Si Tangan Halilintar Chapter 82

NIC

Setelah Lu Kiat berhenti bercerita, keadaan menjadi sunyi. Ma Giok mengerutkan sepasang alisnya dan memejamkan mata, lalu tanpa membuka mata dia bertanya "Apakah diantara kalian ada yang melihat sendiri peristiwa bahwa penjahat itu adalah Lauw Beng?”.

Orang-orang itu saling pandang dan Ciang Hu Seng berkata, "Di antara kami berempat tidak ada yang melihatnya, taihiap. Akan tetapi semua tanda menunjukkan bahwa dia pelaku kejahatan itu. Siapa lagi yang lengan kirinya buntung, lihai dan berjuluk Si Tangan Halilintar kalau bukan Lauw Beng. Juga kejahatannya terhadap kami ada alasannya, yaitu agaknya dia hendak membalas dendam karena kami membuat lengan kirinya buntung”.

Ma Giok masih memejamkan matanya dan mengerutkan matanya dan mengerutkan alisnya, agaknya belum puas dengan keterangan Ciang Hu Sen yang di anggapnya tidak meyakinkan itu.

"Lo-cian-pwe, dalam perjalan, kami berdua bertemu dengan Puteri Mayani dan seorang nenek yang mengaku sebagai nenek Si Tangan Halilintar!” kata Lu Kiat. Ma Giok membuka matanya dan memandang Lu Kiat dengan mata heran. Juga empat orang dari Liong-san memandang heran.

"Saudara Lu Kiat, harap segera ceritakan pertemuan itu!” kata Ma Giok.

"Ketika itu, kami tiba di kota Teng-cun dan mendengar kabar bahwa di situ terdapat seorang nenek yang mengaku sebagai nenek Si Tangan Halilintar. Kami segera mencarinya karena mungkin dari nenek itu kami dapat menemukan cucunya. Kami bertemu dengan nenek itu yang bersama Puteri Mayani. Mereka berdua marah mendengar berita tentang Si Tangan Halilintar dan mengatakan bahwa itu hanya fitnah. Kami berkelahi dan ternyata, baik nenek maupun puteri itu luar biasa lihainya. Terus terang saja, kami berdua sama sekali bukan lawan mereka. Bahkan pedang kami di rampas dan dipatah-patahkan. Akan tetapi kami sama sekali tidak dilukai. Puteri itu lalu menantang kami berlomba. Kami di suruh mencari bukti-bukti nyata bahwa penjahat yang mengaku berjuluk Si Tangan Halilintar itu benar Lauw Beng orangnya, sementara mereka juga akan mencari dan menangkap orang yang menggunakan nama Si Tangan Halilintar untuk memburukkan nama Lauw Beng. Demikian ceritanya, lo-cian-pwe”.

"Sungguh aneh!” kata Bhe Kam yang pernah bertemu dan bertanding melawan Puteri Mayani. "Kami tahu bahwa puteri itu lihai, akan tetapi kalau dengan tangan kosong mampu mengalahkan ji-wi (kalian berdua) tanpa melukai dan mematah-matahkan pedang, hal ini sungguh luar biasa!”

Bhe Kam juga mengenal dua orang itu sebagai murid-murid Siauw-lim-pai yang tangguh.

"Saudara Bhe Kam, apakah engkau tidak ingat akan nenek yang menyebut Puteri Mayani sebagai Bu Kui Siang? Nenek itu adalah Nyonya Bu, ibunya mendiang Bu Kui Siang yang entah bagaimana telah menjadi seorang yang luar biasa lihainya dan juga agaknya pikirannya kacau. Tentu Puteri Mayani telah menerima pelajaran silat yang aneh darinya”.

"Sekarang bagaimana, Ma-Taihiap? Kami mohon pertimbangan taihiap tentang Si Tangan Halilintar ", kata Ciang Hu Seng. "Kami juga mohon petunjuk, lo-cian-pwe ", kata pula Lu Kiat. Wajah pendekar tua itu menjadi merah kembali dan sejenak dia tidak mampu menjawab, agaknya mempertimbangkan dalam hatinya karena apa yang didengarnya itu betul-betul mendatangkan guncangan dan pertentangan dalam batinnya. Kemudian, dia memandang kepada semua orang itu dan berkata dengan suara tegas.

"Cu-wi (saudara sekalian), terus terang saja hatiku belum yakin benar bahwa anak angkatku itu melakukan semua perbuatan keji itu. Bukan sekali-kali aku menganggap keterangan kalian bohong. Akan tetapi karena di antara kalian tidak ada seorangpun yang menyaksikan sendiri bahwa Lauw Beng yang melakukan kejahatan itu, juga tidak ada yang dapat mengajukan bukti-bukti kuat, melainkan hanya mendengar atau melihat bayangan laki-laki buntung lengan kirinya yang mengaku Si Tangan Halilintar. Karena itu, benar seperti yang dikatakan Puteri Mayani. Kita harus menangkap orang yang menggunakan namanya. Kalau kemudian ternyata bahwa benar Lauw Beng yang melakukan kejahatan itu, aku sendiri yang akan membinasakannya! Nah, sekarang kalian pergi dan carilah Lauw Beng aku sendiri akan menyelidiki peristiwa ini dan andaikata benar dugaan Puteri Mayani bahwa ada orang yang memalsukan Lauw Beng, aku akan berusaha menangkapnya”. Enam orang itu lalu berpamit dan meninggalkan Thai-san. Lu Kiat dan Lu Siong mengambil jalan sendiri, berpisah dari rombongan Ciong-yang Ngo-taihiap. Setelah para tamunya pergi dan berkemas, Ma Giok terpaksa juga turun gunung karena dia merasa bertanggung jawab kalau benar anak angkatnya itu melakukan kejahatan seperti yang dilaporkan para tamunya tadi.

Akan tetapi biarpun mereka mengambil jalan sendiri, tetap saja tujuan perjalanan mereka itu sama. Untuk mencari kepastian apakah pelaku kejahatan itu Lauw Beng atau bukan,satu-satunya cara adalah menangkap basah penjahat itu. Maka tentu saja mereka ke tempat-tempat dimana penjahat itu meninggalkan jejaknya, yaitu dimana terjadinya pembunuhan dan perkosaan itu.

Dalam perjalanannya, Ma Giok juga mendengar tentang kejahatan dan kekejian yang dilakukan penjahat yang mengaku Si Tangan Halilintar. Tentu saja hal ini membuat perasaannya terpukul sekali. Benarkah Lauw Beng yang melakukan semua ini? Sambil melangkah perlahan dia termenung mengenangkan keadaan pemuda yang telah di anggap sebagai anaknya sendiri dan yang sebetulnya amat disayangnya itu. Biarpun ayah Lauw Beng, yaitu mendiang Lauw Heng San pernah menjadi kaki tangan penjajah yang menumpas para pejuang, akan tetapi Lauw Heng San berbuat demikian karena tertipu. Dia mengira bahwa yang di tumpas itu adalah gerombolan penjahat. Akhirnya dia menyadari bahkan membunuh Pangeran Abagan yang menjadi mertua tirinya sendiri. Jelas bahwa Lauw Heng San bukan orang jahat. Juga isteri Lauw Heng San, Bu Kui Siang, adalah seorang wanita yang baik budi, wanita yang amat dicintainya. Maka, Lauw Beng bukan keturunan orang jahat. Lauw Beng pernah di tuduh menjadi pengkhianat bangsa, akan tetapi dia tahu bahwa pembelaan Lauw Beng terhadap Puteri Mancu itu bukan merupakan pengkhianatan. Dia membela karena menganggap Mayani tidak bersalah. Akan tetapi pembelaannya itu menyebabkan dia kehilangan lengan kirinya, dibuntungi oleh Song Cun. Apakah peristiwa itu kemudian membuat dia mendendam dan dalam sakit hatinya dia menjadi berubah kejam? Ma Giok hampir tidak percaya. Akan tetapi dia bertekat untuk dapat menangkap pelaku kejahatan itu, baik pelaku itu Lauw Beng atau orang lain!.

****

Cun Song dan Ai Yin melakukan perjalanan menuji Kwi-cu. Mereka hendak mencari perampok lengan kiri buntung bernama Tung Ci seperti yang diceritakan Cun Song kepada Ai Yin. Selama beberapa hari dalam perjalanan, Cun Song bersikap ramah dan sopan sehingga Ai Yin semakin percaya dan suka kepada pemuda yang di anggapnya seorang pemuda pejuang yang gagah perkasa, segolongan dengan ayahnya yang dulu juga merupakan seorang pejuang yang gigih.

Pada suatu pagi mereka tiba di sebuah daerah pertanian yang sepi. Hanya ada beberapa orang petani yang menunggu sawah mereka dari serbuan burung-burung yang mencari makan.

"Hei, Cun Song …..!” tiba-tiba terdengar teriakan dari belakang mereka.

Cun Song dan Ai Yin membalikkan tubuh mereka dan Cun Song berseru girang. "Can-toako (Kakak Can) …..!”.

Ai Yin mengerutkan alisnya ketika mengenal siapa yang datang berlari kearah mereka itu. Orang itu adalah Can ok yang berjuluk Toat-beng Siang-kiam, paman gurunya!. Setelah mereka berhadapan, Can Ok juga terkejut bukan main mengenal siapa gadis yang melakukan perjalanan bersama Cun Song dan tampak akrab itu.

"Eh,….., engkau …. Ai Yin ….?”.

Ai Yin cemberut dan cepat ia mencabut pedangnya. Melihat ini, Cun Song terkejut dan memegang lengan gadis itu.

"Yin-moi, Can-toako ini sahabat baikku, bukan musuh!”. "Ai Yin, aku adalah susiok-mu (paman gurumu) kata pula Can Ok.

"Susiok macam apa engkau? Engkau yang menyerang aku dan Siauw Beng, bahkan menyuruh jahanam Mongol itu menangkap aku ! Hayo cabut pedangmu!” Ai Yin berseru marah.

"Jangan marah dulu, Ai Yin. Aku menyuruh tangkap engkau karena hendak menyelamatkan engkau dari bahaya pengeroyokan semua orang itu. Mari ku jelaskan

……” kata Can Ok.

"Benar, Yin-moi. Dengarkan dulu penjelasan Can-toako”, bujuk Cun Song.

Akhirnya Ai Yin mereda kemarahannya.” Baik, coba jelaskan semua perbuatanmu yang busuk itu”.

"Perbuatan yang mana, Ai Yin?” Tanya Can Ok, diam-diam otaknya diputar untuk mencari akal meredakan kemarahan gadis yang dia tahu lihai, galak, namun di anggapnya kurang pengalaman itu.

"Dahulu, engkau bersama kakek guru Hui-kiam Lo-mo dan teman-temanmu telah menyerang Lo-cian-pwe Ma Giok pemimpin pejuang besar itu sehingga mengakibatkan ibu kandung Siauw Beng yang di lindunginya meninggal dunia ketika melahirkan Siauw Beng. Perbuatanmu itu sungguh jahat dan kejam!”.

Can Ok membelalakkan matanya.” Ai Yin, bagaimana engkau bisa tahu akan peristiwa yang terjadi dua puluh tahun lebih itu? Ketika itu engkau belum lahir!”.

"Tidak peduli dari mana aku tahu. Akan tetapi benar hal itu engkau lakukan, bukan?”.

"Tidak kusangkal, Ai Yin. Akan tetapi hal itu kami lakukan bukan tanpa alasan. Pertama, Ma Giok telah berubah, mengkhianati bangsa kita. Kedua, dia menolong putera pembesar Mancu yang di tangkap para pejuang dan ketiga, dia melindungi puteri Abagan yang menjadi istri Lauw Heng San, pengkhianat yang banyak membasmi para pejuang kita ketika dia menjadi mantu Pangeran Mancu itu. Sikapnya yang berkhianat itulah yang membuat aku dan mendiang suhu menyerangnya”. Can Ok berhenti sebentar, menatap tajam wajah gadis itu dan melanjutkan,” Suheng Bu-tek Sin-kiam Wong Tat, ayahmu sendiri, tidak menyalahkan perbuatanku itu karena aku memusuhi orang yang membela pembesar Mancu”.

Posting Komentar