Pedang Ular Mas Chapter 87

NIC

Sorenya, habis bersantap, Sin Cie lantas bersiap-siap untuk pergi ke panggung Ie Hoa Tay yang kesohor. Ciau Kong Lee dan Ciau Wan Jie menyatakan suka turut, katanya untuk sebisa-bisanya mengakurkan itu kedua saudara seperguruan. Ceng Ceng juga ingin turut, dengan maksud membantui sahabat ini.

Sin Cie tampik semua kebaikan itu. Kong Lee dan puterinya dapat dikasi mengerti, tidak demikian dengan Ceng Ceng, yang lantas saja menjebi dan merengut.

"Mereka itu adalah jiesuko dan jiesusoku," Sin Cie kasi mengerti, "aku telah ambil putusan, lebih suka aku kena dihajar tapi tidak nanti aku akan balas menyerang, maka itu, apabila kau saksikan itu, pasti kau tak senang dan gusar, satu kali kau gusar, apakah kau tidak jadi bikin kacau urusanku?"

"Kau boleh mengalah sampai tiga serangan, mengapa kau tidak hendak membalasnya?" tanya Ceng Ceng, yang penasaran.

"Aku hendak coba pelajaran yang kau ajari aku, aku ingin saksikan mereka mampu atau tidak menyerang kepadaku," Sin Cie bilang.

"Jikalau begitu, lebih-lebih aku ingin menyaksikannya!" si nona mendesak. "Aku janji padamu aku tidak akan turut bicara."

"Bagaimana kalau kau berpura-pura gagu?" tanya Sin Cie sambil tertawa.

Nona itu manggut.

"Baik, aku akan berpura-pura gagu!" katanya.

Tak dapat Sin Cie tolak nona yang biasa dimanjakan ini, terpaksa ia mengajaknya. Waktu ia mau pergi, ia cari Bhok Siang Toojin dikamarnya, untuk pamitan, akan tetapi si imam masih saja tidur, beberapa kali dia dipanggil-panggil, tidak juga dia mendusi, hingga kedua anak muda ini terpaksa tinggalkan dia.

Ciu San juga entah telah pergi kemana.

Dua-dua, Sin Cie dan Ceng Ceng sudah kenal baik kota Lamkhia, tak susah mereka cari panggung Ie Hoa Tay. Mereka pun pergi dengan menunggang kudam dengan meminjam dua ekor kudanya keluarga Ciau.

Pada kira-kira jam sebelas malam Barulah dua pemuda ini sampai di Ie Hoa Tay, di situ mereka tidak lihat seorangpun, maka mereka duga, Kwie Sin Sie masih belum sampai. Mereka turun dari kuda, untuk duduk di tanah, akan menanti.

Selang kira-kira setengah jam, dari arah timur kelihatan berkelebatan dua bajangan manusia, yang lari mendatangi, lalu mereka itu menepuk tangan dua kali.

Dengan lantas Sin Cie tepuk tangannya, untuk menyambuti.

Satu bajangan, yang segera sampai, lantas menanya: "Apakah Wan Susiok sudah sampai?"

"Aku sudah menantikan Jie-suko dan Jie-suso," sahut Sin Cie, yang kenali Lau Pwee Seng, muridnya sang kanda seperguruan yang kedua.

Nyata Pwee Seng datang bersama-sama Bwee Kiam Hoo, yang belakangan ini segera mendekati.

Lagi sesaat, dari kejauhan terdengar satu suara nyaring: "Dia sudah datang! Bagus!"

Baru suara itu berhenti atau dua orang mencelat muncul di depan Sin Cie berempat. Ceng Ceng terperanjat, karena ia kagumi ilmu entengkan tubuh yang sempurna itu. Pwee Seng dan Kiam Hoo minggir, untuk buka jalan bagi kedua orang yang Baru datang itu, ialah kedua guru mereka.

Masih kelihatan satu bajangan berlari-lari mendatangi, apabila dia sudah datang dekat dia ternyata adalah Sun Tiong Kun, yang tangannya mengempo satu anak kecil. Dia ketinggalan, terang itulah bedanya kepandaiannya lari keras dari kedua gurunya suami-isteri itu. Itu bocah adalah bocah kesajangan Kwie Sin Sie suami-isteri.

"Sungguh Tuan Wan harus dipercaya!" kata Kwie Jie-nio dengan dingin. "Kita berdua mempunyai lain urusan penting, supaya tidak buang-buang tempo percuma, silakan kau mulai menyerang."

Sin Cie bukannya lantas menyerang, ia hanya angkat kedua tangannya untuk memberi hormat.

"Kedatanganku ini kemari adalah untuk haturkan maaf kepada suko dan suso" kata ia dengan sabar. "Siautee telah bikin patah pedang suso, itu telah dilakukan karena siautee tak mengetahuinya terlebih dahulu, untuk kelancanganku ini, dengan memandang kepada suhu, harap suko dan suso suka maafkan aku."

Masih Kwie Jie-nio bersikap keras.

"Kau benar sutee kita atau bukan, siapakah yang ketahui?" kata dia dengan dingin. "Baik kita bertanding dulu, Baru kita bicara pula!"

Sin Cie tetap dengan sikapnya mengalah, ia tak mau turun tangan.

Kwie Jie-nio mengawasi, melihat orang mengalah terus, ia anggap orang jeri terhadapnya, ia menyambar dengan tangannya yang kiri, dari samping. Sin Cie lenggakkan kepala, dengan begitu tangan sang suso lewat tepat di depan hidungnya. Ia bebas dari serangan akan tetapi ia terperanjat.

"Siapa sangka, mesti dia hanya seorang perempuan, serangannya sebat sekali," pikir Sin Cie.

Kwie Jie-nio dapatkan tangan kirinya tak memberi hasil, segera ia menyusuli dengan tangan kanan. Ia gunai ilmu pukulan "Sin Kun" atau "Kepalan Malaikat" dari Hoa San Pay.

Sin Cie kenal baik ilmu pukulan ini, ia berkelit sambil kasi turun kedua tangannya, lurus sampai dipaha, dikasi rapat dengan pahanya itu. Inilah tanda bahwa ia suka mengalah, tak ingin ia balas menyerang.

Kwie Jie-nio jadi sangat penasaran,maka ia ulangi serangannya, malah terus-menerus, sampai lebih dari sepuluh kali. Bisa dimengerti jikalau sesuatu gerakannya cepat sekali dan setiap pukulannya berat, hebat apabila mengenai sasarannya. Tapi semua itu Sin Cie dapat egoskan dengan gerakan tubuhnya yang pesat dan lincah. Tetap anak muda ini tak hendak menangkis atau balas menyerang.

Kwie Sin Sie saksikan pertempuran itu, hatinya bercekat, ia pun gegetun.

"Anak muda ini liehay sekali," pikir ia. Tapi yang membuat ia heran adalah gerakan si pemuda, sebagian mirip dengan ilmu silat Hoa San Pay, sebagian besar lagi berbeda. Hingga akhirnya ia mau menduga, entah siapa dia ini yang berpura-pura jadi murid gurunya, untuk bisa mencuri pelajaran saja. Karena ini, ia memasang mata dengan tajam, untuk memperhatikan terlebih jauh, ia kuatir isterinya nanti gagal karena isteri itu berkelahi dengan sangat bernapsu. "Kau tidak mau balas menyerang, kau sangat pandang enteng kepadaku, aku nanti kasi kau kenal liehaynya Kwie Jie-nio!" kata si nyonya yang keras perangainya sesudah berulang-ulang ia gagal dengan pelbagai serangannya. Ia lantas menyerang, kali ini dengan kedua tangan yang saling susul, makin lama makin seru. Karena ini, ia sampai lupa bagian penjagaan diri.

Sin Cie mengeluh didalam hatinya karena desakan hebat dari ini enso, yang di lain pihak ia pun kagumi, karena sang enso benar-benar liehay.

"Inilah berbahaya untukku, apabila terpaksa, aku mesti tangkis dia," akhirnya ia ambil putusan.

Sun Tiong Kun saksikan pertempuran guru perempuannya dengan hati panas dan mendongkol, karena sampai sebegitu jauh ia saksikan tetap saja Sin Cie main berkelit saja. Ia juga heran kenapa gurunya belum pernah berhasil menyerang jitu kepada anak muda itu. Selagi hatinya panas, ia tampak Ceng Ceng sedang menonton dengan wajah riang gembira, air mukanya ramai dengan senyuman bersero-seri. Mendadak dia menjadi naik darah. Tidak tempo lagi, ia serahkan anak kecil dalam empoannya kepada Bwee Kiam Hoo, lantas ia cabut pedangnya dengan apa ia berloncat kepada Ceng Ceng, yang ia serang dadanya tanpa bilang suatu apa!

Nona Un kaget sekali, cepat-cepat ia berkelit. Ia bingung, karena ia datang - dengan penuhkan keinginannya Sin Cie - tanpa membawa senjata tajam. Sekarang ia diserang oleh seorang aseran dan ia segera diserang berulang-ulang, hingga, mulai dari terdesak, ia jadi repot. Ia memang bukan tandingan nona Sun itu, sekarang pun ia bertangan kosong, pasti sekali ia jadi sangat sibuk. Sin Cie, yang lagi layani ensonya, lihat Ceng Ceng diserang Tiong Kun, ia jadi berkuatir, karena ia tahu, Ceng Ceng bukan tandingan Hui-Thian Mo Lie yang telengas. Ia ingin tolongi si nona akan tetapi ia sendiri lagi didesak Kwie Jie-nio.

"Jangan kau lukai orang!" Kwie Sin Sie peringati Tiong Kun.

"Dia puteranya Kim Coa Long-kun, dialah si biang keladi!" Tiong Kun bilang.

Kwie Sin Sie dengar Kim Coa Long-kun kejam, dia anggap orang bukan orang baik, maka ia lantas tutup mulut.

Sun Tiong Kun anggap gurunya itu terima baik alasannya itu, ia lantas melanjuti menyerang dengan pedangnya dengan terlebih-lebih hebat, hingga diantara berkilau-kilaunya pedang, jiwanya Ceng Ceng sangat terancam bahaya maut.

Dalam sibuknya Sin Cie mengerti itulah ancaman hebat bagi Ceng Ceng, lalu ia paksakan diri akan cari ketikanya akan menyingkir dari sang enso. Masih ia lonjorkan kedua tangannya, tapi sekarang ia coba tendang ensonya itu dengan kaki kiri dan kanan bergantian, begitu ada ketikanya yang baik. Beruntun ia menendang sampai enam kali, tapi setiap kali kakinya hampir mengenai sasaran, segera kaki itu ditarik pulang. Secara begini ia berhasil akan desak mundur nyonya yang berhati panas itu.

Sin Cie gunai ketikanya dengan baik sekali, dengan tiba- tiba ia berlompat ke arah Sun Tiong Kun, guna dengan tangan kirinya totok bebokongnya si nona, maksudnya adalah untuk merampas pedangnya.

Dalam saat itu Tiong Kun menghadapi bencana, tiba- tiba terdengar seruan keras dan panjang dari samping, tahu- tahu tubuhnya Kwie Sin Sie sudah mencelat ke arah suteenya pinggang siapa ia ancam dengan satu serangan hebat.

Sin Cie ketahui datangnya serangan itu, untuk tolong diri, ia batalkan serangannya kepada Nona Sun. Ia tidak berkelit, ia hanya gunai tangan kanannya, untuk menangkis, guna sekalian gaet tangannya sang suko. Ketika kedua tangan bentrok, tubuh Sin Cie tertolak ke belakang, hingga ia terperanjat. Sebab sejak turun gunung, belum pernah ia ketemui lawan setangguh suko ini.

"Aku tahu jie-suko liehay, tetapi ia bertubuh begini kurus-kering, siapa tahu tenaganya begini besar?" ia berpikir. Karena ini, suko itu cocok sama julukannya, "Sin- kun Bu-tek," atau "Kepalan Dewa Tanpa Tandingan".

Habis itu, Sin Cie berdiri tegak, hingga untuk kedua kalinya datanglah sambaran tangan kiri dari kanda seperguruan yang kedua itu. Sementara itu, Kwie Jie-nio sendiri sudah berdiri di pinggiran.

Sekarang Sin Cie sudah siap, ia berkelit dengan pundak kiri diegoskan, hingga serangan kedua dari sang suko gagal pula. Ia telah coba satu jurus dari "Pek pian kwie eng".

Kwie Sin Sie menyerang pundak, akan tetapi ia tidak berlaku sungguh-sungguh, ia niat lantas tarik pulang tangannya itu. Biar bagaimana, ia masih hormati gurunya, tidak mau ia lukai sutee itu. Di luar sangkaannya, serangannya yang hebat itu dapat dikelit Sin Cie, hingga tanpa menginsafi, ia berseru: "Kau gesit sekali!"

Seruan ini disusul dengan serangan yang ketiga, gerakannya sama dengan gerakan tangannya Kwie Jienio tadi, hanya serangan ini lebih cepat lagi, lebih berat pula. "Tidak heran jie-suko jadi sangat kesohor," pikir Sin Cie, yang kagum tak terkira. "Pantaslah murid-muridnya pun sangat dimalui, kiranya dia telah peroleh kesempurnaan pelajarannya suhu."

Terus Sin Cie gunai "Pek pian kwie eng" untuk layani saudara seperguruan ini, tapi ia masih belum punyakan latihan yang cukup. Maka kadang-kadang ia campur itu dengan "Hok hou kun" -"Kepalan Takluki harimau" dari Hoa San Pay, buat menangkis, hingga berdua mereka bisa bertempur dengan seru.

Posting Komentar