"Saudara wakil dari Pat-kwa-pai, ka-lau kami boleh bertanya, apakah hubung-anmu dengan Thian Ho Sianjin?" Suara Siangkoan Kok halus dan ramah, juga sopan seperti cara bicara seorang yang terpelajar tinggi.
Diam-diam utusan Pat-kwa-pai itu terkejut.
Sikap ketua Pao-beng-pai ini seolah-olah telah mengenal baik ketua-nya, yaitu Thian Ho Sianjin! Ketua Pat--kwa-pai itu adalah gurunya, dan dia me-rupakan murid pertama.
Dia mewakili gurunya datang bersama tiga orang sute-nya dan mereka berempat merupakan tokoh-tokoh Pat-kwa-pai yang kuat.
"Kami yang menjadi utusan adalah murid-murid suhu yang menjadi ketua Pat-kwa-pai," katanya.
"Ah, kiranya murid-murid Thian Ho Sianjin.
"Sobat, kalian kami undang ke sini untuk persahabatan dan kerja sama, bukan untuk saling bertanding." ucapan itu seperti teguran.
"Akan tetapi, Pangcu, kami harus mendapat bahan untuk laporan kepada ketua kami tentang Pao-beng-pai." ban-tah tokoh Pat-kwa-pai itu.
Siangkoan Kok tersenyum.
"Baiklah, kalau begitu mari kita latihan sebentar.
Berapa orang dari Pat-kwa-pai yang da-tang?" "Kami datang berempat." "Silakan yang tiga orang lagi ke sini ikut latihan." Mendengar ini, tokoh Pat-kwa-pai itu menggapai ke arah tiga orang sutenya.
Lebih kuat keadaan mereka lebih baik, pikirnya.
Tiga orang murid Pat-kwa-pai itu bangkit dan nampak tubuh mereka melayang ke sudut itu.
Gerakan mereka ringan, dan ketika sudah berdiri di situ, nampak betapa tiga orang ini pun ber-tubuh tegap dan nampak kokoh kuat.
"Bagus, Thian Ho Sianjin memiliki murid-murid yang gagah.
Nah, sekarang kalian berempat boleh menyerangku se-kuat kalian.
Aku tidak akan mengelak, tidak akan membalas pula, hanya me-nangkis saja.
Kalau dalam dua puluh jurus kalian dapat memukulku, berarti aku kalah." Empat orang itu tercengang, juga semua tamu terbelalak.
Orang itu ter-lalu sombong! Semua orang mengetahui betapa lihainya orang-orang Pat-kwa--pai, apalagi empat orang itu adalah mu-rid-murid ketua Pat-kwa-pai.
Kepandaian mereka tentu sudah tinggi.
Tidak akan mengherankan kalau ketua Pao-beng-pai ini lebih lihai dari mereka, akan tetapi menghadapi pengeroyokan mereka selama dua puluh jurus tanpa mengelak dan tan-pa membalas, hanya menangkis saja" Ketua Pao-beng-pai itu tentu akan ce-laka oleh kesombongannya sendiri.
"Baik, kami setuju!" kata si gendut dengan penuh semangat.
Guru mereka sendiri belum tentu akan dapat bertahan, apalagi orang sombong ini, pikirnya.
"Nah, mulailah, aku sudah siap." Kata Siangkoan Kok dengan sikap tenang se-kali.
Empat orang murid Pat-kwa-pai itu sudah memasang kuda-kuda dan meng-himpun tenaga sakti, akan tetapi Siang-koan Kok masih tenang saja, berdiri seenaknya, bahkan melirik pun tidak ketika seorang di antara empat orang lawan itu melangkah ke belakangnya.
Kini, dia dikepung empat orang yang mengambil kedudukan di depan, belakang, kanan dan kirinya.
"Pangcu, jaga serangan kami!" seru si gendut yang berada di depan dan dia mulai menyerang dengan pukulan yang kuat sekali dari depan, ke arah dada lawan.
Bertubi-tubi tiga orang penge-royok lain juga mengirim pukulan dan rata-rata pukulan mereka itu kuat sekali, mendatangkan angin pukulan yang mem-buat baju Siangkoan Kok berkibar.
Ketua Pao-bengpai ini, sesuai dengan janjinya, tidak mengelak, akan tetapi kedua ta-ngannya bergerak cepat menangkisi pu-kulan-pukulan itu sambil memutar tubuh-nya.
"Duk-duk-duk-plakkk!" Empat orang itu terpental ke bela-kang! Mereka terkejut dan maklum bah-wa ketua Paobeng-pai ini memiliki te-naga sin-kang yang hebat.
Pantas saja berani menghadapi mereka tanpa meng-elak hanya mengandalkan tangkisan.
Akan tetapi karena mereka tidak khawatir kalau dibalas seperti telah dijanjikan, mereka pun memperhebat serangan me-reka, menghantam atau menendang ber-tubi-tubi sambil mengerahkan seluruh tenaga mereka.
Bahkan mereka mengerah-kan tenaga yang mengandung hawa be-racun! Namun, Siangkoan Kok dapat me-nangkis semua pukulan itu dan agaknya sama sekali tidak terpengaruh oleh hawa beracun yang terkandung dalam tangan mereka dan setiap kali tertangkis, tentu si pemukul sendiri yang terpental dan lengan mereka terasa nyeri bukan main.
Sepuluh jurus telah lewat dan mereka belum juga dapat menyentuh tubuh Siang-koan Kok, apalagi memukul.
Padahal, ketua Pao-beng-pai itu tidak pernah mengelak! Si gendut memberi isyarat kepada tiga orang sutenya untuk mem-percepat serangan.
Dia hanya mempunyai dua buah tangan, kalau diserang secara cepat oleh empat orang, tidak akan da-pat menangkis lagi dan terpaksa harus mengelak.
Sekali saja mengelak berarti dia melanggar janji dan dapat dianggap kalah! Akan tetapi, sebelum isyarat ini di-laksanakan, tiba-tiba Siangkoan Kok me-ngeluarkan seruan nyaring dan tubuhnya berputar seperti gasing! Sukar bagi em-pat orang itu untuk mengetahui keduduk-an badan lawan, karena tubuh itu ber-putar cepat dan kedua tangannya men-jadi banyak sekali.
Mereka masih men-coba untuk memukul tubuh yang berputar itu, akan tetapi setiap kali pukulan me-reka bertemu dengan tangkisan lawan yang membuat mereka terpelanting.
Kini kedua lengan mereka sudah bengkak-beng-kak karena berkali-kali bertemu dengan lengan Siangkoan Kok dan si gendut mem-beri isyarat kepada tiga orang sutenya untuk memasang kuda-ruda dan berdiam diri tidak menyerang lagi.
Melihat ini, Siangkoan Kok menghentikan putaran tubuhnya dan begitu dia berhenti, empat orang itu menyerang pada detik yang sama! Inilah siasat terakhir para murid Pat-kwa-pai itu untuk mengalahkan la-wan.
Tak mungkin dua lengan lawan itu dapat menangkis empat pukulan dari depan dan belakang dengan berbareng pada saat yang sama! Tiba-tiba Siangkoan Kok meloncat ke atas, dan di udara tubuhnya merentang, kedua tangan menangkis ke depan dan kedua kaki menangkis ke belakang.
Dan sekali ini, tenaganya sedemikian besar dan kuatnya sehingga empat murid Pat--kwa-pai itu terjengkang dan roboh! Tentu saja semua tamu kagum bukan main, bahkan beberapa orang bertepuk tangan memuji, memancing yang lain untuk bertepuk tangan pula.
Empat orang tokoh Pat-kwa-pai itu bangkit, mengebut--ngebutkan pakaian yang terkena debu sambil mengerang kesakitan karena ke-dua lengan mereka biru-biru dan bengkak--bengkak, lalu dipimpin oleh si gendut, mereka memberi hormat.
"Kami mengakui kelihaian Pangcu dan kami mempunyai bahan untuk mencerita-kan kepada para pimpinan Pat-kwa-pai," kata si gendut.
"Sampaikan salamku kepada Thian Ho Sianjin." kata ketua Pao-beng-pai itu dan dengan tenang dia duduk kembali ke tempatnya semula, tidak nampak sedikit pun keringat pada wajah dan lehernya.
"Siancai...., tenaga sin-kang Pangcu dari Pao-beng-pai memang hebat sekali.
Kami semua merasa kagum!" Tiba-tiba suara itu diikuti berkelebatnya sesosok bayangan orang ke sudut ruangan di ma-na pertandingan tadi berlangsung.
Semua orang memandang dan dia adalah seorang pria berpakaian pendeta dengan jubah panjang.
Usianya sudah enam puluh em-pat tahun, tubuhnya pendek kurus namun masih nampak segar seperti tubuh kanak-kanak, akan tetapi mukanya keriputan dan kelihatan sudah tua sekali.
Di pung-gungnya tergantung sebatang pedang yang kelihatan terlalu panjang karena tubuhnya yang pendek kecil.
Melihat pria itu, gadis berpakaian putih segera berkata, "To-tiang (Pak Pendeta) tentu wakil dari Pek-lian-pai.
Apa kehendak To-tiang?" "Siancai....! Seperti juga saudara dari Pat-kwa-pai, kami dari Pek-lian-pai ingin pula membuktikan sendiri kelihaian pim-pinan Pao-beng-pai.
Akan tetapi pinto (aku) tidak mau melakukan pengeroyokan, pinto hanya ingin membuktikan kelihaian kalian bermain pedang.
Nah, siapa di antara para pimpinan Pao-beng-pai yang berani melayani pinto bermain pedang?" Sekali tangan kanannya bergerak, pen-deta Pek-lian-kauw itu telah mencabut sebatang pedang yang berkilauan saking tajamnya.
Cara dia mencabut pedang saja menunjukkan kemahirannya.
Tentu saja dia lihai karena tosu ini adalah Kui Thian-cu, seorang tokoh Pek-lian-kauw.
yang lihai dan dipercaya oleh para pim-pinan perkumpulan pemberontak itu.
Kini dia datang sebagai wakil Pek-lian-pai bersama dua orang sutenya.
Dia tadi sudah melihat betapa hebat tenaga sin-kang dari ketua Pao-beng-pai, oleh karena itu, dia menantang untuk bertanding ilmu pedang yang menjadi andalannya.
Kembali keluarga ketua Pao-beng--pai nampak saling berbisik dan agaknya Siangkoan Eng minta kepada ayahnya untuk mewakili ayahnya menyambut tan-tangan tosu Pek-lian-kauw itu.
Siangkoan Kok mengangguk memberi ijin dan dari tempat duduknya, ketua Pao-beng-pai itu berkata kepada Kui Thian-cu.
"Sobat, kenapa Pek Sim Siansu tidak datang sendiri?" Mendengar pertanyaan itu, Kui Thian--cu mengerutkan alisnya.
Pek Sim Siansu adalah ketua Pek-lian-kauw, masih ter-hitung paman gurunya.
Kiranya ketua Pao-beng-pai ini mengenal ketua Pek--lian-kauw pula! "Pangcu, ketua kami mengutus kami untuk datang sebagai wakil Pek-lian-pai, untuk melihat apakah Pao-beng-pai pan-tas untuk menjadi rekan seperjuangan.
Ketua kami adalah paman guru kami." "Andaikata Pek Sim Siansu sendiri yang datang, tentu akan kusambut ajak-annya untuk berlatih pedang.
Akan tetapi sekarang hanya murid keponekannya yang datang.
Aku akan mewakilkan saja ke-pada puteriku untuk bertanding ilmu pe-dang!" Siangkoan Eng lalu bangkit dan me-langkah dengan tenang menghampiri tosu Pek-lian-kauw itu.
Semua orang meman-dang kagum dan juga tegang.
Gadis itu nampak demikian lembut dan anggun, cantik jelita, begaimana akan mampu menandingi seorang tokoh Pek-lian-kauw yang sudah terkenal akan kelihaiannya" Kui Thian-cu sendiri mengerutkan alisnya dan memandang rendah.
Dia sudah pandai bermain pedang sebelum gadis yang usia-nya baru dua puluh tahun lebih ini lahir! Dia sudah menguasai ilmu pedang selama puluhan tahun, sedangkan gadis ini pa-ling banyak hanya belajar silat selama belasan.
tahun saja.