Pusaka Pulau Es Chapter 21

NIC

Katanya agak ketus karena hatinya tersinggung. Agaknya Cia Kun menyadari kesalahannya dan dia segera berkata,

"Akan tetapi di sini ada setangkai bunga yang tidak ada duanya, bahkan di istana juga tidak ada, Li-moi. Bunga itu amat cantik jelita, membuat hatiku terkagum-kagum, Li-moi."

"Ah, benarkah?"

Han Li kelihatan girang dan memandang ke sekelilingnya.

"Bunga mana yang kau maksudkan itu, Toako?"

"Bunga itu adalah engkau, Li-moi. Dirimu yang amat mengagumkan hatiku! Dan orang tua kita sedang membicarakan urusan perjodohan kita, Li-moi. Tidakkah hatimu senang sekali, seperti juga perasaan hatiku?"

Han Li mengerutkan alisnya dan memandang pemuda itu dengan tajam.

"Kun"ko aku tidak suka mendengar omonganmu ini! Pergilah dan jangan ganggu aku lebih lama lagi!"

Cia Kun hendak membantah akan tetapi pada saat itu datang pelayan berlarian yang melapor bahwa Cia Kongcu dipanggil oleh orang tuanya, karena hendak diajak pulang. Cia Kun merasa heran, akan tetapi dia segera memberi hormat kepada Han Li sambil berkata,

"Maafkan aku, Li"moi. Kita berpisah dulu, sampai bertemu kembali."

Han Li hanya mengangguk dan tidak pedulikan lagi pemuda itu yang meninggalkan taman. Cara pemuda itu membandingkan taman bunganya dengan taman istana, kemudian cara pemuda itu menyatakan perasaan hatinya, sungguh mendatangkan kesan tidak menyenangkan di dalam hatinya. Ia akan membantah ayah bundanya kalau sampai ia dijodohkan dengan pemuda itu. Akan tetapi hatinya merasa lega karena ayah bundanya tidak pernah menyinggung-nyinggung soal perjodohan itu dalam percakapan mereka.

Tiga hari kemudian, datang dua orang tosu dari Bu-tong-pai berkunjung ke Thian"li-pang. Karena Thian-li-pang di bawah bimbingan Yo Han memang mempunyai hubungan baik dengan semua partai dan perguruan silat besar termasuk Bu-tong"pai, maka Yo Han sendiri yang menyambut kunjungan kedua orang tosu utusan Bu-tong-pai itu dan mempersilakan mereka berdua memasuki ruangan tamu. Yo Han menyambut dua orang tamu itu bersama isterinya dan ketika mempersilakan mereka duduk, dia mengamati kedua orang itu. Dua orang tosu yang nampak gagah dan bertubuh tegap. Yang seorang berusia kurang lebih lima puluh tahun, yang kedua lebih muda beberapa tahun. Yang pertama bertubuh tinggi kurus dengan sepasang mata sipit sekali, sedangkan yang lebih muda bertubuh tinggi besar dan memiliki mata yang tajam dan agak liar. Terutama sekali mata itu seperti hendak menelan bulat-bulat nyonya rumah yang cantik jelita itu. Diam-diam Yo Han merasa tidak senang dengan sikap tosu yang lebih muda itu.

"Yo-pangcu (ketua Yo),"

Kata yang lebih tua sambil mengangkat kedua tangan depan dada.

"pinto (saya) bernama Thian-yang-cu dan ini adalah sute pinto bernama Bhok-im-cu. Pinto berdua mendapat perintah dari suhu Thian It Tosu untuk datang berkunjung ke sini dan menyampaikan salam suhu kepada Yo"pangcu sekeluarga."

Yo Han tersenyum dan membalas penghormatan itu.

"Totiang berdua, terima kasih atas kunjungan Ji-wi To-tiang (totiang berdua) dan salam dari Thian It Tosu telah kami terima dengan baik. Sampaikan juga salam hormat kami kepada beliau kalau Ji-wi pulang nanti. Dan selain menyampaikan salam, ada kepentingan lain apa pula yang membawa Ji-wi datang berkunjung ini?"

"Memang ada keperluan lain, Pangcu. Kami membawa sepucuk surat dari guru kami untuk disampaikan kepada Pangcu."

Kata Thian-yang-cu sambil mengeluarkan sesampul surat yang dia berikan kepada Yo Han.

Sementara itu, Tan Sian Li mengerutkan alisnya karena beberapa kali dia memergoki Bhok-im-cu memandang kepadanya dengan mata lahap sekali. Ia merasakan benar betapa mata tosu itu mengaguminya dan hal ini dianggapnya sama sekali tidak pantas, apalagi tamu itu seorang tosu. Setelah, menerima surat itu, Yo Han membacanya. Alisnya berkerut dan pandang matanya mengandung keheranan ketika dia menyerahkan surat itu kepada isterinya untuk dibaca. Juga Tan Sian Li merasa heran setelah membaca surat itu. Di dalam surat yang ditulis sendiri oleh Thian It Tosu, dinyatakan bahwa Bu-tong"pai"

Mengajak Thian-li-pang untuk memberontak dan bergerak. Waktunya sudah tiba dan untuk apa menunda dan menanti lagi, demikian isi surat itu.

Nadanya keras dan penuh kebencian kepada pemerintah Mancu. Yang membuat suami isteri itu heran adalah bahwa biasanya Thian It Tosu bersikap lunak dan biarpun berjiwa patriot seperti mereka, namun tosu tua itu tidak pernah menyatakan keinginannya untuk memberontak sekarang. Kekuatan pihak pemerintah masih terlampau besar sedangkan para pejuang belum bersatu, bahkan banyak golongan pendekar masih mendukung pemerintah Mancu. Bergerak dan memberontak sekarang sukar diharapkan hasilnya dan sama dengan bunuh diri. Itulah sebabnya mereka terheran-heran membaca surat yang keras itu, yang mengajak mereka untuk memberontak dan bergerak sekarang juga. Setelah isterinya selesai membaca surat dan mengembalikannya kepadanya, Yo Han menyimpan surat itu dan memandang kepada kedua orang utusan itu.

"Apakah Ji-wi Totiang telah diberi"tahu akan isi surat ini?"

"Tentu saja sudah, Pangcu!"

Kata Bhok-im-cu dengan suara lantang dan mulutnya tersenyum, matanya kembali mengerling genit ke arah nyonya rumah.

"Kami berdua adalah murid-murid utama yang dipercaya oleh suhu, maka selain mengirimkan surat, kami juga diberi wewenang untuk membicarakan urusan dalam surat itu dengan Pangcu."

"Hemmm, begitukah? Nah, kalau begitu, ingin kami bertanya, dengan alasan apakah Bu-tong-pai hendak mengajak kami untuk bergerak sekarang?"

Kini Thian-yang-cu yang menjawab.

"Menurut suhu, alasannya adalah bahwa sekarang tiba saatnya yang amat baik. Kaisar Cia Cing yang sekarang ini tidak dapat disamakan dengan mendiang Kaisar Kiang Liong. Kedudukannya lemah, apalagi di mana-mana terjadi pemberontakan dan perlawanan dari suku-suku bangsa liar maupun dari bajak laut. Kalau sekarang kita menyerbu dan dapat membunuh kaisar, maka pemberontakan kita akan berhasil baik."

Yo Han menggeleng kepalanya.

"Aku sangsikan benar akan keberhasilan itu. Kalau hanya dengan menyerbu istana dan membunuh kaisar saja lalu berarti dapat memenangkan perang dan menggulingkan pemerintah Mancu, ah, hal itu hanya merupakan lamunan kosong belaka. Kita harus ingat akan ratusan ribu bala tentara pemerintah yang berada di luar istana. Mereka itu dapat menyerbu dan menghancurkan kita, kemudian dalam sehari saja mereka dapat mengangkat seorang kaisar baru. Lalu apa artinya pengorbanan kita? Tidak semudah itu, Totiang!"

Bhok-im-cu mengerutkan alisnya yang tebal dan dia bangkit berdiri.

"Apakah itu berarti bahwa Pangcu tidak menyetujui niat guru kami yang berjiwa patriot? Demi kemerdekaan bangsa, kami rela mempertaruhkan nyawa. Kalau Pangcu merasa takut, Pangcu boleh membantu di belakang saja dan biarkan kami yang maju di depan!"

Biarpun ucapan itu memanaskan hati, Yo Han tetap tersenyum dan bersikap tenang.

"Totiang, ingatlah bahwa perjuangan kita ini bukan sekadar hendak menjatuhkan seorang kaisar untuk diganti kaisar baru, melainkan mengusir penjajah dari tanah air. Untuk itu, kita harus mampu menggerakkan seluruh kekuatan para pejuang dan bukan hanya membunuh kaisarnya, melainkan mengalahkan semua kekuatan mereka dan mengusir mereka dari tanah air. Dan untuk itu, kami rasa waktunya belum tepat. Kita masih belum bersatu, dan di belakang kita rakyat belum siap."

"Kalau menanti seperti yang Pangcu katakan itu, sampai mati pun kita tidak akan pernah bergerak. Membunuh kaisar berarti mengacaukan keadaan mereka. Sekali lagi, kalau Pangcu takut...."

"Bhok-im-cu Totiang"

Bentak Yo Han memotong kata-kata orang itu.

"Mengapa aku mesti takut? Kalau Totiang tidak takut, aku pun tidak takut. Apa yang dapat Totiang lakukan, aku pun tentu dapat! Aku bukan takut, hanya menggunakan perhitungan akal, bukan hanya ingin mati konyol seperti seorang laki"laki yang tolol!"

Bhok-im-cu menjadi merah mukanya.

"Bagus! Sudah lama pinto mendengar akan kehebatan Pendekar Tangan Sakti Yo Han. Pinto hanya memiliki sedikit saja kepandaiah, akan tetapi kalau Yo-pangcu dapat menyamainya, biarlah pinto mengaku kalah!"

Bhok-im-cu sudah mencabut sebatang golok. Melihat ini, Thian-yang-cu terkejut dan hendak mencegah sutenya.

"Sute, jangan bersikap kasar!"

Celanya.

"Suheng, aku hanya ingin minta petunjuk Yo-pangcu saja. Jangan khawatir!"

Jawab Bhok-im-cu. Di sudut ruangan itu, terpisah sedikitnya dua puluh meter dari situ, terdapat sebuah orang-orangan dari kayu. Patung ini gunanya untuk belajar ilmu totok bagi murid-murid Thian-li-pang dan sekali Bhok-im-cu menggerakkan tangannya, goloknya sudah meluncur dengan cepat sekali dan tahu-tahu golok itu sudah menancap di ulu hati patung itu, menancap sampai setengahnya! Melihat ini, Yo Han tersenyum. Harus diakui bahwa tosu itu selain pandai sekali menyambit dengan golok, semacam ilmu yang disebut hui-to (golok terbang), juga memiliki tenaga yang cukup hebat sehingga dalam jarak sejauh itu goloknya mampu menancap sampai setengahnya pada patung kayu yang keras itu.

"Pinjam pedangmu!"

Kata Yo Han kepada isterinya. Tan Sian Li yang berjuluk Si Bangau Merah ini memang selalu membawa dua batang suling yang berselaput emas. Ia mencabut dan menyerahkan pedangnya kepada suaminya. Yo Han menerima pedang itu dan tanpa membidik pula dia sudah menggerakkan tangan, melontarkan pedang itu ke arah patung. Pedang meluncur bagaikan sebatang anak panah, mengeluarkan suara berdesing panjang.

"Sing.... cringgg....!"

Pedang itu dengan tepat mengenai gagang golok sehingga gagang golok terbelah dua, akan tetapi pedang masih meluncur dan tepat menancap pada patung itu, dekat sekali dengan golok dan pedang itu menembus sampai ke gagangnya!

"Maaf, Totiang, kalau aku tanpa sengaja merusak gagang golokmu. Nah, ambillah golokmu itu!"

Dengan muka merah Bhok-im-cu meng"hampiri patung itu dan mencabut goloknya yang sudah pecah gagangnya itu, kemudian menghampiri tuan rumah dan memberi hormat.

"Kepandaian Yo-pangcu memang bukan berita kosong belaka. Pinto kagum sekali."

Sementara itu, Thian-yang-cu yang mendongkol melihat sikap sutenya, sudah memberi hormat dan berkata,

Posting Komentar