"Yo-pangcu, sekarang kami mohon diri dan maafkanlah kelakuan kami yang tidak sepatutnya."
"Selamat jalan, Ji-wi Totiang dan sampaikan pesanku kepada Thian It Tosu bahwa pada saatnya nanti kami akan menerima undangannya dan menghadiri pertemuan itu."
Dua orang tosu itu lalu meninggalkan Thian-li-pang. Setelah mereka pergi, Tan Sian Li mendengus.
"Hemmm, kenapa para tosu Bu-tong-pai sekarang menjadi begitu pongah? Sikap tosu tadi tidak mencerminkan pimpinan yang baik. Mengapa engkau berjanji mau datang memenuhi undangan Thian It Tosu?"
Suaminya menghela napas panjang.
"Biarpun sikap tosu tadi tidak patut, akan tetapi aku tetap menghormat Thian It Tosu sebagai seorang tokoh yang lebih tua. Dalam suratnya dia menyatakan untuk mengundang semua perkumpulan yang berjiwa patriot untuk hadir. Dan aku akan menghadirinya, biarpun hanya untuk mencegah terjadinya penyerbuan ke istana yang tergesa-gesa, tidak ada manfaatnya bahkan hanya akan membuat kita semua menjadi buruan pemerintah saja."
Baru setelah dua orang tosu itu pergi, muncul Han Li. Gadis ini memandang kepada ayah ibunya, dan bertanya.
"Ayah dan Ibu, siapakah dua orang tosu tadi dan apa keperluan mereka?"
"Mereka adalah murid-murid Bu-tong"pai dan mereka mengundang kami untuk menghadiri pertemuan rapat yang hendak diadakan ketua Bu-tong-pai."
Jawab Yo Han sambil menghampiri patung dan mencabut pedang isterinya dari situ.
"Eh, kenapa pedang Ibu menancap di patung itu? Apa yang terjadi, Ibu? Engkau kelihatan seperti tidak senang hati!"
Han Li kembali bertanya, kini ditujukan kepada ibunya.
"Hemmm, seorang di antara dua tosu Bu-tong-pai tadi memperlihatkan ilmu golok terbangnya menantang ayahmu sehingga terpaksa ayahmu melayaninya."
"Tosu sombong itu menjemukan!"
Kata Tan Sian Li, masih mendongkol karena Bhok-im-cu tadi memandangnya dengan sinar mata kurang ajar.
"Sudahlah, urusan itu dihabiskan sampai di sini saja!"
Kata Yo Han dan mereka bertiga meninggalkan ruangan tamu itu.
Keng Han melakukan perjalanan cepat menuju ke barat. Dia masih membayangkan wajah Kwi Hong dan merasa kagum sekali kepada gadis itu. Seorang gadis yang hebat, pikirnya. Kalau saja dia tidak ingat akan kepantasan dan juga akan keselamatan gadis itu, tentu dengan senang hati dia menerima tawaran Kwi Hong yang menyatakan hendak ikut dan membantunya menuntut Dalai Lama yang telah menyuruh orang membunuh gurunya! Pada suatu hari, tibalah dia di sebuah dusun di daerah pegunungan. Ketika dia mendaki bukit itu, dari jauh dia sudah mendengar suara ribut-ribut di depan dan melihat orang-orang dusun berkumpul di luar dusun. Dia mempercepat jalannya dan berlari mendaki lereng.
Setelah tiba di sana dia tertegun. Mula-mula jantung"nya berdebar karena mengira bahwa Kwi Hong yang mengamuk itu, akan tetapi ternyata bukan, melainkan seorang gadis lain yang sama cantiknya dengan Kwi Hong. Bahkan gadis ini agaknya memiliki gerakan ilmu pedang yang lebih hebat daripada ilmu pedang yang dikuasai Kwi Hong juga jauh lebih ganas. Gadis itu dikeroyok oleh sedikitnya tiga puluh orang, akan tetapi berbeda dengan ketika Kwi Hong dikeroyok para murid Pek-houw Bu-koan dan yang membuat dia terpaksa turun tangan membantu, gadis ini agaknya sama sekali tidak perlu dibantu! Setiap kelebatan pedangnya merobohkan seorang pengeroyok, bukan hanya melukai ringan, melainkan merobohkan dan menewaskannya seketika! Melihat orang-orang dusun yang menonton bersorak setiap kali ada pengeroyok yang roboh,
Keng Han mengambil kesimpulan bahwa gadis itu tentulah orang yang dianggap baik oleh penduduk dusun dan mungkin sekali pembela mereka. Dan melihat para pengeroyok itu rata-rata orang yang kasar dan buas, dia lalu mengambil keputusan untuk menjadi penonton saja. Karena di situ terdapat banyak penduduk dusun, agar tidak menarik perhatian, diam-diam dia melompat ke atas pohon besar yang berada dekat dengan tempat pertempuran itu. Dari atas pohon Keng Han dapat melihat lebih jelas lagi dan kini nampak olehnya betapa hebatnya gerakan gadis itu. Gadis itu lebih tua dari Kwi Hong, lebih matang dan dewasa. Kwi Hong masih dapat dikatakan seorang gadis remaja. Dan gerakan pedangnya yang amat hebat itu diimbangi pula dengan gerakan tangan kirinya yang menyambar-nyambar.
Sekali tangan kiri menyambar dan mengenai tubuhlawan, maka pengeroyok itu tentu terpelanting dan tidak mampu bangkit kembali! Dan agaknya gadis itu berkelahi dengan gembira. Mulutnya yang amat manis itu tersenyum-senyum, se"nyum mengejek dan sepasang matanya yang bersinar-sinar seperti bintang kejora itu berseri. Sudah dua puluh orang lebih yang malang melintang menjadi korban amukan gadis itu. Sisanya tinggal sepuluh orang anak buah dan dua orang pimpinan mereka. Dua orang pemimpin ini adalah dua orang pria setengah tua yang bertubuh tinggi besar dan wajahnya menakutkan, bengis dan kasar. Mereka menggunakan golok besar sebagai senjata. Melihat anak buahnya banyak yang menjadi korban amukan gadis itu, dua orang itu lalu melompat ke belakang dan memberi aba-aba kepada anak buahnya,
"Pergunakan paku-paku beracun!"
Mendengar ini, agaknya para anak buah baru menyadari dan ingat akan senjata rahasiaa mereka yang ampuh. Mereka juga berlompatan ke belakang, dan serentak mereka mengeluarkan senjata rahasia itu dan menghujankan ke arah gadis itu. Gadis itu sama sekali tidak menjadi gugup. Pedangnya diputar dan paku-paku itu rontok, dan ketika tangan kirinya bergerak, ia sudah menangkap beberapa batang paku beracun itu dan begitu ia menggerakkan tangan menyambitkan paku-paku itu ke arah penyerangnya, empat orang terjungkal roboh oleh senjata mereka sendiri. Agaknya gadis itu marah diserang dengan cara curang. Tubuhnya tiba-tiba melayang bagaikan seekor burung ke arah dua orang pimpinan itu.
Mereka terkejut dan mengangkat golok untuk menangkis. Namun, pedang itu bergerak cepat sekali dan tahu-tahu dua orang pimpinan itu telah roboh dengan dada tertusuk pedang. Bukan main hebatnya gerakan itu. Menyerang dengan tubuh masih di udara, sekaligus merobohkan dua orang pemimpin para pengeroyok yang melihat gerakan golok mereka juga bukan orang-orang lemah. Keng Han bergidik. Gadis itu lihai bukan main, akan tetapi juga kejam tak mengenal ampun. Sisa para pengeroyok kini melarikan diri cerai berai dan gadis itu tidak mengejar mereka. Orang-orang dusun yang tadi menjadi telah roboh dengan dada tertusuk pedang. Bukan main hebatnya gerakan itu. Penonton, kini serentak menjatuhkan diri berlutut ke arah gadis itu, dipimpin oleh seorang tua yang agaknya menjadi kepala dusun.
"Kami semua menghaturkan terima kasih atas pertolongan Lihiap dengan membasmi gerombolan penjahat yang selalu mengganggu kehidupan kami. Akan tetapi, bagaimana kalau kawan-kawan mereka datang henpak membalas dendam, Lihiap?"
Gadis itu mencibirkan bibirnya, membersihkan pedangnya pada pakaian para korbannya lalu menyimpan kembali pedangnya di pinggang, baru ia berkata,
"Hemmm, kalian ini memang pengecut-pengecut besar! Kalian mempunyai banyak laki-laki mengapa membiarkan diri ditekan dan diganggu gerombolan perampok itu? Kalau kalian bersatu, jumlah kalian ratusan orang, tentu akan mampu melakukan perlawanan! Mulai sekarang bersatulah dan kalau ada gerombolan perampok datang mengganggu, lawanlah. Kalau ada yang hendak membalas dendam katakan saja bahwa yang membunuh mereka adalah aku, Bi Kiam Niocu (Nona Pedang Cantik). Nah, sekarang urus dan kuburlah mereka semua ini, aku harus pergi!"
Gadis itu melangkah pergi dan kebetulan lewat di bawah pohon di mana Keng Han bersembunyi. Tiba-tiba ia ber"henti dan tersenyum-senyum..
"Engkau yang di atas pohon, tidak lekas turun?"
Keng Han terkejut akan, tetapi diam saja, pura-pura tidak mendengar. Dia merasa malu telah ketahuan persembunyiannya, juga dia khawatir akan terjadi kesalah-pahaman kalau dia turun. Maka dia diam saja.
"Nonamu bilang turun, engkau tidak cepat turun?"
Gadis itu kembali berseru. Para penduduk yang mendengar ini sudah cepat memandang ke atas pohon dan kini mereka melihat seorang pemuda duduk nongkrong di atas cabang pohon, mereka memandang dengan hati tegang, tidak tahu siapa pemuda itu, kawan dari para penjahat tadi ataukah bukan. Keng Han sudah terlanjur diam saja. Dia merasa malu untuk melompat turun dan tiba-tiba tubuh gadis itu melayang ke atas. Tidak nampak kapan ia men"cabut pedang akan tetapi tiba-tiba ada sinar terang menyambar ke arah cabang pohon.
"Krakkk....?"
Cabang pohon itu terpotong dan jatuh ke bawah. Tentu saja tubuh Keng Han ikut melayang ke bawah. Akan tetapi tubuh pemuda itu tidak terbanting karena Keng Han sudah dapat menguasai dirinya dan hinggap di atas tanah dengan ringan. Gadis itu kini sudah berada di depannya. Pedangnya sudah disarungkannya kembali dan sepasang matanya meman"dang dengan liar dan penuh ancaman.
"Engkau anak buah mereka?"
Tanyanya dan sikapnya siap untuk menyerang sehingga diam-diam Keng Han juga bersiap siaga untuk membela diri.
"Sama sekali bukan. Aku seorang perantau yang kebetulan lewat dan melihat pertempuran tadi aku lalu menonton dari atas pohon."
Agaknya wanita itu dapat membedakan pemuda yang gerak-geriknya lembut ini dengan para anggauta gerombolan yang kasar dan buas, maka pandang matanya menjadi lembut.
"Hemmm, engkau tidak terbanting jatuh, agaknya engkau memiliki kepandai"an ilmu silat yang boleh juga."
"Ah, tidak, aku hanya belajar satu dua jurus untuk membela diri dari tangan orang-orang kejam."
"Apa? Kau berani mengatakan aku orang kejam?"
Wanita itu membentak marah.
"Tidak, hanya memang kenyataannya engkau kejam sekali, Nona. Orang demikian banyaknya kaubunuh tanpa berkedip mata, apalagi namanya itu kalau tidak kejam?"
"Engkau melihat bagaimana mereka, perampok-perampok itu melakukan terhadap penduduk dusun? Mereka menperkosa, menyakiti, membunuh dan merampok! Sudah sepatutnya mereka kubunuh! Dan kau berani bilang aku kejam?"
"Ya, memang engkau kejam sekali."
Kata Keng Han bersikeras karena sudah tidak dapat mundur lagi.
"Setan cilik! Tanyakan kepada penduduk dusun ini! Heiii,warga dusun! Adakah di antara kalian yang menganggap aku kejam karena membunuhi para perampok ini?"
Serentak mereka semua menjawab.
"Tidaaak! Yang kejam adalah para perampok itu!"
"Nah, kau dengar itu, bocah kepala batu?"
"Aku tidak mau ikut-ikutan dengan mereka. Aku tadi melihat betapa kau membunuhi orang-orang yang tidak mampu melawanmu dan itu sungguh kejam sekali!"
"Bagus, kalau begitu hanya ada dua pilihan untukmu. Pertama, kau ambil sebatang golok mereka dan membunuh diri di depanku atau, engkau boleh membela diri dari seranganku, aku yang akan membunuhmu!"