Tiong Li mengeluh sambil menangis tersedu-sedu. Sepuluh tahun lamanya dia hidup bersama kakek itu yang menjadi pengganti ayahnya, pengganti segala galanya baginya. Menjadi gurunya, orang tuanya, sahabatnya. Dan ki ni, tiba-tiba saja gurunya mati dan dimakan api! Padahal, baru saja tadi gurunya masih bercakap-cakap dengan dia.
Malam mulai tiba dan cuaca mulai gelap sehingga api yang membakar pondok itu membuat cuaca disekelilingnya menjadi terang benderang.
Tiba-tiba saja di belakang Tio ng Li terdengar orang tertawa bergelak, suara tawanya menembus keremangan malam itu bagaikan suara tawa iblis. "Ha-ha-ha, si hwesio tua dari Pek hong-san kok telah mendahului kita. Ha ha-ha sungguh beruntung, sungguh baik sekali nasibnya, ha-ha-ha!"
Tiong Li terkejut dan membalikkan tubuhnya, siap untuk bertandi ng mati-matia n. Akan tetapi yang dilihatnya bukanlah Si Golok Naga melainkan seorang kakek berpakaian jubah pendeta yang longgar. Kakek itu bertubuh pendek gendut seperti bola saja bentuknya dan dialah yang tertawa bergelak dan mengeluarkan ucapan tadi.
Di sampingnya berdiri seorang kakek lain yang juga berjubah longgar akan tetapi kakek ini tinggi kurus seperti tihang. Usia mereka sekitar enampuluh tahun. Kalau kakek pendek gendut itu masih tertawa terkekeh-kekeh seperti orang kesenangan, adalah kakek tinggi kurus memandang langit di mana sudah muncul bulan sepotong dan kakek kurus itu lalu bernyanyi ! Suaranya tinggi melengking sesuai dengan bentuk tubuhnya dan karena lehernya panjang, maka suaranya cukup merdu ketika dia bernyanyi.
"Sungguh membuat hati kita menjadi iri melihat keberuntungan hwesio tua ini betapa senangnya meni nggalkan segala kepalsuan untuk menikmati kebebasan! Habislah derita, lenyap sengsara bebas menuai hasil karma! Aiih, hwe-sio tua dari Pek-hong-san kenapa pergi meni nggalkan kami tanpa pesan ? "
Sehabis bernyanyi diapun ikut tertawa-tawa bersama si kakek gendut. Tiong Li menjadi marah dan hatinya dongkol sekali. Dia sedang menangis dan berkabung karena kematian suhunya, dua orang ini malah tertawa- tawa dan bersenang-senang! Akan tetapi karena nada bicara orang itu seperti orang-orang yang telah mengenal baik suhunya, dan siapa mereka tidak bermusuhan, diapun bersikap hormat dan melangkah maju menghadapi kedua orang yang masih tertawa-tawa itu sambil mengangkat kedua tangan depan dada memberi hormat.
"Maaf, ji wi lo-cian-pwe. Siapakah ji-wi yang datang tertawa-tawa selagi saya berduka dan berkabung karena kematian suhu?"
Si pendek gendut itu yang menjawab sambil menyeringai,
"Kami berdua adalah sahabat-sahabat baik si hwesio tua. Pinto (aku) disebut Tee Kui Lojin (Si Tua Setan Bumi) dan saudaraku ini Thian Kui Lojin (Si Tua Setan Langit). Karena sudah lama tidak berjumpa dengan Pek Hong San-ji n, malam ini kami datang berkunjung, siapa tahu dia seenaknya meninggalkan kami untuk bersenang-senang! Ha-ha-ha! Si Tua yang licik, meni nggalkan kami disarang kepalsuan dan kesengsaraan ini!"
Tiong Li mengerutkan alisnya.
"Maaf, lo-cian-pwe. Saya kira siapa ji-wi ini tidak sepantasnya. Saya sedang menangis, berduka dan berkabung, akan tetapi jiwi datang bersenang dan tertawa-tawa. Dan ji-wi masih mengaku sebagai sahabat- sahabat baik suhu!"
"Ha-ha ha-ha!" Tee Kui Lojin tertawa geli seolah ucapan pemuda itu terdengar lucu sekali. "Kami memang sahabat baik dan kami amat menghormati dan sayang kepada si hwesio tua."
"Lebih tidak masuk diakal lagi !" bantah Tio ng Li. "Kalau ji-wi menghormati dan sayang kepada suhu, mengapa tertawa melihat kematiannya?" "Ha-ha, anak muda. Justeru karena kami sayang kepada suhumu, maka kami bersenang-senang melihat dia meninggalkan dunia.."
"Tidak masuk akal!" bantah Tio ng li. "Bagaimana mungki n orang dapat bersenang-senang di tinggal mati orang yang disayangnya ? Saya menyayang suhu, dan ketika suhu meninggal saya merasa berduka sekali ! "
"Hemm, orang muda, engkau murid Pek Hong San- jin? Kenapa begini bodoh!"
Sekarang si jangkung Thian Kui Lojin berkata, mencela. "Kenapa pandanganmu masih sepicik itu? Sekarang aku hendak bertanya kepadamu, kalau engkau memang sayang kepada suhumu, mengapa setelah dia mati engkau tangisi dia. Mengapa?"
"Tentu seja, lo-cian-pwe, saya kehi langan suhu yang saya sayang dan mati. "
"Hemm, jadi engkau menangisi dirimu sendiri, ya? Engkau menangis karna merasa kasihan kepada dirimu sendiri yang ditinggalkan orang yang kau sayang ? Berarti engkau sama sekali tidak menangisi gurumu ! Dan pula, mengapa kematian ditangisi? Kita tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan suhumu, kenapa ditangisi? Yang jelas sekali, dia telah terbebas dari siksa hidup, dari penyakit, dari permusuhan, dari kepalsuan dan segala macam kemunafikan dunia.. Kenapa ditangisi
? "
Tiong Li terbelalak dan dia merasa malu kepada diri sendiri. Tentu saja suhunya pernah bicara tentang kematian ini, dan diapun kini manyadari båhwa dia tadi menangis karena duka mengingat akan keadaan dirinya sendiri,sama sekali--bukan menangisi gurunya!. Bagaimana dia dapat menangisi nasib gurunya kalau dia tidak tahu apa yang dialami gurunya setelah kematiannya?
"Saya menangisi suhu, menangisi kematia nnya yang amat menyedihkan. Diatewas karena dibunuh oleh dua orang jahat. Apakah hal itu tidak menyedihkan?" bantahnya untuk memberi alasan tangisnya tadi.
Api masih berkobar-kobar membakar pondok dan Jenazah yang berada di dalamnya.
Kini Tee Kui Lojin yang bicara "Ha ha, kau berduka karena permainan pikiran dan perasaanmu sendiri. Kematian itu sudah merupakan garis yang tidak dapat diuboh oleh siapaun juga. Kalau saat kematian sudah tiba, biar engkau bersembunyi dilubang semut, maut akan tetap datang menjemput. Sebaliknya kalau saat kematian belum mesti nya tiba, biar engkau diancam seribu ujung tombak, engkau akan tetap dapat mengelak. Kematian gurumu sudah garis, tidak dapat dielakkan lagi, seperti kematian yang datang pada setiap orang hidup di dunia ini . Adapun cara kematian itu yang merupakan penyebab kematian adalah buah karma. Roda karma pasti datang berputar dan pada saatnya akibat akan menyusul sebabnya. Usaha kita satu-satunya untuk menanam karma baik hanyalah dengan perbuatan baik yang tanpa pamrih."
"Perbuatan yang baik itu yang bagaimana, lo-cian- pwe?"
Tiong Li memanci ng karena dia tertarik sekali. Dari mendiang suhunya diapun sudah banyak mendapatkan wejangan tentang ini, akan tetapi cara mengungkapkan kedua orang kakek aneh ini agak berbeda walaupun intinya sama, maka dia ingin sekali mendengarnya. "Ha-ha-ha, engkau anak yang cerdik, pantas untuk mendengar penjelasan tentang itu agar kelak tidak akan tersesat. Perbuatan baik itu adalah perbuatan yang bermanfaat dan mendatangkan kesenangan bagi orang lain. Ada perbuatan baik yang dilakukan dengan sengaja dan berpamri h. Perbuatan baik" seperti ini buahnya sudah langsung diterima sesuai dengan pamrihnya. Kesenangan atau pujian yang didapatkan karena perbuatan baik itu sudah menjadi buah yang langsung dipetik dan dinikmatinya sehi ngga sudah lunas. Akan tetapi perbuatan baik kedua adalah perbuatan yang tidak disengaja, bahkan tidak diketahuinya bahwa itu perbuatan baik, melainkan perbuatan yang timbul dari hati yang penuh belas kasi h dan karena tidak disengaja atau diketahui bahwa perbuatan itu baik maka pelakunya tidak berpamrih dan tidak mengharapkan apapun. Nah, perbuatan seperti inilah yang masuk catatan karma dan mungki n buahnya diterima kemudian, cepat a tau lambat. Perbuatan-perbuatan yang timbul dari hati penuh belas kasih inilah yang memupuk karma baik. Mengertilah engkau, eh, siapa namamu, orang muda?"
"Terima kasih atas semua penjelasan itu, lo-cian-pwe. Nama saya adalah Tan Tio ng Li dan saya telah menjadi murid suhu semenjak saya berusia lima tahun, sudah sepuluh tahun ini."
"Bagus, engkau murid berbakat dan berbakti. Sekarang ceritakan, bagaimana Pek-hong Sanjin tewas dan oleh siapa dan kenapa?"
Karena maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang sakti sahabat suhunya, maka tanpa ragu lagi Tiong Ll lalu bercerita, diawali sejak dia berusia lima tahun.
"Ketika saya baru berusia lima tahun, saya bersama mendiang ayah saya pergi berburu binatang ke puncak Liong san. Tanpa sengaja kami berdua melihat empat orang tokoh-tokoh partai besar sedang bercakap-cakap tentang lenyapnya Mestika Golok Naga yang katanya dicuri orang dan pencurinya membunuhi para pengawal dengan menggunakan ilmu dari empat partai besar itu. Tiba-tiba muncul seorang raksasa hitam yang mengaku berjuluk Si Golok Naga, dan dia menggunakan sebatang golok membunuh empat orang tokoh besar itu."
"Siancai ....., kami sudah mendengar tentang terbunuhnya para tokoh Siauw-limpai, Hoansapai, Butong-pai dan Kunlunpai di Liong-san itu. Sampai sekarang tidak ada yang tahu siapa pembunuhnya. Siapa kira engkau tidak hanya mengetahui bahkan menjadi saksi!" kata Thian Kui Lo-jin yang jangkung.
"Lanjutkan ceritamu, Tio ng Li. Menarik sekali ceritamu," kata Tee Kui Lojin .
"Ayah lalu mengajak saya untuk melarikan diri. Akan tetapi Si Golok Naga agaknya mengetahui dan mengejar kami Ayah lalu menyuruh saya mendaki sebuah puncak lain dan ayah sendiri mengalihkan perhatian pengejar itu. Akhirnya ayah tersusul dan dibunuh oleh si Golok Naga, sedangkan saya ditolong oleh suhu Pek Hong San-jin, lalu diambil murid sampai hari ini. "
"Hemm, dan suhumu mati oleh Si Golok Naga itu pula
? terjadinya ?"
"Sore tadi suhu baru tiba dari perjalanannya sejak pagi dan selagi kami bicara, muncullah Si Golok Naga bersama seorang yang wajahnya sepert tengkorak hidup. Karena mereka menyatakan hendak membunuh suhu, saya lalu myerang Si Golok Naga, akan tetapi akhirnya dia merobohkan saya dengan sebuah pukulan beracun. Saya melihat suhu juga roboh dan saya memaksakan diri menghampiri suhu. Suhu meninggalkan pesan agar jenazahnya di bakar bersama pondok ini, dan suhu meni nggal dalam rangkulan saya. Kemudian saya roboh pingsan."