Si Tangan Sakti Chapter 20

NIC

Pangcu (Ketua) kami menganggap sudah sepatutnya kalau beliau yang lebih tinggi tingkatnya menerima perkenalan diri kalian.

Beliau hanya mau berkenalan secara langsung dengan mereka yang sederajat!" "Wahhh!" Si muka bulat kini terbe-lalak dan mukanya yang putih itu ber-ubah merah karena darah sudah naik ke kepalanya.

"Sombong amat! Kalau begitu, begini saja.

Biar kami semua yang belum memperkenalkan diri, menguji kepandaian para pimpinan Pao-beng-pai yang tinggi hati itu, untuk melihat apakah benar derajat dan tingkat mereka lebih tinggi daripada kami!" Kembali banyak orang mengangguk menyetujui usul ini.

Melihat betapa banyak di antara para tamu me-nyetujuinya, si muka bulat memberi isya-rat kepada dua orang adik seperguruan-nya, dan mereka bertiga tiba-tiba me-loncat dengan gerakan ringan ke sudut ruangan yang kosong dan tempat itu merupakan tempat yang cukup luas untuk dipakai bertanding silat.

Suasana menjadi tegang akan tetapi karena mereka semua adalah orangorang kang-ouw yang tentu saja suka melihat pi-bu (adu silat), maka pada wajah mereka terbayang kegembira-an karena mereka mengharapkan akan dapat melihat pertandingan silat yang menarik antara orang-orang pandai.

Juga para tamu ingin sekali melihat bagai-mana sikap dan jawaban para pimpinan Pao-beng-pai terhadap tantangan si muka bulat dan dua orang kawannya itu.

Gadis berpakaian putih yang mewakili para pimpinan Pao-beng-pai, yang juga merupakan murid ketua dan pelayan ter-dekat dan terpercaya, menoleh ke arah sang ketua.

Akan tetapi ketua itu hanya tersenyum dan mengangguk, tanda bahwa dia merestui sikap muridnya itu.

Melihat ini, gadis berpakaian putih itu lalu berkata, "Kami menerima usul itu, dan me-nyambut tantangan siapa saja yang hen-dak menguji kepandaian!" Si muka bulat yang kini menjadi per-hatian semua tamu, merasa bangga dan dengan membusungkan dadanya dia ber-kata, "Kami bertiga pengurus Pek-eng--bukoan (Perguruan Silat Garuda Putih) mohon petunjuk dari ketua Pao-beng-pai!" Akan tetapi, tantangan terhadap ke-tua itu disambut oleh gadis pakaian putih tadi.

Ia memberi isyarat kepada tiga orang temannya dan sekali melompat, tiga orang berpakaian putih itu telah berhadapan dengan tiga orang penantang yang tadi bicara tidak ikut maju, dan ia yang bicara menjawab.

"Untuk mengadu ilmu dengan ketua kami tidaklah mudah, harus dapat me-ngalahkan wakilnya, yaitu Toanio, dan untuk menandingi Toanio harus lebih dahulu mengalahkan Siocia.

Akan tetapi sebelum dapat pi-bu dengan Sio-cia harus lebih dahulu dapat mengalahkan kami dan beberapa orang murid lain!" Gadis itu tersenyum mengejek.

"Sam-wi, sudah maju, dan tiga orang rekan kami sudah maju menyambut tantangan, nah persila-kan kalau Sam-wi hendak bertanding.

Tentu saja tiga orang tokoh Perguru-an Silat Garuda Putih itu marah sekali.

Mereka merasa diremehkan.

Padahal, gadis berpakaian putih itu sama sekali tidak membual atau meremehkan karena dari gerakan tiga orang pria ketika me-loncat tadi, ia sudah tahu bahwa tiga orang rekannya akan mampu menandingi mereka.

"Bagus, kalian orang-orang Pao-beng--pai sungguh memandang rendah orang lain.

Hendak kami lihat sampai di mana kelihaian kalian!" bentak si muka bulat.

Seorang di antara tiga wanita ber-pakaian putih yang berdiri di depan me-reka itu berkata tenang, "Kami bertiga sudah siap." "Sambut serangan kami!" bentak si muka bulat dan bersama dua orang re-kannya dia sudah menyerang gadis yang bicara itu.

Dua orang rekannya juga me-nyerang dengan pukulan yang mendatang-kan angin kuat.

Namun, tiga orang gadis pakaian putih itu dengan mudah sekali mengelak dan gerakan mereka ringan sekali, juga amat cepat ketika mereka membalas.

Terjadilah pertandingan tiga lawan tiga.

Agaknya tiga orang gadis berpakaian putih itu maklum bahwa kalau mengadu tenaga kasar, mereka kalah kuat.

Maka, mereka mempergunakan ke-cepatan dan keringanan gerakan mereka dan dalam hal ini mereka memang lebih unggul.

Tubuh mereka berkelebatan men-jadi bayangan putih yang sukar sekali diserang oleh tiga orang pria itu, bagai-kan tiga orang anak-anak yang mencoba untuk menangkap tiga ekor dara putih yang gesit sekali.

Para ahli silat yang menjadi tamu di situ, diam-diam mengikuti jalannya per-tandingan dan mereka mencurahkan per-hatian mereka untuk mengamati gerakan tiga orang gadis itu.

Mereka ingin me-ngenal ilmu silat mereka agar mereka dapat menentukan dari aliran mana ilmu itu dan dengan sendirinya dapat me-ngenal ilmu silat para pimpinan Pao--beng-pai.

Akan tetapi, mereka menjadi bingung dan heran karena mereka sama sekali tidak mengenal ilmu silat yang dimainkan oleh tiga orang gadis ber-pakaian putih.

Kadang nampak dasar gerakan ilmu silat Siauw-lim-pai, namun dengan gerakan tangan yang mirip de-ngan aliran silat Bu-tong-pai, lalu ber-ubah dan bercampur dengan aliran lain.

Agaknya ilmu silat yang mereka mainkan itu merupakan gabungan dari semua alir-an! Dipilih gerakan yang baik dan meng-untungkan.

Kalau benar demikian, tentu yang merangkai ilmu silat itu seorang ahli yang mahir semua ilmu silat! Pertandingan sudah berlangsung dua puluh jurus lebih dan semua orang me-lihat betapa tiga orang tokoh Pek-eng Bu-koan itu mulai terdesak.

Karena kalah cepat gerakannya, maka tiga orang jago-an dari Garuda Putih itu terdesak dan mereka lebih banyak mengelak dan menangkis daripada menyerang.

Mereka tidak diberi kesempatan untuk membalas, dan serangan tiga orang gadis berpakaian putih itu datang bertubi-tubi.

Tiba-tiba tiga orang gadis itu melompat ke bela-kang dan tiga orang Pek-eng Bu-koan menghentikan gerakan mereka dan muka mereka nampak merah.

Kiranya di ta-ngan gadis pertama terdapat kain kepala yang dapat direnggutnya lepas dari ke-pala lawan, di tangan gadis ke dua ter-dapat sobekan baju di bagian dada la-wannya, dan biarpun gadis ke tiga tidak merampas sesuatu, namun lawannya sibuk membereskan rambutnya yang riap-riapan karena pengikut kuncirnya terlepas.

Je-laslah bahwa kalau tiga orang gadis ber-pakaian putih itu menghendaki, tentu tangan mereka akan bergerak lebih jauh dan dapat merobohkan tiga orang lawan dengan pukulan.

"Maafkan kami," kata seorang di an-tara tiga gadis itu mewakili teman--temannya.

Si muka bulat menghela napas pan-jang.

Dia tahu diri dan mengangkat ke-dua tangan depan dada menghadap pihak tuan rumah sambil berkata.

"Kami ber-tiga adalah pimpinan Pek-eng Bu-koan dan saya sebagai ketuanya bernama Liu Pin.

Kami mengaku kalah." Dia dan dua orang sutenya lalu mengundurkan diri dan duduk di tempat semula, tidak berani lagi mengeluarkan kata-kata.

Melawan tiga orang gadis yang menjadi anak buah Pao-beng-pai saja mereka kalah.

Apalagi melawan pimpinannya!Mereka yang mengenal kelihaian Pek--eng Bu-koan dan melihat kekalahan mereka di tangan tiga orang gadis anak buah Pao-beng-pai kini tidak merasa ragu lagi dan mereka segera memperkenalkan diri seperti yang telah dilakukan para tamu lain.

Hanya tinggal masing-masing dua orang wakil dari Siauw-lim-pai, Bu--tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai yang belum memperkenalkan diri, di samping para wakil Pat-kwa-pai dan Pek-lian--pai, juga ada lagi tiga orang pria muda yang nampaknya belum mau memper-kenalkan diri.

Melihat masih ada belasan orang yang belum memperkenalkan diri, gadis pakai-an putih itu kembali berseru, "Apakah masih ada di antara Cu-wi (Anda Sekali-an) yang sebelum memperkenalkan diri ingin menantang pi-bu?" Tiba-tiba ketua Pao-beng-pai yang sejak tadi duduk diam saja dengan tegak, berbisik kepada si gadis pakaian putih.

Gadis itu menghampiri dan berlutut di depan ketuanya, menerima pesan dalam bisikan.

Gadis itu mengangguk, lalu bang-kit lagi dan memandang ke arah kelom-pok yang belum memperkenalkan diri, lalu berkata dengan suara lantang.

"Pangcu (Ketua) kami memandang partai-partai Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai sebagai seting-kat dan sederajat.

Oleh karena itu, wakil dari masing-masing partai itu dimohon suka maju untuk berkenalan langsung dengan keluarga Pangcu yang menjadi pimpinan Pao-beng-pai!" Kebetulan dua orang wakil dari ma-sing-masing partai besar itu adalah orang--orang muda.

Tadinya mereka tidak mau memperkenalkan diri seperti para tamu lain karena hal itu dianggap terlalu me-rendahkan diri, seperti orang-orang ba-wahan menghadap orang atasan saja.

Akan tetapi kini, mendengar ucapan ga-dis pakaian putih, mereka merasa tidak enak kalau tidak mau berkenalan.

Mereka adalah tamu yang diundang, sudah makan hidangan tuan rumah, dan memang me-reka diutus hadir di situ untuk mengenal siapa adanya para pimpinan Pao-beng--pai.

Berturut-turut, didahului wakil dari Siauw-lim-pai, mereka datang menghampiri tempat duduk keluarga ketua Pao--beng-pai dan berkenalan, saling menyebut-kan nama.

Para wakil itu kini tahu bah-wa ketua Pao-beng-pai atau pendiri baru ini bernama Siangkoan Kok, bersama isterinya dan puterinya yang diperkenal-kan sebagai Siangkoan Eng, mereka ber-tiga merupakan pimpinan Pao-beng-pai dan undangan itu dilakukan untuk saling berkenalan dan menghimpun persahabatan di antara tokoh-tokoh persilatan masa itu.

Setelah para wakil empat partai besar itu duduk kembali ke tempat mereka tanpa merasa direndahkan, kini gadis pakaian putih bangkit dan beru seru lagi, ditujukan kepada para wakil Pek-lian--pai dan Patkwa-pai.

"Pangcu kami menganggap Pat-kwa--pai dan Pek-lian-pai sebagai rekan-rekan seperjuangan.

Oleh karena itu, Pangcu mengharap agar para wakil mereka suka maju untuk saling berkenalan dengan Pangcu sekeluarga." "Siancai, siancai....!!" Terdengar suara pujian dan sesosok bayangan berkelebat ke sudut ruangan di mana tadi diadakan pertandingan silat.

Kiranya dia seorang di antara para wakil Pat-kwa-pai.

Tanda Pat-kwa-pai dapat terlihat di bajunya, di dada kiri disulam benang emas sebuah pat-kwa (segi delapan).

Dia seorang pria berusia lima puluh tahun, bertubuh gen-dut dengan jubah lebar, di punggungnya tergantung pedang dan nampak kokoh kuat.

Matanya lebar, hidungnya besar dan mulutnya berbibir tebal.

Segalanya pada orang ini nampak kokoh dan besar.

"Kami Pat-kwa-pai juga mempunyai peraturan, yaitu sebelum berkawan, ha-ruslah mengenal isi perutnya lebih da-hulu.

Oleh karena itu, kami sebagai wa-kil Pat-kwa-pai ingin sekali mengenal siapa adanya para pimpinan Pao-beng--pai melalui pertandingan silat." Dia men-jura ke arah tempat duduk tuan rumah.

Semua orang kini memandang ke arah keluarga tuan rumah dan melihat betapa gadis cantik jelita tuan rumah hendak bangkit, akan tetapi dilarang ayahnya.

Kemudian, dengan hati gembira semua tamu melihat betapa Siangkoan Kok, ketua Pao-beng-pai sendiri yang bangkit dan dengan langkah tenang berjalan meng-hampiri wakil Pat-kwa-pai yang sudah berdiri menanti.

Kini semua orang me-lihat betapa ketua itu memiliki gerak--gerik yang anggun dan berwibawa, namun wajahnya cerah dan dia tersenyum ketika berdiri berhadapan dengan tokoh Pat--kwa-pai.

Posting Komentar