“Bukankah kau menghendaki bukti? Kalau hanya obrolan mereka itu, bukan bukti namanya. Apa lagi mereka dalam keadaan setengah mabok, mana omongan mereka dapat dipercaya? Kita lihat saja perkembangannya. Kalau mereka benar melaksanakan apa yang mereka ucapkan tadi, baru kita turun tangan.”
Mimi mengangguk karena ia dapat melihat kebenaran ucapan kakanya. Mereka membayangi terus dan tak lama kemudian rombongan itu telah tiba di luar sebuah dusun yang berada di Lembah Sungai Huai. Dari luar dusun saja sudah dapat terdengar suara musik yang menandakan bahwa di dalam dusun itu memang benar sedang diadakan sebuah pesta.
Rombongan prajurit itu semakin gembira dan mereka memasuki dusun dengan barisan yang tidak teratur lagi. Ku Cin dan Mimi juga memasuki dusun, berbaur dengan penduduk yang agaknya datang dari dusun lain dan ingin menonton keramaian.
Yang mempunyai kerja memang Lurah So, kepala dusun Lam-kiang yang cukup ramai karena daerah itu memang makmur, tanahnya subur dan perairannya mengandung banyak ikan. Sejak pagi tadi, rumah kepala dusun itu telah dihias dan sepasang mempelai telah duduk bersanding. Biarpun yang menikah adalah puterinya, namun karena dia kepala dusun, maka pengantin puteri belum dibawa pergi karena kepala dusun mengadakan penyambutan pengantin pria dengan pesta yang meriah.
Ruangan tamu di depan rumah, sebuah panggung bangunan darurat, telah penuh dengan tamu, bahkan di luar pekarangan juga terdapat banyak penduduk dusun yang menonton keramaian itu, mendengarkan musik dan nyanyian, dan menonton tarian. Bahkan mereka ini kebagian kue yang dibagikan oleh pelayan sehingga suasana menjadi gembira bukan main.
Akan tetapi selagi orang berpesta, muncul seorang laki-laki tinggi besar yang melangkah memasuki tempat pesta. Laki-laki ini usianya empat puluh tahun lebih, mukanya penuh brewok dan tubuhnya sungguh menakutkan, tinggi besar dan nampak kokoh kuat. Sebatang golok besar tergantung di punggungnya. Melihat orang ini, pihak tuan rumah mengira bahwa ada tamu yang datang terlambat, maka wakil tuan rumah cepat maju menyambut.
Tamu itu seperti tidak memperdulikan dua orang wakil tuan rumah yang menyambut. Dia celingukan memandang ke sana sini lalu berkata dengan senyum menyeringai, “Bagus! Perutku sang lapar, mulutku sedang haus, dan di sini terdapat arak dan makanan berlimpahan. Aku harus mendapatkan sebuah meja di tepi sana, di tengah terlalu banyak orang!”
Tentu saja dua orang yang menyambut itu menjadi tertegun. Seorang di antara mereka berkata, “Harap saudara memperkenalkan nama dan lebih dahulu memberi selamat kepada Lurah So.”
Akan tetapi orang tinggi besar itu hanya berkata, “Aku mau makan minum, bukan menemui Lurah So!” dan dengan langkah lebar dia menuju ke tepi ruangan itu dan menghampiri sebuah meja di mana duduk enam orang tamu.
“Heii, kalian semua pindah ke lain tempat. Meja ini untukku seorang!” katanya.
Tentu saja enam orang tamu itu menjadi marah. “Engkau ini manusia kurang ajar dari mana berani datang mengusir kami. Tuan rumah So telah menerima kami sebagai tamu, dan kau...”
Raksasa itu melotot. “Cerewet! Pergilah dan jangan banyak cakap atau kalian sudah bosan hidup?” Berkata demikian, orang itu menggerakkan kedua lengannya yang panjang dan besar, dan enam orang tamu itupun terpelanting ke kanan kiri! Raksasa itu terkekeh, lalu duduk menghadapi meja yang masih penuh hidangan, kemudian berseru sambil menoleh ke arah pihak tuan rumah.
“Heii, makanannya cukup, akan tetapi araknya kurang. Tambahkan arak!” Dan diapun mulai menggunakan sepasang sumpit, melahap makanan yang berada di atas meja, mulutnya mengeluarkan suara seperti seekor babi sedang makan. Enam orang tamu itu tentu saja terkejut dan marah, akan tetapi pada saat itu, Lurah So sendiri sudah maju dan dengan sikap ramah minta kepada enam orang itu untuk berpindah ke meja lain yang sengaja dipersiapkan untuk mereka. Dia sendiri lalau menghampiri raksasa yang duduk makan minum, memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada.
“Harap lo-cian-pwe sudi memaafkan kami yang tidak tahu akan kunjungan lo-cian-pwe maka terlambat menyambut. Bolehkan kami mengetahui siapa nama lo-cian-pwe?”
Kakek raksasa itu menunda sumpitnya, menoleh dan memandang kepada Lurah So, “Siapakah engkau?”
“Saya adalah Lurah So yang merayakan pernikahan puteri kami...”
“Hemm, tuan rumah ya? Aku datang tidak diundang olehmu, melainkan diundang oleh bau arak dan masakan. Perutku sedang lapar maka aku ikut makan. Dan karena engkau sedang mempunyai kerja, kusumbangkan ini untuk pengantinnya!” Raksasa itu mengeluarkan sebongkah emas dari sakunya dan menyerahkannya kepada Lurah So. Lurah itu menerimanya dengan terbelalak. Sumbangan itu sungguh royal bukan main. Tidak ada di antara semua tamu yang memberi sumbangan yang lebih berharga dari pada sebongkah emas itu.
“Terima kasih, akan kami catat sumbangan berharga dari lo-cian-pwe, akan tetapi atas nama siapakah?”
“Tulis saja dari Tay-lek Kwi-ong,” kata si raksasa dan diapun melanjutkan makan minum. Lurah So terkejut, bahkan para tamu yang mendengar disebutnya Tay-lek Kwi-ong (Raja Iblis Tenaga Besar) itu menjadi terbelalak dan jerih. Itu adalah nama julukan seorang tokoh sesat yang diketahui semua orang. Lurah So cepat menghaturkan terima kasih dan mengundurkan diri. Pesta dilanjutkan dan berguci-guci arak disuguhkan ke meja Tay-lek Kwi-ong yang minum arak seperti orang minum air putih saja. Karena raksasa itu makan minum sendiri dan tidak membuat ulah, maka pesta berjalan terus dengan lancar dan para tamu tidak lagi memperhatikannya. Juga pihak tuan rumah sudah merasa tenang kembali karena orang yang ditakuti itu ternyata tidak mengganggu, hanya ingin ikut makan minum dan memberi sumbangan yang puluhan kali lebih berharga dari pada hidangan yang disuguhkan kepadanya.
Akan tetapi, tiba-tiba para tamu yang duduk di bagian luar ruangan itu menjadi panik, bahkan para penonton yang berada di luar pagar pekarangan juga banyak yang berlarian menjauhkan diri. Ketika Lurah So dan keluarganya bangkit dan melihat, ternyata yang muncul adalah dua belas orang berpakaian prajurit! Tentu saja mereka semua menjadi pucat karena mereka sudah tahu bahwa setiap kali pasukan keamanan pemerintah memasuki sebuah dusun, tentu mereka akan bertindak sewenang-wenang. Akan tetapi, karena dia seorang lurah yang merupakan ponggawa terendah dari kerajaan, diapun tergopoh menyambut, rombongan prajurit itu.
“Silahkan duduk, cu-wi (anda sekalian) yang mulia. Kebetulan kami sedang mengadakan pesta, mari silahkan cu-wi ikut menikmati hidangan,” kata Lurah So tergopoh-gopoh dan para pembantunya cepat menyiapkan sebuah meja besar untuk dua belas orang prajurit itu.
Para prajurit itu tersenyum mengangguk-angguk, memandang ke sekeliling. Para tamu wanita sudah ketakutan dan berusaha menyembunyikan diri. Kepala regu yang tinggi besar bermuka hitam segera memandang ke arah pengantin wanita dan dia tertawa bergelk.
“Ha-ha-ha, kiranya Lurah So sedang merayakan pernikahan anak perempuannya yang cantik. Mari, nona pengantin, sebelum engkau ikut dengan suamimu, mari menerima kehormatan dariku dan makan bersamaku!” Dia lalu melangkah lebar ke arah sepasang mempelai yang duduk bersanding dan tanpa banyak cakap lagi dia sudah memegang lengan pengantin wanita lalu menariknya. Pengantin pria berusaha mencegah, namun sebuah tendangan membuatnya terjengkang. Sementara itu, sebelas orang anak buah komandang itupun sudah memilih wanita masing-masing, menyeret wanita pilihan mereka dari ruangan bagian wanita sehingga terdengar jerit dan tangis mereka.
Melihat ini, Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi sudah marah bukan main. Tak pernah mereka sangka bahwa ada serombongan prajurit yang demikiian jahatnya. Mereka sudah hendak turun tangan menghajar para prajurit itu, akan tetapi mereka didahului oleh Tay-lek Kwi-ong. Kakak beradik yang berdiri di antara para penonton yang berada di luar pagar pekarangan itu menahan diri ketika melihat raksasa itu menggebrak meha dan berteriak dengan marah.
“Dari mana datangnya selosin monyet busuk yang berani mengacau di sini dan mengurangi selera makanku? Hayo kalian cepat menggelinding pergi dari sini kalau tidak ingin kupatahkan leher kalian satu demi satu!”
Tentu saja para prajurit itu marah sekali dan maklum bahwa merekalah yag dimaki sebagai monyet busuk. Komandan yang itu melotot dan melepaskan nona pengantin yang diseretnya tadi. Nona pengantin itu terisak lari kembali menghampiri suami dan ayahnya. Si komandan tidak memperdulikannya lagi dan dengan langkah lebar dia menghampiri meja di mana Tay- lek Kwi-ong duduk sambil minum araknya. “Keparat busuk! Engkau pemberontak, ya?” bentak si komandan sambil menudingkan telunjuknya kepada kakek brewok itu.
“Phuuuhhh. !” Tiba-tiba Tay-lek Kwi-ong menyemburkan arak dari mulutnya. Biarpun
hanya arak, akan tetapi karena disemburkan dengan kekuatan sin-kang, maka ketika mengenai muka si komandan, rasanya muka yang hitam itu seperti diserang ratusan batang jarum! Dia berteriak kesakitan dan menggunakan kedua tangan untuk menutupi mukanya yang pedih.
Pada saat itu, Tay-lek Kwi-ong sudah menggerakkan kakinya dan komandan itu kena tendangan di perutnya sehingga tubuhnya terjengkang dan dia mengaduh-aduh, tangan kiri memegangi perut, tangan kanan menutupi muka. Entah mana yang lebih nyeri, mukanya yang pedih atau perutnya yang mulas.
Sebelas orang prajurit menjadi marah. Mereka melepaskan wanita-wanita yang tadinya mereka paksa untuk menemani mereka makan minum dan dengan golok di tangan, mereka sudah mengurung dan menyerang Tay-lek Kwi-ong! Tentu saja semua tamu menjadi ketakutan dan mereka lari berserabutan meninggalkan tempat pesta yang kini berubah menjadi tempat perkelahian itu. Bahkan mereka yang menjadi penonton di luar pekarangan juga melarikan diri ketakutan. Hanya ada beberapa orang saja yang tinggal, yaitu mereka yang memiliki keberanian, termasuk tentu saja Bouw Ku Cin dan Bouw Mimi. Bahkan kakak beradik itu kini memasuki pekarangan untuk menonton perkelahian dari jarak lebih dekat.
Dan mereka kagum melihat sepak terjang kakek brewok raksasa tadi. Kakek itu menghadapi pengeroyokan sebelas orang prajurit yang memegang golok itu dengan tangan kosong saja. Jelas bahwa dia memandang rendah karena dia sama sekali tidak menyentuh golok besar yang berada di punggungnya. Akan tetapi, bacokan yang dilakukan bertubi-tubi itu tidak ada yang mengenai tubuhnya. Kaki tangannya bergerak, angin menyambar-nyambar dan sebelas orang itu bergelimpangan seperti daun-daun kering ditiup angin badai! Melihat ini, komandan muka hitam tadi yang kini sudah tidak begitu menderita karena nyeri di muka dan perutnya merasa jerih dan cepat dia memberi aba-aba, mendahului anak buahnya melarikan diri dari tempat itu. Tay-lek Kwi-ong mengejar mereka dengan suara tawanya, dan dia duduk lagi makan minum.
Lurah So menghampiri dan bersama sepasang pengantin, mereka memberi hormat dan mengucapkan terima kasih. Akan tetapi, melihat pengantin wanita, timbul gairah di hati Tay- lek Kwi-ong. Lengannya yang panjang terjulur dan tahu-tahu tangannya sudah menangkap pinggang pengantin itu dan sekali tarik saja wanita yang menjadi ketakutan itu telah didudukkan di sampingnya! Semua orang terkejut dan Lurah So, juga mantunya, dengan sura ketakutan mohon agar pengantin wanita dibebaskan.
“Ha-ha-ha, baru saja aku menyelamatkan nyawa kalian sekeluarga dari tangan selosin monyet busuk tadi, apakah kalian begitu pelit untuk menyenangkan hatiku? Aku hanya ingin mengajak nona pengantin makan minum. Nah, kalian pergilah dan sediakan lagi arak untukku!” Dengan sumpitnya, Tay-lek Kwi-ong menjepit sepotong daging dan menyuguhkannya ke depan mulut kecil pengantin wanita itu. “Manis, makanlah ini.”