“Ha-ha-ha, kami pelesir di rumah Bibi Li, sudah lama tidak berkunjung ke sana.” “Hemm, apakah ada bunga baru?” Shi Men bertanya, tersenyum.
“Biasa saja, akan tetapi di sana kami menemukan bunga yang luar biasa, bunga yang baru mulal mekar dan tahukah engkau siapa perawan itu, Shi-Kongcu? adalah keponakan dari isteri kedua anda! Wah, beberapa lama tidak melihatnya, tahu-tahu kini ia telah menjadi sekuntum bunga yang mulai mekar dengan indahnya. Ibunya mendesak kami untuk mencarikan seorang suami yang muda dan tampan untuk anak itu. Ibunya berkata bahwa ia takut kalau-kalau puterinya itupun akan menjadi calon korbanmu, ha-ha!” Shi Men tersenyum lebar. Kalimat terakhir itu baginya merupakan sanjungan.
“Aha, begitukah? Hemm, kalau begitu sekali waktu aku harus pergi melihatnya sendiri!”
“Oya, di mana pesta itu akan diadakan? Di sini ataukah di Kuil?” tanya Ying Po Kui sambil melirik ke arah pelayan wanita muda yang keluar menghidangkan arak. Pelayan itu menunduk saja, kemudian pergi setelah menaruh cawan-cawan dan guci arak di atas meja di depan tamu-tamu itu.
“Kami telah memilih dua buah Kuil untuk diusulkan, tinggal engkau memilih yang mana, Kongcu. Kuil Buddha Yung Hok Si ataukah Kuil Tao yang bernama Giok Ong Bio. Keduanya cukup baik dan dapat kita pergunakan,” kata Cia Si Ta.
“Lebih baik kita pergunakan Kuil Giok Ong Bio itu saja, karena pendeta Bu-Tosu telah kukenal dengan baik. Di sana juga luas dan bebas.” Mereka bercakap-cakap dan merencanakan pesta mereka, akhirnya sambil tertawa-tawa gembira karena perut mereka sudah kemasukan beberapa cawan arak, dua orang tamu itu pergi meninggalkan gedung Shi Men. Sehari sebelum pesta dimulai, Shi Men mengutus seorang pelayan untuk berbelanja. Seekor babi, seekor kambing kebiri, beberapa ekor ayam dan bebek, juga enam guci arak yang baik, dan segala bumbu dan keperluan pesta. Semua itu, berikut alat-alat bersembahyang, diangkut oleh tiga orang kacung menuju ke Kuil Giok Ong Bio (Kuil Raja Kemala) yang diketuai oleh Bu-Tosu.
“Besok pagi, Kongcu kami akan datang berkunjung dan melakukan upacara sembahyang pengangkatan saudara,” kata mereka kepada Bu-Tosu.
“Harap Totiang suka mempersiapkan segalanya untuk pesta dan upacara sembahyang itu, yang akan dirayakan sehari penuh di Kuil ini.” Tosu ini menerima dengan gembira karena hal ini berarti bahwa akan ada sejumlah uang masuk ke kas Kuil! Diapun menyatakan kesanggupannya dan membuat persiapan bersama para Tosu yang menjadi pembantu-pembantunya. Tak dapat disangkal lagi bahwa dalam keadaan atau kedudukan yang bagaimanapun juga, selama manusia masih menjadi hamba dari pada keinginannya sendiri untuk senang, maka segaia akan diselewengkan oleh manusia. Keinginan untuk bersenang diri ini menyusup sampai ke Kuil-Kuil, ke kursi-kursi pejabat tinggi sehingga di tempat-tempat yang sepatutnya mengalir keluar perbuatan-perbuatan bajik dan bijaksana,
Sebaliknya lahir perbuatan yang sebaliknya, hanya terdorong oleh keinginan untuk senang, Keinginan mengejar kesenangan biasanya menghalalkan segala cara. Bu-Tosu bukan tidak mengenal Shi Men dan bukan tidak tahu orang macam apa adanya hartawan itu dan kawan-kawannya. Diapun tahu bahwa Kuilnya akan dijadikan tempat berpesta pora yang melampaui batas kesopanan. Orang-orang itu akan mabuk-mabukan, bergurau dan bercumbu dengan gadls-gadis penyanyi yang biasanya juga merangkap menjadi gadis-gadis pelacur. Dia tahu bahwa pesta itu akan menodai kesucian Kuil, akan tetapi bayangan mengalirnya sejumlah uang membuat dia sengaja menutup mata batinnya terhadap semua itu. Dan biasanya, kita pandai sekali untuk mencari alasan guna menghapus atau setidaknya mengurangi kadar pelanggaran atau kesalahan yang kita lakukan.
Demikian pula Bu-Tosu. Dapat saja dia mengambil alasan bahwa dia telah melakukan kebaikan karena telah membantu orang-orang yang bermaksud baik, yaitu bersumpah mengangkat saudara! Dapat pula dia beralasan, bahwa dia membiarkan pesta itu karena dia perlu memperoleh uang untuk biaya memperbaiki Kuil dan sebagainya, berarti “untuk kebaikan” pula. Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali sembilan orang kawan itu telah tiba di rumah gedung Shi Men dan menghadapnya. Mereka itu saling memberi salam, bercengkerama sebentar sambil makan pagi, kemudian berangkatlah mereka ke Kuil yang diberi nama Kuil Raja Kemala itu. Para Tosu menyambut mereka dan mempersilakan mereka masuk saja untuk menghadap Bu-Tosu yang tinggal di sebelah dalam Kuil.
Sepuluh orang itu masuk ke dalam Kuil menikmati keindahan Kuil kuno yang memiliki ruangan lebar, atap yang tinggi, dinding batu yang tebal dan halus. Huruf-huruf indah berbentuk sajak berpasangan menghias dinding dan mengapit pintu-pintu masuk. Di sebelah dalam, dinding dan lantainya terbuat daripada marmar, indah bersih berkllauan akan tetapi karena tempat itu agak remang-remang, mendatangkan kesejukan dan keheningan. Di ruangan dalam nampak arca indah dari Lao Tze, nabi dari Agama Tao, seorang Kakek tua sederhana yang menunggang seekor kerbau hitam. Mereka melewati sebuah pintu dan masuklah mereka ke daerah yang dihuni Bu-Tosu, ketua Kuil itu. Mereka melalui lorong terbuka dan, di kanan kiri lorong ditanami bunga-bunga indah, cemara-cemara kecil dan pohon bambu. Dan didepan pintu masuk, Shi Men membaca tulisan indah sekali berbentuk sajak.
“Di dalam guha-guha ini tinggal semangat kami” “Waktu dan ruang terlupa sama sekali”
“Di dalam pulau-pulau ajaib kami ini senang dan susah tidak ada lagi.” Tempat kediaman Bu-Tosu terdiri dari tiga kamar depan, di mana dia melaksanakan tugas-tugas keagamaannya.
Ketika itu, semua tempat ini dibersihkan sampai mengkilap untuk menyambut para tamu. Di kamar tengah tergantung gambar dari Raja Kemala dari Istana Surga Emas, sedangkan di kamar-kamar sebelah terdapat patung dari Dewa Istana Ungu dan empat Panglima Surga, yaitu Ma, Cac, Wen dan Huang. Di depan meja sembahyang Bu-Tosu menyambut kedatangan para tamu dengan sikap hormat, mempersilakan mereka duduk dan minum teh. Setelah minum teh, Tosu itu mengantarkan para tamunya berkeliling untuk melihat-lihat. Setiap kali melihat patung dan arca para dewa, orang-orang yang biasanya ugal-ugalan itu tidak dapat menahan diri untuk tidak mengeluarkan pendapat-pendapat yang mengandung olok-olok. Ketika melihat gambar seekor harimau dan Panglima Surga Cao, seorang di antara mereka berolok,
“Teman-teman, lihat harimau di sebelah Cao tua itu! Harimau itu tentu jenis pemakan sayur, kalau tidak demikian, tentu Cao tua itu sudah diterkamnya.” Bu-Tosu diam saja mendengar olok-olok ini, akan tetapi dia lalu teringat akan sesuatu.
“Ah, bicara tentang harimau, Pinto (aku) teringat berita bahwa di luar kota juga terdapat gangguan seekor harimau yang buas. Dia telah menyerang banyak orang, bahkan membunuh sepuluh orang pemburu yang mencoba untuk membunuh harimau itu.
“Ahhh...” Shi Men berseru kaget.
“Apakah cu-wi (anda sekalian) belum mendengar berita itu? Para pedagang dan pesiar tidak berani lagi melewati Gunung King-Yan-San seorang diri, melainkan harus berkelompok. Kepala Daerah kita baru- baru ini menjanjikan hadiah lima puluh tall perak kepada orang yang dapat membunuh binatang itu. Adapun para pemburu yang sial, yang gagal menangkap binatang itu, mereka harus menderita hukuman pukulan.” “Aha, hal itu mengingatkan aku akan sebuah lelucon” terdengar Ying Po Kui yang tinggi kurus tertawa, “Seorang yang kikir meronta-ronta dalam gigitan seekor harimau. Puteranya datang dengan Pisau di tangan untuk menyelamatkan ayahnya dan siap menusuk perut harimau. Jangan, teriak ayah itu, begitu bodohkah engkau hendak merusak kulit harimau yang demikian berharga?” Orang-orang yang mendengar cerita ini tertawa. Kemudian Bu-Tosu mengusulkan agar upacara pengangkatan saudara dimulai. Dia mengeluarkan sebuah dokumen tertulis.
“Pinto telah membuat sumpahnya, dan bagaimanakah susunan nama cu-wi?” “Nama Shi Men harus lebih dulu, tentu saja,” berkata mereka.
“Melihat usianya, Ying harus lebih dulu.” Shi Men membantah.
“Aih, jaman sekarang ditentukan oleh uangnya, bukan usianya!” Ying juga membantah.
“Selain itu, siapakah di antara kami yang lebih terhormat terpandang daripada engkau. Tempat pertama, sepatutnya untuk namamu.” Karena didesak dan dibujuk oleh teman-temannya, akhirnya Shi Men menjadi orang pertama atau yang mereka sebut “Toako” (kakak tertua). Tempat ke dua diduduki Ying Po Kui. Ke tiga Cia Si Ta dan tempat ke empat diberikan kepada Hua Ce Shu mengingat akan kekayaannya. Demikianlah, upacara sembahyang dan pengangkatan saudara dilaksanakan dan diatur oleh Bu-Tosu.
Kemudian mereka semua berpesta pora di tempat itu. Bu-Tosu merasa lega bahwa mereka tidak memaksa untuk memanggil gadis-gadis penyanyi ketika dia menyatakan keberatan. Akan tetapi, di tengah mereka berpesta, datang seorang pelayan yang diutus oleh Goat Toanio untuk mengundang Shi Men pulang dengan alasan bahwa isteri ke tiga jatuh pingsan. Tentu saja hal ini hanya dipakai sebagai alasan agar Shi Men cepat pulang karena bagaimanapun juga, di dalam hati Goat Toanio merasa tidak rela suaminya berhubungan akrab dengan orang-orang yang ia ketahui merupakan kelompok orang yang tidak ada gunanya itu. Akan tetapi juga bukan berarti alasan bohong karena memang isteri ke tiga dari Shi Men sakit-sakitan dan lemah. Shi Men pulang ditemani oleh Hua Ce Shu yang menjadi tetangganya. Beberapa hari kemudiah Ying Po Kui datang mengunjungi Shi Men.
“Bagaimana keadaan Sam-So (kakak-ipar ke tiga)?” tanya Ying, bangga bahwa setelah kini mengangkat saudara, dia berhak untuk menyebut isteri-isteri dari Shi Men dengan sebutan Soso (kakak ipar).!
“Ah, masih belum sembuh. Baru saja aku suruh panggil tabib itu, akan tetapi, kepentingan apakah yang kau bawa dengan kunjunganmu ini?”
“Wah, ada cerita yang hebat, Toako!” “Ceritakanlah!”
“Bayangkan saja, harimau buas yang kemarin dulu kita dengar dari Bu-Tosu, kabarnya kemarin dibunuh oleh seorang yang menggunakan tangan kosong saja!”