Suling Emas Chapter 82

NIC

"Liu Lu Sian, kau cukup tahu laki-laki macam apa aku ini! Aku pasti akan memenuhi janji-janjiku. Aku cinta kepadamu. Sampai detik ini pun aku masih cinta kepadamu, terkutuk! Akan tetapi kau adalah isteri Kam SI Ek, seorang pahlawan yang kuhormati. Aku telah berjina denganmu, ini saja sudah merupakan perbuatanku yang biadab, yang cukup membuat aku bisa mati karena malu. Akan tetapi engkau... hemm, Lu Sian, bagaimanakah Thian memberkahimu dengan wajah secantik itu dan tubuh seindah itu akan tetapi dengan hati serendah ini? Bagaimanakah kau seorang isteri dari seorang pahlawan terhormat bisa meninggalkan suami dengan bermain gila dengan laki-laki lain hanya untuk mencuri gin-kang? Kau manusia rendah, wanita tak tahu malu, biarpun aku cinta kepadamu, namun aku pun muak akan tingkah lakumu. Sudahlah, aku pergi sekarang, aku akan menikah dengan gadis kampung agar tidak dapat terjerat lagi oleh siluman betina macam engkau!"

Tan Hui meloncat jauh kedepan. Terdengar pekik kemarahan dan tangan kiri Lu Sian bergerak. Sinar merah menyambar kearah Tan Hui, disusul bentakannya,

"Tan Hui, kau terlalu menghinaku!"

Mendengar sambaran angin dari belakang, Tan Hui cepat mengelak dan tangannya menyambar. Ia berhasil menangkap sebatang diantara jarum-jarum yang tadi menyambarnya. Melihat jarum merah ditangannya itu. Tan Hui tertegun, kemudian kemarahannya memuncak. Ia tidak jadi lari pergi, malah kini ia kembali dan memaki-maki.

"Sungguh perempuan tak tahu malu! Jadi ketika kau terluka dahulu itu, hanyalah akalmu saja untuk merayu aku dan menyeret aku kedalam jurang perjinaan, ya? Yang melukai punggungmu adalah jarum-jarum merahmu sendiri!"

Lu Sian tersenyum mengejek.

"Apa salahnya seorang wanita mempergunakan segala macam akal untuk memperoleh cinta? Tan Hui, sejak semula bertemu denganmu, aku sudah kagum dan hal ini menimbulkan rasa cinta. Akan tetapi kiranya kau hanya seorang laki-laki pengecut, berani berbuat takut bertanggung jawab, melawan suara hati dan perasaan sendiri. Huh, muak perutku melihatmu!"

"Dan aku... aku benci kepadamu! Kau perempuan lacur... kau..."

Saking marahnya Tan Hui tak dapat melanjutkan kata-katanya, melainkan mencabut pedangnya.

Lu Sian juga sudah mencabut pedangnya dan tanpa berkata-kata lagi, kedua orang muda yang semalam masih saling peluk cium dengan kasih sayang yang semesra-mesranya, kini bertanding pedang dengan hebat dan mati-matian karena hati dipenuhi kemarahan sehingga setiap serangan merupakan tangan maut yang mencari korban. Julukan Tan Hui adalah Pendekar Pedang Terbang, tentu saja ilmu pedangnya lihai sekali, akan tetapi sesungguhnya, yang membuat ilmu pedangnya menjadi lihai itu adalah karena ia memiliki ilmu gin-kang yang hebat. Ilmu meringankan tubuh ini membuat ia dapat bergerak cepat bukan main sehingga ilmu pedangnya tentu saja menjadi amat berbahaya karena cepatnya. Biarpun ilmu pedangnya masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan ilmu pedang Liu Lu Sian yang diwarisi dari ayahnya, pada dasarnya kalah tinggi, namun andaikata Lu Sian belum mempelajari gin-kang istimewa itu, agaknya Tan Hui akan dapat mengimbanginya dengan kecepatan.

Namun, kini Lu Sian telah memiliki gin-kang Coan-in-hui (Terbang Terjang Awan) yang dipelajari dan dilatih secara tekun dari Tan Hui sehingga biarpun dibandingkan dengan Tan Hui gin-kangnya masih kalah sedikit karena membuat ilmu pedangnya Pat-mo Kiam-hoat ciptaan ayahnya menjadi beberapa kali lipat dahsyatnya. Lu Sian adalah seorang wanita yang berwatak keras dan aneh. Memang tidak dapat disangkal pula bahwa semenjak meninggalkan suaminya, Kam Si Ek, belum pernah ia jatuh cinta lagi kecuali kepada Tan Hui. Ia mencinta Tan Hui dan agaknya akan bersedia menjadi isteri duda pendekar ini kalau saja tidak terjadi perselisihan dipagi hari itu. Karena ia berwatak keras, begitu Tan Hui memperlihatkan sikap membenci dan menghina, maka ia pun memaksa perasaannya untuk balas membenci, dan menganggap Tan Hui seorang musuh yang harus dibasmi.

Pertandingan berlangsung makin hebat dan seru. Berdentingan pedang mereka saling beradu, diseling bersiutnya pedang menyambar membelah angin ketika dielakkan lawan. Setelah berjalan seratus jurus mulailah Tan Hui terdesak. Ilmu pedang yang dimainkan Lu Sian amat aneh dan banyak mengandung gerakan-gerakan yang curang. Disamping kalah tinggi ilmu pedangnya, juga didalam hatinya, Tan Hui tidaklah sebulat Lu Sian untuk membunuh lawan. Tan Hui marah hanya terdorong kekecewaan setelah mendengar bahwa kekasihnya yang benar-benar amat dicintanya itu adalah isteri orang! Ia menentang Lu Sian terdorong kemarahan karena kecewa inilah, maka setelah bertanding agak lama, mulai ia merasa menyesal dan tidak menyerang secara sungguh-sungguh. Berbeda dengan Lu Sian yang makin lama makin bersemangat. Melihat betapa lawannya mulai terdesak, ia berseru keras dan berubahlah pedangnya menjadi segulungan sinar yang amat hebat.

Angin menderu-deru keluar dari sinar ini yang tadinya bergulung-gulung, tapi makin lama makin cepat membentuk lingkaran-lingkaran secara cepat sekali mengurung tubuh Tan Hui. Inilah Toa-hong Kiam-sut yang dimainkan oleh Lu Sian. Ilmu pedang yang dimilikinya, biasanya sudah hebat sekali apalagi sekarang setelah gin-kangnya maju pesat. Maka cepatlah gerakannya dan makin hebat hawa pukulan yang keluar dari gerakan senjata itu. Tan Hui yang sudah terdesak hebat itu berseru keras saking kagumnya menyaksikan ilmu pedang yang demikian dahsyatnya. Cepat ia mempertahankan diri, namun kecepatan pedangnya tidak cukup untuk membendung datangnya lingkaran-lingkaran yang bergelombang seperti ombak badai ini. Baru saja pedangnya berdenting karena bertemu dengan pedang Lu Sian, pedang wanita itu sudah menyelinap dengan kecepatan yang tak dapat disangka-sangka, tahu-tahu sudah memasuki perut Hui-kiam-eng Tan Hui!

"Cepppp!"

Hanya sedetik terjadinya hal ini Lu Sian sendiri merasa kaget, cepat-cepat mencabut pedang dan meloncat mundur sejauh empat lima meter, lalu berdiri tegak dengan mata terbelalak memandang bekas kekasihnya yang kini menjadi musuhnya itu. Tan Hui masih berdiri tegak, tangan kanan memegang pedang, tangan kiri menutup luka diperutnya sambil menekan keras-keras namun tetap saja darahnya menetes-netes melalui celah-celah jari tangannya. Mukanya pucat, akan tetapi bibirnya tersenyum pahit.

"Tidak penasaran Hui-kiam-eng roboh ditangan puteri Beng-kauwcu, karena memang kiam-hoatmu hebat luar biasa. Akan tetapi sebagai bekas kekasihku, biarlah kunasehatkan kepadamu bahwa kalau kau melanjutkan kesukaanmu menggoda dan menghancurkan hati laki-laki, hidupmu kelak akan terkutuk, kau akan banyak dimusuhi orang. Sian-moi, kenapa kau tidak kembali saja kepada suamimu sehingga hidupmu kelak akan terjamin...?"

"Cerewet! Kau tak berhak mencampuri urusan hidupku. Kau sudah terluka, aku memberi kesempatan kepadamu untuk pergi mengingat akan perkenalan kita yang lalu!"

Senyum dimulut Tan Hui berubah makin pahit.

"Seorang pendekar tidak akan lari daripada maut. Lukaku memang hebat, tak terobati, akan tetapi aku masih berdiri tegak, pedangku masih ditangan. Siapa bilang aku kalah? Baru kalah kalau pedang ini sudah terlepas dari tangan dan kedua kaki ini sudah tak dapat berdiri. Lihat serangan!"

Tan Hui menerjang maju lagi dengan dahsyat, sambil menekan perut dengan tangan kiri. Karena gerakannya dalam menyerang ini mempergunakan tenaga, maka menyemprotlah darah dari luka yang ditutupnya dengan tangan. Lu Sian cepat mengelak sambil memutar pedangnya. Tadi saja selagi masih belum terluka, Tan Hui tidak mampu menandingi ilmu pedangnya, apalagi sekarang setelah pendekar itu terluka parah. Tiga kali berturut-turut ujung pedang Lu Sian mengenai dada dan leher dan sekali ini Tan Hui terjungkal roboh bergulingan lalu diam telentang, tubuhnya mandi darah, akan tetapi tangan kanan masih memegang pedang dan mulutnya tetap tersenyum! Melihat keadaan bekas kekasihnya ini, Lu Sian menarik napas panjang menyimpan pedangnya.

"Salahmu sendiri, Tan Hui. Kau yang mencari mati..."

Tan Hui menggigit bibirnya menahan sakit, napasnya terengah-engah, kemudian terdengar ia lirih berkata,

"Seharusnya aku membencimu... Sian-moi..., tapi... tak mungkin. Aku sudah jatuh... aku terlalu mencintamu. Sian-moi, hanya pesanku... jangan kau turunkan gin-kang kepada orang lain... dan kalau kelak anakku... mencarimu untuk membalas.... Jangan kau layani dia... harap kau ampunkan dia..."

Makin lirih suara Tan Hui akhirnya hanya terdengar bisik-bisik yang tak dapat dimengerti, kemudian ia diam tak bergerak lagi. Sejenak Lu Sian berdiri tegak tak bergerak. Ia menekan rasa haru yang hendak mencekam hatinya. Ia seorang yang berwatak keras, tak mau ia dipengaruhi rasa kasihan. Kemudian ia berlutut didekat mayat Tan Hui. Setelah mati wajah Tan Hui tampak tenang dan tampan sekali. Teringatlah Lu Sian akan malam-malam bahagia bersama pendekar ini. Ia membungkuk dan mencium muka Tan Hui sambil berbisik lirih.

"Akan kupenuhi pesanmu, Koko, tenanglah!"

"Celaka ia membunuh Tan-taihiap!"

Terdengar suara "sing-sing"

Dicabutnya golok dan pedang. Perlahan Lu Sian bangkit berdiri, ujung matanya menyapu sembilan orang piauwsu yang sudah mengurungnya, sinar matanya berkilat-kilat, bibirnya yang merah tersenyum mengejek dan ujung hidungnya agak berkembang kempis. Alamat celakalah mereka yang berhadapan dengan Lu Sian kalau dia sudah seperti itu, karena itu adalah tanda-tanda daripada kemarahan yang meluap-luap. Tadi Tan Hui mengenalnya oleh keterangan para piauwsu, sehingga secara tidak langsung, para piauwsu inilah yang merusak kebahagiaannya dengan Tan Hui!

"Kalian piauwsu-piauwsu jahanam inilah yang menceritakan kepada Tan Hui siapa adanya aku?"

Suaranya terdengar satu-satu perlahan dan jelas, diucapkan dengan mulut setengah tersenyum. Seorang piauwsu muda menudingkan telunjuknya dan memaki.

"Kau siluman betina! Kau puteri Beng-kauwcu dan sudah menjadi isteri Jenderal Kam, akan tetapi kau membunuh Tan-taihiap... ah, perempuan keji, kau...!"

"Syiuuutt, cring... crokkk!"

Piauwsu muda itu sia-sia menangkis ketika sinar berkilauan menyambar kearahnya. Goloknya yang menangkis patah menjadi dua disusul lehernya yang terbacok sampai putus sama sekali dan kepalanya terpental jauh, tubuhnya yang tak berkepala lagi roboh dan menyemprotkan darah seperti air mancur!

Ributlah delapan orang piauwsu yang lain dan cepat mereka itu menerjang dari segala penjuru. Namun Lu Sian sudah siap sedia, dan sudah tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Pedang Toa-hong-kiam ditangannya berkelebat laksana naga mengamuk. Kini gin-kangnya sudah maju pesat sekali sehingga gerakannya sukar diikuti pandangan mata para piauwsu itu. Sungguhpun delapan orang itu menerjang berbareng, namun mereka masih kalah cepat oleh Lu Sian yang seakan-akan dapat melejit dan menyelinap diantara sinar golok dan pedang para pengeroyok, kemudian dengan kecepatan yang luar biasa sekali pedang Toa-hong-kiam di tangannya merobohkan mereka seorang demi seorang! Hanya terdengar bunyi senjata berdencingan diseling bunyi pedang golok menyambar bersiutan, kemudian yang terakhir disusul pekik kesakitan dan robohlah seorang pengeroyok, disusul orang ke dua ke tiga dan seterusnya dengan tangan buntung, perut robek, atau muka terbelah dua.

Darah muncrat-muncrat dan tubuh bergelimpangan. Tidak sampai seperempat jam lamanya, sembilan orang piauwsu telah roboh mandi darah disekeliling mayat Tan Hui! Ada diantara mereka yang tidak tewas, akan tetapi mereka ini tentu akan menjadi orang cacat karena sebelah tangannya atau sebelah kakinya buntung! Sambil tersenyum mengejek Lu Sian membersihkan pedangnya, menyarungkannya kembali lalu pergi dari situ tanpa menengok lagi. Hanya beberapa loncatan saja dan ia sudah lenyap dari situ. Setelah Lu Sian pergi, barulah penduduk dusun itu geger, berlarian keluar dari rumah dengan muka pucat. Dihalaman pondok yang tadinya dijadikan sarang asmara sepasang orang muda itu, di mana setiap hari orang-orang dusun melihat mereka berkasih-kasihan, kini penuh dengan tubuh bergelimpangan, ada yang sudah mati, ada yang terluka parah, dan kesemuanya mandi darah! Ngeri sekali pemandangan itu, akan tetapi karena tidak ada pertempuran lagi, orang-orang dusun mulai turun tangan menolong mereka sedapatnya.

Semenjak peristiwa ini, mulailah nama Liu Lu Sian dikenal sebagai seorang wanita yang selain cantik jelita dan mudah menggoncangkan batin dan membobolkan pertahanan hati para pria, juga amat ganas dan kejam menghadapi mereka yang ia anggap musuh. Pendeknya, bagi seorang pria yang disuka oleh Lu Sian, wanita ini tentu akan menjadi seorang dewi khayangan yang penuh dengan madu, mesra dan menggairahkan. Sebaliknya bagi pria yang dibencinya, Lu Sian, tentu akan berubah menjadi iblis betina yang haus darah. Para piauwsu yang tidak mati, tentu saja merupakan pemberita yang aktif tentang diri Lu Sian sehingga sebentar saja Lu Sian dijuluki Tok-siauw-kwi (Setan Kecil Beracun)!

Seorang anak kecil berusia sembilan tahun pergi dari rumah memasuki dunia luar yang tak pernah dikenalnya, tanpa sanak kadang, tanpa tujuan, sudah tentu merupakan hal yang amat sengsara. Sembilan daripada sepuluh orang anak kecil tentu akan menangis dan minta diantar pulang oleh siapa saja yang dijumpainya kalau ia sudah kehabisan bekal dan tidak tahu harus makan apa dan minta tolong kepada siapa. Akan tetapi, Bu Song biarpun berusia sembilan tahun, namun ia bukan anak sembarangan. Semenjak berusia lima tahun ia sudah diajar membaca dan menulis. Setiap hari ia dijejali kitab-kitab dan pada masa itu, yang disebut kitab pelajaran hanyalah kitab-kitab filsafat, kitab-kitab sajak dan agama yang isinya berat-berat, segalanya ada hubungannya dengan kebatinan. Sekecil itu, Bu Song sudah mempunyai pemandangan yang luas, sudah dapat mempergunakan kebijakan dan dapat menangkap suara batin.

Ia adalah putera Jenderal Kam Si Ek, seorang pahlawan yang patriotik, yang berdisiplin dan berbudi. Ibunya adalah seorang yang memiliki watak aneh dan keras membaja. Agaknya Bu Song mewarisi watak ibunya ini, maka hatinya keras, kemauannya besar dan kenekatannya bulat. Sekali ia mengambil keputusan, akan diterjangnya terus tanpa takut apa pun juga. Kekerasan hati inilah yang banyak menolongnya dalam perantauan yang tiada tujuan ini, kekerasan hati yang takkan dapat dilemahkan oleh ancaman maut sekalipun. Kemudian kebijaksanaan dan disiplin diri yang ia warisi dari ayahnya membuat ia dapat saja mencari jalan hidup. Bekalnya tidak banyak, namun sebelum habis sama sekali, ia sudah mempergunakan tenaganya untuk memenuhi kebutuhan perutnya. Ia tidak malu-malu untuk minta pekerjaan betapa kasar pun disetiap dusun, sekedar minta upah sebagai pengisi perutnya. Memotong kayu, menjaga sawah, mengembala kerbau, menggiling tahu, menuai gandum, bahkan mengangkut batu kali, apa saja akan dikerjakannya.

Posting Komentar