Dalam keadaan hilang akal tanpa pikir Tun-kau-kiam ditangannya terus disambitkannya kearah musuh.
Waktu To Hiat-koh lagi menubruk maju dengan bengisnya ketika mendadak dilihatnya sinar tajam menyambar untuk menghindar terang tak sempat lagi.
Tapi se- konyong2 rambutnya terus menjulur kedepan terus melibat pedang.
Walaupun kemudian ternyata rambutnya terkupas putus, tapi pedang itupun dapat ditariknya kesamping hingga melulu menyerempet bajunya tanpa melukai.
Habis itu kembali dengan sinar mata bengis, To Hiat-koh melototi Jun-yan sambil melangkah maju pula.
Kuatir dan bingung Jun-yan melihat sinar mata orang se-akan2 berapi itu.
Dalam keadaan takut, tiba2 tangannya menyentuh pecut berujung mulut bebek yang melibat dipinggangnya.
Tanpa pikir lagi terus dikeluarkannya dengan cepat, ia menunggu ketika To Hiat-koh sudah mendekat, sekonyong2 tarrr , pecutnya menyabet sekuatnya.
Tetapi To Hiat-koh bukan jago rendahan, serangan pecut hanya dipandang sebelah mata olehnya.
Hanya sekali lengan bajunya mengayun, tahu-tahu pecut itu sudah terlibat, menyusul sekali membetot, terpaksa Jun-yan melepaskan senjatanya itu.
Karena modal terakhir ikut ludes, Jun-yan pikir ajalnya sudah sampai, ia tinggal pejamkan mata menyerah pada nasib.
Tapi meski ia sudah menunggu sejenak, tangan musuh yang mematikan belum juga kunjung datang.
Waktu membuka matanya, ia melihat To Hiat-koh lagi tertegun sambil memegangi pedang dan pecut rampasannya dengan wajah rada sangsi.
Dari aliran mana kau? Siapa gurumu ? tanya To Hiat-koh tiba-tiba.
Manusia Aneh Dialas Pegunungan Karya dari Gan K.l Hati Jun-yan tergerak, kenapa orang mendadak tidak jadi mencelakainya, dan kini menanyai tentang asal-usulnya.
lapun tidak berani berolok-olok lagi terus menjawab.
Guruku adalah Jiau Pek-king berjuluk Thong-thian-sin-mo! Seharusnya kau mengetahui bahwa muridnya bukan seorang yang mudah dihina segala orang! Dan karena jawabannya itu, seketika Jun-yan terkejut sendiri.
Aneh, sebab sekarang suaranya sudah pulih keasalnya sebagai seorang gadis.
Nyata obat serak yang sudah pernah diminumnya sudah hilang kasiatnya, karena mengeluarkan tenaga untuk bertempur tadi.
Sebaliknya ketika mendadak To Hiat-koh mendengar seorang laki-laki berewok bersuara wanita, iapun tercengang, tapi yang membuatnya terkejut ialah suaranya Jun- yan itu mirip benar dengan suaranya orang yang selama ini dibencinya.
Kau......kau sebenarnya siapa ? tanya To Hiat-koh kemudian tak lancar.
Apa kau she Siang ? Kenapa aku mesti she Siang? sahut Jun-yan.
Mendadak To Hiat-koh bergelak tertawa sambil mendongak, begitu keras suaranya hingga lembah gunung itu seakan-akan terguncang, didalam sunyi kedengarannya menjadi lebih seram.
Habis itu setindak demi setindak ia mendekati Jun-yan lagi.
Dalam keadaan bahaya, tiba2 Jun-yan teringat pada si orang aneh itu, serunya .
Paman aneh, tolonglah lekas, ada orang hendak mencelakai aku! Benar juga, baru selesai kata2nya, secepat angin orang aneh itu sudah melesat tiba terus menghalang ditengah-tengah antara To Hiat-koh dan Jun-yan.
Lekas2 Hiat-koh berkata.
Engkoh yang baik, jangan kau dengar kata2nya, dialah musuhmu dia yang telah melukai kau! Selesai berkata, sebelah tangan terus meraup kedepan melalui samping tubuh orang aneh itu.
Namun sebelum serangannya mengenai Jun yan, tahu tahu kedua tangan orang aneh itu sudah disodok kedepan dadanya.
Dalam keadaan terbuka, To Hiat-koh tidak sempat menarik tangannya buat menangkis tiba-tiba dia menghela napas dengan wajah muram pedih.
Maka tanpa ampun lagi, bluk-bluk dua kali, dengan tepat dadanya kena hantaman kuat si orang aneh, To Hiat-koh terhuyung-huyung ke belakang, katanya dengan suara sedih.
Ohh, engkoh yang baik sudah sekian lamanya ternyata kau masih serupa dahulu.
Baiklah kau menghajarku tidak sekali-kali aku membalas! Habis berkata, darah segar menyembur dari mulutnya.
Sebenarnya wajah To Hiat-koh cantik bercahaya, tapi kini seakan-akan diliputi selapis awan mendung, mukanya pucat, matanya sayu tanpa semangat.
Karena hantaman si orang aneh tadi tidak kepalang hebatnya, yaitu menyerupai ilmu pukulan geledek andalan Ngo-tai-pay yang dimiliki Thi-thauto, bahkan tenaga pukulan jauh lebih keras.
Walaupun seketika To Hiat-koh tidak lantas binasa, tapi sudah terluka dalam sangat parah.
Sejenak kemudian, robohlah dia terkulai.
Melihat To Hiat-koh begitu mendalam cintanya terhadap si orang aneh, Jun-yan malah menjadi terharu, segera katanya .
Sudahlah, paman aneh, dia sudah terluka, jangan kau menghajarnya lagi.
Marilah kita sekarang pergi ke Ciok yong-hong saja ! Lalu tangan si orang aneh ditariknya.
Tapi segera Jun-yan merasa tindakannya sendiri enteng limbung, lemas tak bertenaga, ternyata pukulan To Hiat-koh tadi tidak mengenai tubuhnya, namun angin pukulannya berbisa wanita iblis itu telah mempengaruhi juga jalan pernapasannya, untuk sesaat itu ia terpaksa berhenti buat himpun tenaga dalam.
Tiba2 teringat olehnya bahwa To Hiat-koh itu ternyata kenal si orang aneh ini, pada detik sebelum penghabisannya, kenapa tak mencari keterangan padanya ? Segera Jun- yan berjongkok mendekati tubuh To Hiat-koh yang menggeletak tengkurap itu.
Li-giam- ong, siapakah gerangan paman aneh itu sebenarnya ? Kenapa berubah begitu rupa ? Maukah kau memberitahukan padaku ? Tiba2 To Hiat-koh paksakan diri memalingkan kepalanya kearah Jun-yan, wajahnya guram, matanya gelap, dengan tak lancar ia berkata .
Kau ....
sebenarnya siapa ? Aku bernama Lou Jun-yan, wanita menyamar sebagai lelaki, guruku memang Tong- thian-sin-mo Jiau Pek-king ! Kau memang tidak she Siang ? Ti ...tidak berdusta ? Dan siapa ibumu ? Aku she Lou, sahut Jun-yan heran.
Siapa ibuku, entahlah, aku tidak kenal.
Tapi siapakah paman aneh itu ? Tiba2 mata To Hiat-koh yang guram itu, menyorotkan cahaya yang aneh, bibirnya bergerak sedikit seperti ingin berkata apa2, tapi terus berdiam lagi sambil menunduk.
Li-giam-ong, apa yang hendak kau katakan, lekaslah ! seru Jun-yan.
Dia tak menjawab pertanyaanmu lagi nona Lou, dia sudah mati.
tiba-tiba suara seorang laki-laki menegur dari samping.
Tidak, tidak, dia masih hendak mengatakan sesuatu ! seru Jun-yan.
Tapi lantas teringat olehnya bahwa dilembah itu kecuali dia dan To Hiat-koh serta si orang aneh, tiada orang lain lagi.
Kenapa sekarang bisa muncul suara orang.
Waktu ia menoleh, ternyata dibelakangnya sudah berdiri seorang tinggi besar, berdandan sebagai sastrawan, yang aneh tangan dan kaki sastrawan ini jauh lebih panjang daripada orang biasa.
Ah, siapa dia kalau bukan sastrawan yang pernah menggodanya ditelaga Se-oh serta yang selalu dirindukannya itu.
Sedang manusia aneh itu sudah menghilang entah pergi kemana.
Kau...
kau...
berulang-ulang Jun-yan hanya sanggup mengucapkan sepatah kata itu saja, sampai lama baru dia dapat menyambung pula.
Siapakah kau yang sebenarnya ? Caihe she Wi bernama Ko, sahut orang itu.
Pantas surat yang ditinggalkan dirumah itu tidak ditanda tangani, melainkan tertulis beberapa batang rumput (Wi) serta seekor burung belibis tunggal (Ko), demikian Jun- yan diam-diam membatin.
Tiba-tiba teringat pula apa yang pernah terlukis dalam suratnya itu tentang Leng tulen, tapi Kiam tiruan, teka-teki itu sampai sekarang masih belum dipahaminya.
Maka cepat ia menanya pula.
Wi...
ah, cara bagaimana aku harus memanggil kau ? Terserah, asal kau tidak memaki aku sebagai babi, bolehlah, sahut Wi Ko menyerahkan.
Rupanya diapun ingat Jun-yan pernah menganggap tidurnya diperahu seperti babi mati, maka sekarang sengaja mengungkatnya.
Maka tersenyumlah sekarang saling pandang.
Wi-toako, kata Jun-yan kemudian.
Leng tulen, Kiam tiruan.
Sebenarnya apa artinya? He, kenapa kau tidak mengetahuinya ? ujar Wi Ko terheran-heran.
Aku benar-benar tidak paham, kata Jun-yan.
Tentang apakah ? Aneh ! Lalu dari manakah kau memperoleh Ang-leng (sutera merah) itu? tanya Wi Ko.
Mendengar lagu pertanyaan orang itu sangat serius, seperti sutera merah itu mempunyai urusan yang maha penting, maka berceritalah Jun-yan mengenai pengalaman merebut Seng-co ke gua suku Biau dahulu dan menemukan kain sutera merah itu dalam gua.
Ternyata itu membikin Wi Ko bersuara heran juga.
Aneh, sungguh aneh! katanya berulang-ulang.
Aneh, tentang apakah ? tanya Jun-yan tak mengerti.
Tapi Wi Ko tidak menjawabnya lagi, sebaliknya berkata .
Nona Lou, urusan ini biarlah kita bicarakan kelak.
Sekarang marilah kita pergi ke Ciok-yong-hong dahulu.
Mungkin hari ini akan kedatangan iblis raksasa, jangan kita terlambat keramaian itu.
Biasanya Jun-yan sangat suka menuruti wataknya sendiri, tapi kini, menghadapi sisastrawan ini, ia menjadi penurut sekali.
Segera ia terima ajakan itu.
Tapi, nona Lou, apakah aku tetap panggil kau nona Lou, atau sebut Kah-laute ? tanya Wi Ko dengan tertawa.
Emangnya dengan pakaianku ini, apakah kau kira sesuai menyebutku nona segala ? ujar Jun-yan dengan geli.
Apalagi aku sengaja hendak bergurau dengan suhuku, biar dia tercengang nanti bila sudah mengenali aku.
Begitulah sambil bicara, mereka terus meninggalkan lembah kematian itu untuk kembali ke Ciok-yong-hong.
Wi-toako, sebenarnya siapakah gurumu ? Sungguh hebat sekali ilmu silatmu, ujar Jun-yan ditengah jalan.
Tapi Wi Ko hanya tersenyum sambil menggeleng, katanya.
Guruku tidak perbolehkan aku menyebutkan nama mereka pada orang lain.
Semalam aku malah disangka muridnya Tok-poh-kin-gun Ki Go-thian.
Eh, kiranya gurumu tidak hanya satu saja tapi lebih dari seorang? Lantas ada berapa orang, tentunya dapat kau katakan bukan ? ujar Jun-yan.
Nyata gadis ini sangat teliti kata-kata mereka diwaktu Wi Ko menyebutkan gurunya telah dapat ditangkapnya dengan baik.