalkan rumah itu, tidak perduli akan teriakan kakaknya yang memanggilnya. Tak lama kemudian, dia kembali bersama dua orang perajurit dan memerintahkan mereka untuk mengangkuti barang-barangnya dari rumah kakaknya.

“Wahai adikku, mengapa engkau tiba-tiba hendak meninggalkan kami?” tanya Bu Toa dengan heran dan penuh kekhawatiran.

“Tidak perlu kukemukakan alasannya, kakakku. Biarlah aku pergi dengan aman, agaknya demikianlah yang paling baik.” Dan diapun pergi bersama dua orang anak buahnya yang memanggul barang- barangnya, meninggalkan Bu Toa yang menggeleng-geleng kepala dan menduga-duga apa yang sebenarnya terjadi maka adiknya bersikap seaneh itu.

Kurang lebih setengah bulan kemudian Bu Siong dipanggil menghadap Kepala Daerah dan dia diberi tugas untuk mengawal barang-barang berharga milik pembesar itu untuk dibawa ke Kotaraja. Perjalanan itu cukup jauh dan memakan waktu lama, dan karena yang dibawanya adalah barang-barang berharga, maka tentu saja amat berbahaya dan membutuhkan tenaga seorang gagah seperti Bu Siong. Pembesar itu menjanjikan hadiah besar kepada Bu Siong yang tentu saja menerima tugas ini dengan senang hati. Sebelum berangkat, Bu Siong mengunjungi rumah kakaknya, Dia tidak mau memasuki rumah itu dan hanya menanti di depan rumah sampai kakaknya pulang dari menjajakan dagangannya. Mereka lalu naik ke loteng dan Bu Siong duduk berhadapan dengan kakaknya dan kakak iparnya.

Posting Komentar