Dalam keadaan yang tidak berani balas menyerang atau menjaga diri para orang aneh seragam hitam segera lari berpencar pontang penting sambil mengeluh berksokan.
Seluruh kemurkaan dan kedongkolan hati Giok liong seluruhnya dilampiaskan di kedua kepalan tangannya, kakinya tidak berhenti bekerja mengejar kemana kakinya melangkah melihat lalu pukul satu kecandak dua bunuh memang sungguh kasihan orang orang aneh siapani hitam tidak tahu menahu soal apa yang menimbulkan kemarahan orang belum tahu duduk perkara, jiwanya sudah melarang sia sia dengan penasaran.
Hakekatnya Giok liong sendiri sebetulnya juga terlalu mengumbar nafsu dan ceroboh ? Tapi memang pukulan batin yang menimpa sanubarinya terlalu berat saking terburu nafsu ia kehilangan kontrol kesadarannya, rasa kebencian yang meluap menghantui nuraninya.
Benci, ia benci berbagai rasa kebencian Tak peduli apakah orang-orang aneh seragam hitam inilah adalah orang orang yang harus dibencinya, tanpa tanya lagi apakah mereka setimpal untuk dibencinya.
sekarang bahwa otak pikirannya sudah dirangsang oleh nafsu jahat yang ingin membunuh orang, bunuh seluruh manusia yang diketemukan.
baru rasanya dapat melenyapkan rasa benci yang mengeram dalam badannya.
Terutama karena perubahan hati nuraninya terasa olehnya semakin banyak ia membunuh, baru terhapus rasa bencinya.
Oleh karena itu, semakin besar dan berkobar nafsunya untuk membunuh, dengan kencang ia mengejar kemana saja dilihatnya bayangan orang orang seragam hitam melarikan diri.
Entah dengan tutukan, pukulan atau cengkeraman jarak jauh dengan angin pukulan dahsyat.
Giok liong sudah lancarkan seluruh cara-cara ganas untuk melaksanakan kekejaman terasa semakin telengas hatinya rada terhibur kalau tidak kejam tak dapat melampiaskan kedongkolan hatinya.
Sekali tangan kiri bergerak lantas terdengar raungan yang menyayatkan hati dimana tangan kanan mencengkeram darah lantas muncrat kemana-mana, Alas belantara menjelang diliputi kegelapan yang terdengar hanyalah gemboran Giok liong yang melampiaskan kegusaran hatinya seperti jerit dan pekik menyayatkan hati yang mendirikan bulu roma.
Dimana hembusan angin malam silir membawa bau anyir darah yang memualkan sinar bulan sabit yanp redup menyinari mayat-mayat yang bergelimpangan di semak belukar, Kira-kira cukup satu jam lamanya, Giok-liong menggeledah seluruh empat penjuru tak kelihatan lagi ada bayangan manusia baru ia sempat untuk istirahat.
Baru kemarahan juga mulai mereda dan tumpas seluruhnya dibawah cahaya sinar bulan yang remang-remang dipandangnya sepasang tangannya yang penuh berlepotan darah, tak terasa lagi dan tak tersadar olehnya ia bergelak tawa tanpa juntrungan.
Apakah gelak tawanya ini penanda kepuasan hati? Bukan ! pertanda kemenangan? Bukan ! Pendek kata dia sendiri juga tidak tahu gerangan apakah yang membuatnya tertawa? Yang terang sesudah ia bergelak tertawa terasa ringan tekanan batin dan lahiriah yang menyepak dadanya ini memang kenyataan.
Segera ia menuju ke pinggir sungai yang tidak jauh letaknya untuk mencuci kedua tangannya, Waktu kedua tangannya masuk ke daian air dingin, tanpa merasa gemetar kedinginan.
Pikirnya.
"Kenapakah aku ini? Kubunuh sedemikian banyak orang ada manfaat bagiku? Apakah setelah membunuh sekian banyak orang, rasa benciku sudah himpas seluruhnya? Terhitung sudah menuntut balas bagi ayah bunda? ataukah menumpas dan mengurangi tekanan bibit bencana yang bakal bersemi di Bulim? Apakah penebus budi untuk perguruan yang telah mendidik dan mengajar dirinya? Bukan, semua tidak! Tak berani ia memandang bayangan diri sendiri dipermukaan air sekali loncat terus berjalan pergi tanpa tujuan, dengan kencang ia berlari kearah atas belukar yang tak berujung pingkal itu.. Gunung gemunung berlapis sambung menyambung tiada ujung pangkalnya. Kabut menyelimuti seluruh alam pegunungan,dilereng di puncak di lembah atau di ngarai, saking tebal kabut menjelang malam ini, sehingga pemandangan menjadi gelap tak dapat dibedakan lagi dimana pohon berada. Namun setitik bayangan putih secepat anak panah meluncur membelah kabut yang tebal berlari kencang menembus kegelapan, meloncati jurang dan melintasi ngarai. Angin dingin menghembus kencang dipinggir telinganya. Cuaca semakin gelap mungkin sudah menjelang tengah malam, bulan sabit yang memancarkan sinarnya yang redup kadang-kadang muncul di lain saat sembunyi di balik awan, tak terasa ia sudah naik ketengah cakrawala, Bayangan putih ia agaknya juga sudah kecapekan. Akhirnya ia meluncur memasuki sebuah lembah sempit yang membelakangi lamping gunung dekat aliran sungai. Bayangan putih itu bukan lain adalah Ma Giok-liong yang tengah dirundung kesedihan dan kedongkolan yang belum terjawab. Pertempuran yang menghabiskan tenaga serta perjalanan jauh dengan berlari kencang ini akhirnya melelahkan badannya. Didepannya melintang sebuah aliran sungai kecil yang mengalir lembut, menyelusuri sungai ini ia terus menanjak naik melewati batu-batu aneh dan rumput menghijau yang lebat laksana permadani hijau. Tiba-tiba Giok-liong berseru tertahan, ternyata pinggir sungai sebelah sana di atas sebuah batu besar didirikan sebuah bangsal dari rumput yang cukup untuk tidur satu orang.
"Ditempat sunyi yang jarang diinjak manusia ini, siapakah yang menetap disini?"
Di dalam bangsal kelihatan ditaburi rumput-rumput kering yang lembut, disebelah ujung kiri terletak sebuah mangkok yang terbuat dari tanah liat, didalam mangkok inilah terbaur keluar bau harum arak yang merangsang hidung di sebelah mangkok ini terletak sebuah ayam panggang yang di bungkus dengan daun teratai, sungguh sedap dan merangsang baunya.
Bahwasanya memang Giok-liong sudah sekian lama belum makan, perutnya memang sedang keroncongan, Melihat arak dan daging ayam yang harum, tanpa merasa ia menjilat lidah karena mengalirkan ilernya.
Sudah jamak bagi sifat manusia dalam keadaan kepepet apalagi tengah kelaparan lantas terlupakan akan sifat jantan keperwiraannya sebagai laki laki sejati, ini berarti saking lapar lantas timbul niat jahat untuk mencuri.
Maka tanpa banyak pikir lagi Giok liong lantas geragoti ayam panggang itu, diiringi dengan menenggak arak dalam mangkok besar itu, sungguh nikmat dan menyegarkan lebih senang dan gembira dari pada menjadi raja.
Sebuah ayam panggang dan semangkok arak boleh dikata jumlah yang rada lumayan, tapi bagi Giok-liong yang tengah kelaparan sekali lalap saja sebentar saja semua sudah dikuras ludes sama sekali, malah mulut masih berkecap-kecap kekurangan.
Seekor ayam boleh dikata masih kurang, sebaliknya arak itu terlalu banyak keliwat takaran.
Sebab selamanya Giok-liong belum pernah minum arak, sekarang secara perlunya saja ia tonggak habis habisan, keruan kepala menjadi pusing, mata juga berkunang, badan menjadi mual, rasa kantuk lantas merangsang tak terkendali lagi, akhirnya ia roboh celentang diatas runput kering dalam bangsal terus tidur kepulasan..
Entah sudah berselang berapa lama ia kepulasan dalam impiannya.
Dari luar bangsal sinar matahari sudah menyilaukan mata, ternyata sang surya sudah naik tinggi.
Sambll mengucek-ngucek mata Giok-liong bangun terduduk.
"Celaka !"
Mendadak ia meloncat berdiri, sungguh kejutnya bulan kepalang.
Empat batang Potlot mas besar kecil seruling sambar nyawa yang tersimpan dalam buntalan bajunya, serta batu giok pemberian ibunda yang tergantung di lehernya itu kini sudah hilang dan terbang tanpa sayap.
Benda-benda itu merupakan barang penting yang berhubungan erat satu sama lain dan tak boleh hilang.
Arak dan ayam panggang itu ! "Apakah ini tipu muslihat penjahat, dari mana mereka bisa tahu sebelumnya kalau aku bakal datang kemari ?"
Sambil merangkak rangkak Giok-liong membongkar seluruh pelosok bangsah rumput yang menaburi dalam bayaJ semua dilempar keluar, Tapi mana ada bayangan barang-barang pusakanya, hal ini sangat menggelisahkan hatinya.
Saking kejengkelan dan gugup ia meloncat keluar, sekali angkat kaki ""Brak"
Bangsal rumput itu ditendangnya roboh.
"Kemana aku harus mencari ?"
Dengan lesu ia menuju ke pinggir sungai lalu jongkok dengan kedua tangan ia menggayuh air ubtuk membasuh mukanya. Lalu dengan langkah malas malasan ia berjalan balik melalui jalan yang ditempuhnya datang tadi.
"Hei, kau tidak mau barangmu lagi ?"
Tiba tiba terdengar seorang berkata.
"O siapa ?""
Giok-liong terkejut garang.
Bagaimana juga tidak terpikirkan olehnya di tempat semacam ini masih ada orang kedua ? Tapi waktu ia celingukan ke sekitarnya, batu runcing saling tonjol laksana hutan, dimana-mana penuh semak belukar, tak kelihatan ada bayangan manusia.
"Siapa yang bicara ..."
"Adalah aku! Aku disini !"
"
Dari tempat datangnya suara semula terdengar pula penyahutan datar, jaraknya terpaut berapa tombak dari tempat Giok liong berdiri.
Menurut arah datangnya suara ternyata di tempat batu batu runcing laksana hutan itu.
Kini terlihat jelas dibawah sebuah batu besar yang lekuk tengahnya seperti jambul ayam duduk diatas rumput halus seorang tua renta berambut uban.
Orang tua ini berwajah biasa dan bersih tiada tanda-tanda aneh yang menyolok mata seperti manusia umumnya, dari sikap dan cara duduk serta suaranya tadi tiada kelihatan ciricirinya sebagai kaum persilatan, pakaiannya serba sederhana, bajunya terbuat dari kain kasar, dengan mengenakan mantel yang terbuat dari kulit landak.
Disamping menggeletak setumpukan kemul butut yang terbuat dari kulit anjing serta sebuah buli-buli warna kuning.
Di depan kakinya diaras tanah kelihatan sinar kuning dan cahaya putih yang cemerlang menyilaukan mata, itulah bendabenda Giok liong yang bilang, yaitu empat batang Potlor mas besar kecil, seruling samber nyawa dan sebentuk batu Giok berbentuk jantung warna merah darah, semua lengkap tergeletak disitu.
Keruan girang bukan main hati Giok-liong, seketika wajahnya mengunjuk seri tawa, dengan bergegas ia melangkah maju terus menjura daIam.
ujarnya.
"Terima kasih kepada Lotiang ini."
"Nanti dulu !"
Cegah si orang tua sambil menjulurkan tangan kedepan menolak tubuh Gick-liong yang memburu tiba hendak menjemput barang-barangnya.
Seketika Giok-liong berseru tertahan, badannya yang meluruk maju seketika seperti membentur dinding tertolak mundur.
Tapi sedikitpun ia tidak ambil perhatian akan hal ini, sambil tetap mengunjuk senyum ia berkata.
"Lo-tiang (paman) mengembalikan barang-barangku yang hilang ini, sungguh aku yang rendah berterima kasih setulus hati !"
Habis berkata ia maju lagi.
Terjadilah suatu keanehan.