Seruling Samber Nyawa Chapter 93

NIC

Beruntun Giok-liong maju dua langkah entah bagaimana sedikitpun kakinya tak kuasa menggeser tempat, kedua kakinya tetap melengket ditempatnya semula.

Dengan mata mendelong ia awasi senjata pusaka perguruan yang menggeletak di tanah, walaupun barang barangnya itu terletak di depan matanya, tapi hanya bisa dilihat tak mampu dijamah.

Baru sekarang Giok-liong tersadar, bahwa si orang tua di hadapannya kiranya bukan orang sembarang orang.

Hal ini seharusnya tidak perlu dibuat heran, bukankah di tempat belukar yang sepi ini, jarang diinjak manusia, si orang tua ini hanya seorang tunggal saja, Kalau dia tidak mempunyai sesuatu kemampuan, bukankah berarti mengantar kematian belaka.

Karena tafsirannya ini, tat berani ia berlaku gegabah, sambil tertawa ia menjura lagi.

ujarnya.

"Harap dimaafkan akan kelancangan tadi. Keempat batang Potlot mas dan seruling itu dan batu giok iiu adalah barang-barangku yang hilang, harap paman suka mengembalikan, sungguh aku yang rendah sangat berterima kasih !"

"Aku tidak perlu terima kasihmu !"

Suara si orang tua tetap datar tanpa irama.

"Lalu apa kehendak paman." "Kembalikan dulu ayam panggang serta semangkok besar arak wangiku. Kalau tidak semua barangmu ini sebagai gantinya !"

Seketika merah jengah selebar muka Giok-liong, sikapnya kikuk kemalu-maluan, katanya tergagap.

"Ternyata ....ternyata ... , arak itu ... adalah ...."

"Kau kira tidak ada pemiliknya ? seumpama tidak ada pemiliknya juga tidak boleh sembarangan gegares ! Kalau aku sih tidak apa-apa sesuai dengan kehidupanku ... lain adalah kau !"

"Petunjuk paman memang betul ! Pasti kuganti selipat ganda !"

"Aku tidak perlu dengan penggantian yang terlalu banyak !"

"Baiklah akan kuganti menurut apa adanya semula !"

"Mana keluarkan ?"

"Wah ....sekarang..., maksudku nanti setelah turun gunung !"

"Ha ! setelah turun gunung aku juga tidak perlu minta kepada kau lagi, justru ditempat ini dan sekarang juga baru terasa betapa berharganya makananku itu !"

"Tapi kemana aku harus mencari gantinya !"

"Salahmu sendiri ! siapa suruh kau ceiufak "Benar, akulah yang salah! harap paman suka maafkan kesalahanku kali ini !"

"Selama or.cnj.i&iJti ayam panggang dan arak wangiku, masih ada satu jalan dapat kau tempuh !"

"Harap paman sebutkan caranya !"

"Mengandal Lwekangmu mengambil dengan kekerasan !" "Ini ...."

"Kau tidak berani !"

"Bukan tidak berani !"

"Lalu kenapa?"

"Menang kalah menjadi serba runyam !"

"Kenapa bisa begitu?"

"Kalau aku yang rendah kalah, berarti tak dapat mengambil balik barang-barangku, aku menjadi orang terkutuk terhadap perguruan dan orang tua !"

"Toh kau boleh berusaha untuk menang"

"Kalau menang kau kesalahan dan berlaku kurang adat terhadap paman!"

"Bagaimana maksudmu?"

"Sudah gegares makan minum secara gratis kini harus memukulmu lagi, bukankah serba runyam !"

"Kelihatannya watakmu cukup baik juga"

"Aku sendiri berpendapat belum terlalu nyeleweng !"

"Juga belum tentu !"

"

"Ini paman..."

"Seumpama aku tidak turun tangan?"

"Gampang, sekali raih dapat kuambil !"

"CtJDalan !"

"Hihihi paman berkelakar?"

"Coba, kan belum kau lakukan !"

"Baik !"

Giok liong melangkah maju mengulur tangannya sambil membungkuk. "Heh""

Siapa tahu bukan saja kakinya sulit digeser sesentipun, tangannya yang terjulur kedepan itu juga seperti menancap ke-dalam tumpukan kapok, lemas dan empuk, samar-samar seperti ada hawa tipis yang tidak kelihatan merintangi sehingga tangannya tak kuasa dijulurkan kedepan lebih lanjut.

Bercekat hati Giok Liong, seketika teringat akan cerita suhunya To-ji Pang Gtok tentang semacam ilmu yang dinantikan Bu-siang-sin kang, ilmu lurus dari agama Budha.

Bergegas ia mundur tujuh kaki serta serunya lantang.

"Paman, bukankah ini Bu-siang sin-kang! Kau orang tua. .."

"Jangan tanya siapa aku, dan tanya ilmu apakah ini, Yang terang kau masih ingin tidak milikmu ini kembali?"

"Sudah tentu harus kembali pulang!"

"Kalau sekarang juga kau tidak mampu mengambil aku sudah tak sabar menantikan semua kubawa pulang!"

"Baik'ah biar Wanpwe mencoba coba ? Harap pinjam seruling samber nyawa sebentar !"

Lalu dengan sikap serius ia menghimpun semangat mengerahkan hawa murni, pertama"tama Ji-lo dikerahkan melindungi badan lalu duduk bersila dihadapan si orang tua, lalu ia sambuti seruling yang diangsurkan siorang tua.

"Tula... Tuli... mulailah Giok liong meniup dengan iramanya yang merdu lincah, seketika berubah hebat air muka si orang tua, serunya dengan nada berat.

"Buyung, berapa tinggi bekal Lwekangmu?"

Giok liong meramkan mata menundukkan kepala tak hiraukan pertanyaan orang pelan-pelan ia kerahkan seluruh kekuatan Lwekangnya dipusatkan kearah tiupan mulutnya, dengan tekun dan seksama seluruh perhatiannya dicurahkan pada seruling samber nyawa.

Pertama dimulai dengan irama lincah jenaka yang riang gembira, lalu berubah menyelarasi perubahan batinnya, dengan nada yang penuh perasaan berganti-ganti irama, dari suara rendah terus meninggi.

Dari pelan laksana air mengalir seperti angin menghembus sepoi-sepoi, laksana burung walet bernyanyi rendah, Larnbar laun semakin tak kendali meninggi gemuruh seperti hujan baju yang lebat laksana samudera bergolak.

Seumpama genta besar dalam kelenteng berkelontengan semakin memburu cepat seiring dengan derap langkah berlaksa kuda yang berlari kencang sampai akhirnya semakin cepat lagi, Sampai bumi terasa bergetar hampir merekah, gelombang samudera mendampar batu karang sehingga dunia seperti hampir kiamat.

Meskipun saat itu tepat tengah hari tapi cuaca menjadi gelap, mendung diliputi kabut tebal, dalam lembah terdengar suara pekikan setan dan gerungan malaikat, suasana semakin menjadi seram menakutkan, perasaan juga tercekam seperti isi perut hampir hancur lebur.

Berkuntum-kuntum mega putih seiring dengan irama seruling yang meninggi rendah mengepul keluar dari tujuh lubang seruling terus berkembang keatas.

Kabut putih bergulung-gulung diatas kepala Giok-liong, seperti air yang mendidih diatas tungku terus mengepul ke atas.

Sikap dan perubahan wajah si orang tua seiring dengan perubahan irama seruling Giok-lsong semakin tegang dan serius Lambat laun jidatnya mulai berkeringat, matanya mendelik besar seperti kelereng hampir meloncat keluar, rupanya sudah jauh berbeda dengan keadaan semula yang wajar.

Waktu irama seruling Giuk liong semakin melengking tinggi, mengalun menggetarkan seluruh penghuni alam semesta ini.

Air muka si orang tua juga semakin tak genah, Akhirnya dia angkat kedua lengannya kedua telapak tangan didorong lempang kedepan, walau kelihatannya lowong, tapi kedua tangannya itu seolah-olah sangat berat sekali bertahan.

Tepat pada saat itu lagu yang ditiup Giok liong sudah habis, pelan-pelan ia bangkit berdiri seraya berkata.

"Paman, aku hendak mengambil pusaka peninggalan perguruan dan benda kenangan dari ibuku !"

Lalu ia beranjak maju dua langkah.

"Hah !"

Seketika ia berdiri terlongong-longong di tempatnya, kedua matanya berkilat mendelong memandangi kedua tangan si orang tua yang dijulurkan ke depan itu.

Ternyata telapak tangan si orang tua masing-tnasing tangannya sudah kehilangan jempolnya, kiri tinggal delapan jari.

Cukup lama Giok liong mengamati hatinya samakia ciut tidak mengambil barang-barangnya malah bergegas bertekuk lutut terus menyembah berulang ulang serta katanya dengan gelisah .

"Wanpwe memang harus mati, tidak tahu adalah kau orang tua !"

Harus diketahui kedudukan Pat-ci kay-ong (raja pengemis delapan jari) dalam Bu-lim-su-cun sangat tinggi sekarang terpaksa ia harus menjulurkan kedua telapak tangannya, mengandal Bu-siang-sin-kang berusaha melawan kekuatan suara dari Jan hun-it-ki, ilmu peninggalan tokoh-tokoh silat jaman kuno.

Dalam keadaan biasa, Pat-ci-kay ong takkan gampang rela memperlihatkan kedudukan serta asal usulnya, maka sedikit sekali orang yang pernah melihat akan kedelapan jarinya itu, Giok-liong adalah murid To-ji Pang Giok, ialah satu dari tokoh Bu-lim-su-cun itu, mana mungkin gurunya tidak pernah memperkenalkan ciri-ciri tokoh-tokoh sakti pada jaman itu.

Maka begitu Giok-liong melihat kedua telapak tangannya yang tinggal delapan jari segera unjuk hormat kebesaran.

Jan-hun-it-ki ( irama menyiksa sukma ) adalah ilmu tunggal yang karya gemblengan tokoh-tokoh kosen jaman kuno dulu, meliputi seluruh intisari kekuatan terpendam dalam alam semesta ini.

Sekali irama ini ditiup, kalau belum satu jam lamanya, Lwekangnya masih terus terpusat menjadi satu memperlihatkan perbawanya, satu jam kemudian baru menipis dan buyar.

Oleh karena itu meskipun Giok-Iiong sudah kenal akan Patci- kay-ong dan serulingnya sudah tidak ditiup lagi, tapi Pat cikay- ong inikttitn akan kekuatan sakti dari irama seruling yang hebat itu, duduknya tetap bergaya seperti tadi mengerahkan seluruh kekuatan Bi-siang-sinkang untuk bertahan, sedikitpun ia tidak berani memecah perhatian untuk bicara.

Akhirnya satu jam telah berlalu, pelan-pelan Pat ci-kay-ong baru menarik kedua tangannya terus menghapus keringat di jidatnya, setelah menghela napas panjang ia berkata.

"irama lagu ini seharusnya hanya ada di sorga, kapan manusia di dunia baka ini bisa menikmatinya, Hidup pengemis tua selama seratus tahun ini kiranya sia-sia, kini terbuka mataku!"

Selama ini Giok-Iiong tetap berlutut di-tanah, katanya lirih.

"Supek, harap ..."

"Bangun !"

"ujar Pat-ci-kay-o.ii tidak sabaran Giot-liong mengiakan terus bergegas bangun.

"Tak heran kau malang melintang di Kangouw, belum lama kau kelana sudah menggegerkan Bulim. Memang kenyataan hijau jauh lebih menang dari biru, Jan-hun-itki itu gurumu sendiri belum mampu menyelami sampai sebegitu jauh, tak kira kau sendiri sudah mencapai tujuh tingkat kesempurnaan !"

"Cian pwe terlalu memuji !"

"Duduklah !"

Ujar Pat-ci kay-ong menunjuk sebuah batu disampingnya. Giok-liong tahu watak pengemis tua yang keras, tanpa sungkan-sungkan ia terus duduk bersila.

"Giok liong,"

Demikian sambung pengemis tua.

"setengah bulan yang lalu, aku pernah bertemu dengan gurumu di perbatasan Kiang-han !"

Tersipu-sipu Giok-iiong berdiri lalu menjura dan bertanya dengan hormat .

"Apakah beliau baik-baik saja?"

"Dia tidak baik !"

Seumpama petir menyambar Giok-liong berjingkrak bangun dari tempat duduknya, teriaknya gugup.

"Bagaimana keadaan beliau ?"

"Hampir mati saking karena jengkel sepak terjang mu!"

Posting Komentar