"Hemm, tapi kami meli hat engkau sudah tidak terluka lagi, meli hat gerakanmu dan suaramu," kata si jangkung Thian Kui Lo-jin.
"Memang ada orang yang menolong saya, lo-cian- pwe. Ketika saya siuman, ada seorang wanita dan seorang gadis remaja berada di sini. Wanita itu menurut keterangan si gadis remaja bernama Ban-tok Sian-li. "
"Sian-cai....! Dewi Selaksa Racun itu datang kepadamu dan mengobatimu dari pukulan beracun? Sungguh luar biasa sekali! Biasanya ia tidak perdulian orang lain.”
"Memang ia menolong saya ada pamrihnya, lo-cian- pwe. Mungkin dalam keadaan setengah sadar saya telah menyebut Si Golok Naga dan dia tertarik, setelah mengobati saya lalu ia bertanya tentang Mestika Golok Naga. Ketika saya menjawab bahwa saya tidak tahu dan bahwa yang membunuh suhu hanyalah orang berjuluk Si Golok Naga dan Tengkorak Hidup, dan saya tidak tahu di mana adanya Mestika Golok Naga, ia menjadi marah dan hendak membunuh saya. Akan tetapi nyawa saya masih dilindungi Tuhan. Muridnya, seorang gadis remaja telah mencegah gurunya membunuh saya dan selamatlah saya."
"Hemm, tanpa kausadari, engkau telah terlibat dalam urusan yang akan membahayakan hidupmu selanjutnya, Tiong Li. Engkau meli hat raksasa hitam itu membunuhi tokoh empat partai besar, berarti engkau seorang yang menjadi saksi mata atas perbuatannya itu karena ayahmu, saksi kedua telah tewas. Si raksasa hitam itu tentu tidak akan pernah merasa lega dan puas kalau belum dapat membunuhmu. Untung engkau bertemu dan menjadi murid sahabat kami Pek Hong San-ji n, kalau tidak tentu sudah dari dulu engkau terancam bahaya maut," kata Thian Kui Lo-jin.
"Lo-cian-pwe, sebe narnya siapakah raksasa hitam itu? Dan siapa pula si muka tengkorak yang telah membunuh suhu itu?"
"Kami tidak tahu. Akan tetapi melihat kelihaian dan keanehannya, agaknya dia dan si muka tengkorak itu bukan tokoh di dunia kang-ouw yang kita kenal. Mungkin dia datang dari daerah lai n dan sangat boleh jadi dia datang dari negara Cin, merupakan tokoh dari utara atau barat yang memang banyak terdapat orang orang lihai yang aneh. Akan tetapi sudahlah, kami tidak tertarik kepada mereka, melai nkan tertarik kepadamu. Karena engkau murid mendiang sahabat kami, maka kami tidak boleh tinggal diam melihat engkau terancam bahaya maut."
"Ha-ha-ha, jalan satu-satunya adalah bahwa engkau harus ikut bersama kami, menjadi murid kami, Tiong Li. Dengan demikian berarti kita tidak menyia-nyiakan semua jerih payah hwe-shio tua itu. Bagaimana, maukah engkau menjadi murid kami dan ikut bersama kami?" tanya Tee Kui Lo-jin sambil tertawa-tawa.
Mendengar pertanyaan itu, seketika Tiong Li menjatuhkan diri berlutut di depan mereka. Mereka adalah para sahabat gurunya, dan dia merasa bahwa ilmu kepandaiannya masih jauh untuk dapat dipakai melawan orang-orang pandai maka dengan rela dan senang hati dia lalu memberi hormat dan berkata, "Teecu menghaturkan terima kasih kalau ji-wi suhu (guru berdua) suka mengambil teecu sebagai murid. Teecu akan menaati semua perintah dan petunjuk ji-wi suhu."
Dua orang aneh itu tertawa senang. Mereka tidak mempunyai murid dan tidak mempunyai keinginan untuk mengambil murid. Akan tetapi ketika bertemu dengan Tiong Li, melihat kebaktian Tio ng Li terhadap gurunya, lalu melihat betapa Tiong Li terlibat dalam urusan besar dan anak itupun berbakat baik sekali, hati mereka tertarik dan mereka sepakat untuk menggembleng pemuda itu sebagai murid mereka.
Demikianlah, setelah api yang mem bakar pondok itu padam dan abunya beterbangan dibawa angin gunung, dua orang pertapa itu mengajak Tio ng Li meninggalkan tempat itu.
"Biarlah abu jenazah Pek Hong San Ji n diterbangkan angin bertebaran di seluruh permukaan bukit dan menjadi pupuk yang baik bagi tanaman di sini," ka ta Tee Kui Lo-jin sambil tertawa. "Ini sudah sesuai dengan kehendaknya."
Dua orang pertapa itu bertempat tinggal di Lembah Sungai Wu-kiang, di pegunungan Kui-san dan mengambil sebuah puncaknya sebagai tempat pertapaan, yaitu di puncak Ki-lin-san (Puncak Bu- kit Kilin). Disebut demikian karena puncak ini dari jauh seperti bentuk seekor ki-lin (hewan keramat setengah singa setengah harimau).
Seperti halnya ketika belajar kepada Pek Hong San-ji n dahulu, sekali ini Tio ng Li juga. belajar dengan tekun, hampir tidak pernah meninggalkan puncak sehingga dia tidak pernah tahu atau mendengar akan keadaa n di dunia luar.
)odwo( Sementara itu, di luar tempat pertapaan itu, terjadi banyak hal yang hebat. Melihat gerakan pasukan Cin (Kin) yang selalu melanggar perbatasan, kaum pendekar di dunia kang-ouw merasa penasaran sekali. Mereka tidak setuju dengan sikap Kaisar Kao Cung yang lemah dan yang lebi h suka mengalah terhadap Kerajaan Kin, tanpa malu-malu mengajak Bangsa Yu-cen itu berdamai dan bahkan membayar upeti.
Di propinsi Ho pei dan Shan-si, di mana-mana para pendekar patriot membentuk pasukan-pasukan rakyat sendiri untuk melawan pasukan Kin yang selalu melanggar perbatasan dan melakukan perampokan dan pembunuhan pada penduduk dusun di sekitar perbasatan. Laskar laskar rakyat ini membuat sarang mereka di bukit bukit dan hutan-hutan di sepanjang Sungai Yang-ce.
Pernah sebuah laskar rakyat yang menamakan dirinya Laskar Pita Merah menyerbu sebuah perkemahan pasukan Kin (Cin) dan membasmi seluruh penghuninya! Semangat mereka berkobar-kobar, sungguh berbeda dengan sikap Kaisar Sung Kao Cung yang dianggap merendahkan martabat Kerajaan.
Yang bertugas mempertahankan kota raja Kai-feng yang telah jatuh ketangan musuh adalah Panglima C ung Ce. Kini dialah yang memimpin pasukan Kerajan Sung yang bertugas di garis depan. Pada suatu ketika, Panglima Cung Ce menyeberangi Sungai Yang-ce dan mengadaka n perundingan dengan para patriot yang berjuang di seberang utara untuk merebut kembali daerah yang telah dikuasai musuh. Dia memerintahkan tujuhribu orang pasukan, dipimpin oleh pendekar Wang Yen, menerjang kepungan puluhan ribu orang pasukan Kin dan berhasil mencapai dan menguasai Pegunungan Tai-hang-san. Mereka menghimpun lebih dari seratus ribu orang di Pegunungan Tai-hang-san ini dan berulang kali mengalahkan pasukan Kin dan memperkuat pasukan sendiri.
Berulang kali Panglima Cung Ce mengusulkan untuk menyerbu terus ke utara, namun Kaisar selalu menolak. Bahkan sebaliknya, Kaisar yang dikuasai oleh Perdana Menteri Jin Kui, merasa khawatir kalau-kalau Cung Ce yang bekerja sama dengan para pendekar patriot akan terlalu besar kekuasaannya dan mengancam kedudukan kaisar sendiri. Maka, selain menolak usul Panglima Cung Ce, kaisarpun memerintahkan orang orangnya untuk mengawasi gerak-gerik panglima itu dengan penuh kecurigaan.
Melihat keadaan itu, Panglima C ung Ce menjadi penasaran, marah dan kecewa bukan main. Sakit sekali hatinya. Dia yang setia dan membela negara untuk mengusir penjajah, untuk merebut kembali Kerajaan Sung di utara yang di kuasai musuh, selain dilarang menyerang ke utara, juga malah diawasi dan dicurigai.
Sakit hati ini membuat panglima yang sudah berusia tujuhpuluh tahun itu jatuh sakit berat. Namun, semangatnya tidak pernah pudar. Menjelang kematiannya dia mengundang para pendekar patriot dan membujuk mereka agar melanjutkan perjuangan membasmi musuh Dia meni nggal dunia dengan hati mengandung penasaran sehi ngga matanyapun tidak dapat terpejam!.
Pada waktu itu terdapat seorang panglima lain yang gagah perkasa dan setia kepada negara, yaitu Gak Hui. Bersama seluruh putera-puterinya, panglima ini merupakan pejuang yang gigih dan sudah berulang kali memukul mundur pasukan Kin. Panglima Gak Hui berasal dari kota Tang-yin di propinsi Honan, dari keluarga petani biasa. Akan tetapi ibunya adalah seorang wanita yang bijaksana dan berji wa patriot sejati. Pernah ibu Gak Hui menuliskan kata-kata di punggung Gak Hui yang memerintahkan puteranya itu untuk berbakti kepada negara dan setia kepada Kaisar sampai mati! .
Panglima Gak Hui amat menci ntai tanah airnya dan setelah bangsa Yu-cen menguasai Kerajaan Sung utara, dia amat membenci musuh ini. Dia menghimpun pasukan yang sebagian besar terdiri dari pemuda-pemuda petani yang amat patuh kepadanya. Dalam keadaa n bagaimana pun, baik selagi kelaparan maupun kedinginan, tak seorangpun tentara berani mengganggu rakyat. Karena itu rakyat amat menyayang dan menghormati pasukan yang dipimpin Panglima Gak Hui dan di mana mana pasukan ini diterima dengan senang dan bangga oleh rakyat jelata.
Setelah beberapa kali memukul mundur pasukan Kin, Gak Hui membawa pasukannya maju terus ke utara dan bergabung dengan laskar rakyat di Tai-hang-san dan dengan para pasukan di Ho-pei.
Dalam tahun 1140, panglima besar Kerajaan Kin yang bernama Wu-cu memimpin pasukannya ke selatan. Akan tetapi di Shun-cang, propinsi An-hwi, pasukannya dihancurkan oleh pasukan Sung yang dipimpin oleh Jenderal Lui Chi. Juga jenderal Wu Lin menghantam pasukan Kin di Tu-feng propinsi Shen-si. Adapun Panglima Gak Hui sendiri menyerang dari Siang-yang propinsi Hu-peh. Panglima Gak Hui mengirim para patriot menyeberangi Sungai Kuning.
Mereka berhasil memorak-porandakan pertahanan musuh. Gak Hui mengejar sampai ke Yen-ceng propinsi Ho-nan. Selurun kekuatan para pejuang di utara bergabung dengan Gak Hui. Rakyat mendukung, menyumbangkan ransum dan pasukannya menjadi senakin besar karena banyak sukarelawan memasuki pasukan itu dan berjuang dengan semangat yang tinggi.