Pertapa itu mengelus elus jenggotnya dan menarik napas panjang berkali-kali. la duduk termenung dan pandangan matanya melayang jauh.
"Kalau begitu, terpaksa aku harus memaksa tulang belulangku yang sudah reyot dan lapuk ini untuk turun gunung dan bekerja sendiri. Ah... tidak kusangka akan menjadi demikian nasibku..... . Tiga orang murid tersayang kugembleng dan kulatih selama.... belasan tahun.. bersusah payah....... tanpa....mengharapkan pembalasan sedikit jugapun .... dua orang dari pada mereka menikam hatiku dan melarikan diri, siap merusak nama baikku, nama baik Kim-liong-pai. Sekarang kau pula tidak bersedia membelaku, ah Su-couw tentu akan menerima rohku dengan teguran hebatl" Kakek ini lalu menundukkan mukanya dan untuk menyembunyikan sesuatu dari pandangan mata Tiong Han, akan tetapi pemuda itu sudah melihat bahwa suhunya telah mengalirkan dua titik air mata. Suatu hal yang amat langka terjadi, karena ia maklum betapa suhunya ini pantang mengalirkan air mata.
"Suhu..." kata Tiong Han terharu.
"Teecu sama sekali bukan tidak mau membela suhu, karena suhu tentu sudah maklum dan cukup mengerti bahwa teecu bahkan bersedia membela suhu dengan taruhan nyawa sekalipun! Hanya yang membuat tecu ragu ragu, sndah patutkah Tiong Kiat dibunuh, karena kesalahannya terhadap teecu yang sudah lama teocu maafkan itu?"
"Sudahlah, sudahlah.. mana kau ada... hati untuk mengganggu adikmu yang tercinta walaupun ia amat jahat dan menyeleweng? Kalau ia sampai mencemarkan nama Kim-liong-pai, kaupun tidak akan terbawa bawa tentu saja kau lebih berat kepada adikmu daripada kepadaku ataupun kepala Kim-liong- pai. Sudahlah ......
"
Bukan main perihnya rasa hati Tiong Han mendengar sindiran suhunya ini. Ia lalu memberi hormat lagi, kemudian ia berdiri dan berkata,
"Suhu, teecu bermohon diri. Tecu hendak mencari Tiong Kiat dan hendak minta kembali pedang pusaka Ang-cong-klam, juga tecu hendak mencegah segala kejahatan atau penyelewengannya, kalau perlu dengan nyawa teecu!" Setelah berkata demikian Tiong Han lalu menggerakkan tubuh hendak berlari turun.
"Tiong Han, tunggul" tiba-tiba suhunya membentak dm ketika pemuda itu memutar tubuhnya, Lui Thian Sianjin melemparkan sesuatu kepadanya. Tiong Hin cepat menyambut benda itu dan ternyata bahwa yang diberikan kepadanya adalah sebuah kitab yang terbungkus dengan sutera putih.
"Pedang Ang coa-kiam telah berada di tangan Tiong Kiat. Satu-satunya benda yang dapat melawan pedang itu hanyalah kitab ini. Pelajarilah baik-baik dan dengan adanya kitab itu di tanganmu, maka kedudukanmu dalam Kim liong-pai masih lebih tinggi dari pada pemegang pedang Ang coa kiam. Menurut peraturan di Kim.liong-pai, seperti kau juga sudah mengetahuinya, sebagaimana yang dipesankan dahulu oleh mendiang sucouw kita, semua murid Kim-liong-pai harus tunduk dan taat kepada pemegang dua buah pusaka Kim-liong-pai, pertama-tama sekali kepada pemegang dari kitab ilmu pedang Ang-coa-kiam-coan-si sebagai pemimpin tertinggi, dan kedua kepada pemegang pedang Ang.coa kiam sebagai pemimpin kedua. Tiong Kiat juga tahu akan peraturan ini dan kalau dia hendak mempergunakan haknya sebagai pemegang pedang Ang-coa kiam, maka menurut aturan, la masih harus tunduk dan taat kepada pemegang kitab Ang-coa-kiam-coan-si . Nah, kau pergilah."
Adapun Can Kong, ayah dari Can Kui Hwa, ketika mendengar berita tentang puterinya yang melarikan diri sama Sim Tiong Kiat menjadi marah sekali. Tanpa dapat dicegah lagi oleh isterinya yang menangis dan meratap lalu membawa pedangnya keluar dari rumah untuk mencari anaknya dan Tiong Kiat.
"Terkutuk!" makinya dengan muka merah "Aku harus mencarl dan membunuh sepasang anjing itu!" Ayah ini merasa malu sekali malu terhadap suhunya, malu terhadap calon mantunya, dan malu kepada diri sendiri. Bagaimana puteri tunggalnya bisa melakukan perbuatan yang rendah itu? Dan kemarahannya terhadap Tiong Kiat memuncak.
Dua bayangan yang cepat sekali gerakannya berlari bagaikan dua ekor burung garuda melayang turun dari Gunung Liong-san. Kalau dilihat dail jauh, mereka ini nampak bagaikan dua ekor burung saja dan bagaikan dua titik yang makin lama makin membesar. Akan tetapi setelah kedua sosok bayangan ini datang dekat, ternyata mereka adalah sepasang orang muda dan elok sekali, sepasang pemuda dan pemudi yang amat sedap dilihat karena mereka ini benar-benar tampan dan cantik.
Pemuda itu adalah Sim Tiong Kiat, pemuda yang berusia dua puluh tahun yang amat tampan. Tubuhnya sedang, dadanya bidang, mukanya yang bundar dengan dagu tajam itu berkulit putih bersih kemerah-merahan bagaikan muka seorang wanita. Sepasang matanya berkilat-kilat dan bersinar tajam sekali, dengan gerakan yang liar dan tiada hentinya bergerak.
Alisnya tebal dan panjang menghitam, nampak makin jelas pada wajahnya yang putih bagaikan dicat. Hidungrya mancung dan bibirnya merah den berbentuk indah. Benar benar seorang pemuda yang amat cakap dan tampan. Hanya tarikan mulut dan dagunya saja yang membayangkan kegagahan dan ketinggian hati, sikap mukanya selalu memandang rendah dan mengejek orarg lain yang dipandangnya. Pakaiannya berwarna biru dengan ikat kepala dan pinggir leher berwarna merah menambah kegagahannya. Sarung pedang yang Indah sekali tergantung di pinggang kirinya. Inilah Sim Tong kiat, murid dari Kim-liong-pai yang melarikan diri itu, dan pedang ynng tergantung di pinggangnya itu sdalnh pedang Ang-coa-kiam, pedang pusaka Kim liong-pai yang dicuri dan dibawanya pergi.
Dara yang berjalan di sebelah kirinya cantik sekali. Wajahnya manis dan potongan tubuhnya langsing dan penuh hampir mendekati sebutan montok. Ikat kepalanya biru, pakaiannya merah, agak kehitaman. Di atas telinga kanannya terhias oleh bunga bungaan dari sutera yang indah. Bibirnya selalu tersenyum manis dan sepasang matanya kocak, kalau mengerling nampak nyata kegenitannya, kegenitan yang tidak menjemukan, bahkan yang merupakan senjata istimewa dari pada kecantikannya, karena sukarlah bagi seorang pria untuk bertahan menghadapi serangan kerling semanis itu. Gadis itu bukan lain adalah sumoi (adik seperguruan) dari Sim Tiong Kiat yang bernama Can Kui Hui, puteri tunggal dari Can Kong.
Sebagaimana telah dituturkan di bagian depan, biarpun oleh suhu dan ayahnya ia di tunangkan dengan Tiong Han namun di dalam hatinya, Kui Hwa, tidak menyetujui pertunangan ini, karena semenjak kecil ia telah tertarik kepada Tiong Kiat. Setelah menjadi dewasa rasa suka ini berobah menjadi cinta kasih yarg mendalam. Watak Tiong Kiat yang gembira dan jenaka, cocok sekali dengan wataknya, tidak seperti Tiong Han yang pendiam dan bersikap sungguh-sungguh. Apalagi dari fihak Tiong Kiat ada jawaban maka kakak beradik seperguruan ini saling jatuh cinta dan makin lama hubungan mereka makin erat.
Sungguh amat disayangkan bahwa gadis y"ng cantik itu memiliki sifat genit, dan demikian pula Tiong Kiat mempunyai watak yang mata keranjang. Hubungan mereka yang amat erat pergaulan mereka yang bebas lepas di atas puncak Liong san, kesempatan-kesempatan yang terbuka dan watak mereka yang romantis merupakan kekuatan yang maha besar mendobrak daya tahan iman mereka yang muda. Ditambah lagi oleh kata-kata manis dari Tiong Kiat yang agaknya berbakat pula untuk mencumbu rayu wanita, maka jatuhlah hati Kui Hwa. Mereka lupa daratan, tak acuh kepada bisikan-bisikan dan teguran hati nurani sendiri dan akhirnya merela melakukan hubungan yang melanggar batas-batas kesopanan dan kesusilaan!
Sesungguhnya mereka tidak ada niat sama sekali untuk lari minggat dari puncak gunung itu. Sungguhpun Kui Hwa amat mencintai Tiong Kiat, namun ia tidak berani membantah kehendak suhu dan ayahnya dalam hal ikatan jodohnya dengan Tiong Han. Akan tetapi, ketika pada malam hari itu tanpa disangka sangka Tiong Han melihat mereka berdua sedang berkasih-kasihan, keduanya menjadi malu dan gelisah sekali. Memang Tiong Han segera pergi dan berlaku biasa pura-pura tidak melihat mereka, namun mereka tetap saja takut kalau-kalau Tiong Han akan melaporkan hal itu kepada Lui Thian Sianjin atau kepada Can Kong.
Demikianlah mereka lalu mengambil keputusan untuk minggat saja, Untuk menjaga agar kelak tidak menghadapi kemurkaan Lui Thian Sianjin dan juga karena memang suka kepada pedang pusuka Ang coa kiam, Tiong Kiat lalu mencuri pedang itu, bahkan secara kurang ajar dan berani sekali meninggalkan surat untuk suhunya, mengakui terus terang bahwa dia mengambil pedang pusaka dan bahwa ia dan sumoinya akan pergi karena telah saling menyinta.
"Suheng, bagaimana kalau twa-suheng (kakak seperguruan tertua) mengejar kita?" Kata Kui Hwa sambil memegang tangan Tiong Kait dengan sikap manja ketika mereka berjalan berdampingan di dalam sebuah hutan di kaki Gunung Liong san.
"Hwa moi, mengapa kau takut? Han-ko tidak akan mengejar kita, karena tidak tahukah kau bahwa dia sebenarnya juga tidak menaruh rasa cinta kepadamu, kalau bukan demikian mengapa dia tidak menegur kita ketika dia melihat perhubungan kita? Pula kalau sampai dia mengejar juga apa sih yang harus ditakuti? Menghadapi kau saja belum temu dia akan menang, apalagi terhadap aku. Dan masih ada pokiam (pedang mustika) ini"
"Takut sih tidak, koko (kanda). Akan tetapi......" Kui Hwa menahan langkahnya dan hendak menundukkan mukanya yang bersemu merah.
Tiong Kiat juga berhenti dan juga memegang tangan kekasihnya itu "Akan tetapi apa.. moi... moi?"
"Kalau twa-suheng datang, aku.... aku merasa malu. Bukankah aku sudah dipertunangkan dengan dia?. Aku .... .... aku malu,"
Tiong Kiat merenggutkan tangannya dari tangan Kui Hwa dan keningnya berkerut,
"Kau menyesal? Kalau kau masih menyayangkan pertunanganmu dengan dia kau boleh kembali"
Terbelalak mata Kui Hwa ketika ia memandang wajah pemuda itu. Kemudian melangkah maju dan memeluk kekasihnya sambil menjatuhkan jidat pada dada Tiong Kiat.
"Tega benar kau berkata begitu kepadaku, koko. Mengapakah kau tidak percaya kepadaku? Masih belum cukupkah pengorbananku? Aku memutuskan pertunangan yang telah dijadikan oleh suhu dan ayah, telah meninggalkan suhu dan meningalkan ayah untuk ikut padamu, telah dengan rela menyerahkan jiwa raga kepadamu, kini tega benar kau mengeluarkan kata-kata seperti itu"
Tiong Kiat mengelus-elus kepala Kui Hwa dan membelai rambutnya dengan sentuhan mesra,
"Hwa moi, kita sudah bersumpah sehidup semati, dengan disaksikan oleh bulan dan bintang kita telah menjadi suami isteri, mengapa kau masih mau memperdulikan orang lain? Biarkan Han-ko datang mengejar kalau ia berani. Kau jangan ikut-ikut, aku sendiri yang akan menghadapinya"
Kui Hwa mempererat pelukanrya dan bisiknya,
"Kekasihku.. aku tak dapat mencintai orang lain, dan aku hanya menyerahkan nasib hidupku kepadamu. Aku akan turut kepadamu, ke mana juapun kau pergi! Aku bersedia hidup sengsara asal saja berada di sampingmu. Hanya satu hal ...jangan sekali-kali kau menyia-nyiakan cintaku, koko jangan sekali-kali kau bermain gila dengan wanita lain. Kalau terjadi hal seperti itu, akan kubunuh wanita itu dan aku akan meninggalkanmu!"