"Kau sendiri datang kemari, aku tidak undang kau," berkata si anak muda," maka jikalau kau hendak pergi, tak dapat aku tahan padamu."
Bukan kepalang girangnya Seng Hay, ia segera berbangkit, untuk memberi hormat sambil menjura.
"Tidak nanti aku berani lupakan budimu, siangkong," kata ia.
Sin Cie manggut, kembali ia baca bukunya. Seng Hay bertindak kepintu, ketika ia merandek di depan itu. Dengan tiba-tiba ia berkuatir orang nanti rintangi ia. Lantas ia hampirkan jendela, ia tolak kedua daunnya, tubuhnya menyusul loncat keluar. Sebelum ia angkat kaki terus, ia menoleh kebelakang, ia dapatkan si anak muda masih saja baca buku, jadi orang tidak susul ia, hatinya menjadi lega. Sekarang Barulah ia loncat naik keatas genteng, untuk angkat kaki.
Sementara itu, walaupun sang malam sudah larut, Ciau Wan Jie masih belum tidur. Ia tak dapat lupakan Sin Cie, tetamunya, penolongnya itu, budi siapa ia ingat betul. Sampai mendekati fajar, anak muda itu masih berdiam di dalam kamarnya, membaca kitab, beberapa kali ia telah mondar-mandir, akan melihat, tetap anak muda itu bercokol di kursinya. Akhirnya ia panggil bujang perempuannya, akan titahkan membuat beberapa rupa tiamsim, barang makanan, yang ia sendiri lantas bawa kekamarnya pemuda itu. Mulanya ia mengetok pintu dengan perlahan, sampai beberapa kali, Barulah ia tolak daunnya untuk masuk kedalam.
Sin Cie lagi membaca kita "Han Sie", cerita atau riwayat kerajaan Han, agaknya dia sedang sangat tertarik hatinya, sampai ia diam saja atas datangnya nona rumah.
"Wan Siangkong kau masih belum masuk tidur?" Nona Ciau Tanya. "Baik siangkong coba dulu tiamsim ini, habis kau masuk untuk beristirahat. "
Baru sekarang anak muda kita berbangkit, untuk haturkan terima kasih.
"Baik nona tidur, tidak usah kau perhatikan aku," katanya. "Aku masih menantikan satu orang. " Baru pemuda ini mengucap demikian atau mendadak daun jendela menjeblak sehingga menerbitkan suara, menyusul itu, satu tubuh lompat masuk.
Wan Jie kaget hingga ia lompat berjingkrak, akan tetapi segera ia tampak Ang Seng Hay.
Orang she Ang ini manggut kepada si nona, lantas ia hampirkan Sin Cie didepan siapa ia tekuk lutut.
"Wan siangkong, siaujin tahu diriku bersalah," katanya. Ia membahasakan diri "siau-jin" atau orang rendah. "Tolong siangkong, jiwaku. "
Sin Cie ulur kedua tangannya, untuk memimpin bangun, akan tetapi Seng Hay tidak mau berbangkit.
"Mulai hari ini dan selanjutnya, siaujin nanti ubah kelakuanku," berkata ia pula. "Aku minta dengan sangat supaya siangkong tolongi aku."
Ciau Wan Jie mengawasi dengan kedua mata dipentang lebar, ia tak mengerti atas apa yang ia pandang itu.
Sin Cie ulur pula kedua tangannya, ketika ia kerahkan tenaganya, tahu-tahu tubuhnya Seng Hay terangkat terus jumpalitan, sehingga dilain saat, pahlawan atau utusannya Kiu-ong-ya itu telah rubuh duduk di jubin, tapi ketika ia raba ketiaknya, wajahnya menjadi terang, satu tanda bahwa hatinya lega, ia girang. Tapi waktu ia usut dadanya, ia kerutkan alis hingga kedua alisnya hampir menyambung satu pada lain.
"Mengertikah kau sekarang?" Tanya Sin Cie.
Seng Hay adalah seorang sangat cerdik dan tangkas, kalau tidak, tidak nanti Kiu-Ong-Ya To Jie Kun kirim ia selaku mata-mata, maka atas pertanyaan si anak muda, segera ia insaf. "Siangkong, apakah kau hendak tanya aku?" katanya. "Silakan, siaujin nanti menjawab dengan sebenar- benarnya."
Wan Jie duga orang hendak omong rahasia, ia lantas undurkan diri, keluar dari kamar tulis itu.
Ketika tadi ia lari pulang ke hotelnya, Seng Hay telah buka bajunya, untuk periksa tubuhnya. Di dadanya ada sebuah bentol merah sebesar uang tangchie, ketika ia raba itu, ia tidak rasakan apa-apa. Dibawah ketiaknya, ia dapatkan, ada tiga titik hitam seperti kacang, apabila ia kena langgar itu, ia merasakan sangat sakit. Ia mengerti, itulah luka yang ia dapatkan tadi selagi ia bertolak tenaga kekuatan berbalik dari Sin Cie. Maka lekas-lekas ia duduk bersila di atas pembaringannya, untuk menyedot dan mengeluarkan napas dengan peraturan, untuk perbaiki jalan napasnya, ia merasakan sakit. Maka ia lekas rebahkan diri, rasa sakit itu lantas lenyap sendirinya. Tiga kali ia mencoba perbaiki jalan napasnya, selalu ia gagal.
Mata-mata Kiu-ong-ya ini tidak berpikir lama akan ingat ilmu silat yang dinamakan "Kun-thian-kang", ialah tenaga yang memukul berbalik siapa terluka karena serangan itu, apabila tidak dapat obat yang tepat dalam seratus hari dia bakal mati meroyan. Ingat ini, ia jadi takut sendirinya. Di situ tidak ada orang lain yang bisa tolongi ia, kecuali Sin Cie, si anak muda.
"Ah, aku mesti pergi padanya. "
Lantas dia pakai bajunya, ia keluar dari hotel, akan berlari-lari ke rumahnya Ciau Kong Lee, akan lompat masuk kedalam kamarnya si anak muda dengan jeblaki jendela.
Sin Cie lantas berkata pada orang she Ang ini: "Kau telah dapat dua luka di tubuhmu, yang satu tadi aku telah
587 sembuhkan, tinggal yang satu lagi. Sekarang ini, luka itu tidak memberi rasa apa-apa, akan tetapi berselang tiga bulan, baal itu bakal bertambah luas, bisa menjalar sampai di dada, di ulu hati, maka itulah artinya sampailah batas umurmu!"
Kembali Seng Hay kaget. Jadi benarlah dugaannya tentang lukanya itu. Maka ia jatuhkan diri, ia berlutut sambil manggut berulang-ulang. Karena ia minta dengan sangat untuk ditolong.
"Kau telah menjadi harimau yang mengganas, kau akui dorna sebagai ayahmu!" Sin Cie bilang, dengan roman yang keren. "Itulah dosamu yang tak berampun! Sekarang aku tanya kau, kau mau atau tidak untuk gunai jasamu menebus dosa?"
Seng Hay takut benar-benar, hingga ia menangis, air matanya meleleh.
"Memang siaujin tahu, perbuatanku ini sesat," kata ia dengan pengakuannya. "Ada kalanya di waktu malam siaujin pikirkan itu dan insaf sendiri, hingga siaujin mengerti, perbuatan itu hina dan sangat memalukan leluhurku. Inilah gara-garanya satu kejadian pada tahun yang lampau, yang membuat siaujin buntu jalan hingga terpaksa siaujin berlaku begini hina."
Sin Cie awasi wajah orang, ia mau percaya bahwa orang omong dengan sejujurnya. Ia menduga pada satu kejadian penting. Ia hendak menanya akan tetapi ia tidak lantas lakukan itu. Ia mengerti, orang ini sangat membutuhkan pertolongannya. Orang pun masih tetap paykui.
"Mari bangun dan duduk," ia kata kemudian. "Mari kita bicara dengan perlahan-lahan. Siapa sudah paksa kau berbuat begini macam, sampai kau buntu jalan?" "Aku telah didesak oleh Hui thian Mo Lie Sun Tiong Kun dan Kwie Jie Nio-cu, keduanya dari Hoa San Pay," sahut Seng Hay.
Inilah jawaban diluar sangkaan Sin Cie, sampai hatinya bercekat.
"Apa? Mereka yang desak kau?" ia tegasi.
Wajahnya Seng Hay pun berubah, nampaknya ia berkuatir.
"Apakah siangkong kenal mereka?" ia balik tanya.
"Baru tadi aku bertempur dengan mereka," sahut Sin Cie.
Mendengar itu, Seng Hay girang berbareng masgul. Ia masgul karena kekuatirannya, sebab kedua musuhnya itu berada di Lamkhia ini, di satu tempat dengan ia, Seng Hay takut nanti ketemu mereka itu di tengah jalan, itu berarti bencana untuknya. Ia girang sebab nyata anak muda ini telah bertempur dengan mereka itu, ia duga pemuda yang kosen ini adalah musuh mereka.
"Dua orang itu," katanya melanjuti," walau kepandaian mereka tinggi, mereka bukannya tandingan siangkong. Cuma mereka berdua telengas sekali, apa juga mereka berani lakukan, dari itu siangkong harus waspada."
Sin Cie perdengarkan suara yang memandang enteng. "Kenapa mereka desak kau?" ia tanya.
Seng Hay berdiam sebentar, lalu ia menyahut.
"Tidak berani aku dustakan kau, siangkong," katanya. "Tadinya siaujin berdiam di laut di Shoatang melakukan pekerjaan tidak memakai modal. Pada suatu hari, satu saudara angkat lihat Sun Tiong Kun, ia ketarik, ia lantas majukan lamaran kepada nona itu. Sun Tiong Kun tampik lamaran itu. Sebenarnya dengan penampikan saja sudah
589 cukup, akan tetapi ia tidak berhenti sampai disitu, tanpa mengucap sepatah kata, dia hunus pedangnya, dan babat kedua kupingnya saudara angkat itu. Tentu sekali aku tidak puas dengan perbuatan galak itu, yang keterlaluan dan kejam itu, lantas aku ajak belasan kawan, untuk satroni dia. Maksudku adalah untuk culik dia, supaya dia menikah dengan saudara angkat itu. Tegasnya kita hendak paksa padanya.
Celakanya untuk kita, gurunya Sun Tiong Kun, yaitu Kwie Jie Nio, sudah susul kita, dia tolongi muridnya itu. Dengan satu tabasan, dia bunuh saudara angkatku itu dengan pedangnya. Beberapa kawanku telah kena dibikin bubar, antaranya ada yang terluka. Untung bagiku, aku bisa loloskan diri, hingga jiwaku ketolongan. "
"Dalam hal itu, kaulah yang bersalah," Sin Cie bilang. "Siaujin pun insyaf yang siaujin sudah sembrono, hingga
satu bahaya besar diciptakan," Seng Hay akui, "karenanya
siaujin tidak berani munculkan diri di muka umum. Benar- benar Sun Tiong Kun tidak mau sudah, entah bagaimana jalannya, dia dapat tahu kampung halamanku, mereka susul aku. Oleh karena tak dapat ketemui aku, mereka binasakan ibuku yang sudah tua, yang telah berumur tujuhpuluh tahun, juga isteriku serta tiga anakku, lelaki dan perempuan, tidak ada satu yang dikasih tinggal hidup. "
Seng Hay mengucurkan air mata, hingga kata-katanya jadi tergetar, karenanya Sin Cie anggap orang bicara dengan sebenarnya. Ia manggut-manggut walaupun hatinya bercekat untuk ketelengasan Sun Tiong Kun dan gurunya itu.
"Tak dapat siaujin lawan mereka itu," Seng Hay tambahkan kemudian," akan tetapi tanpa sakit hati terbalas lampias, tak puas hatiku.... Oleh karena putus daya, pikiranku jadi sesat, siaujin lantas kabur ke Liautong dimana siaujin menghamba kepada Kiu-ong-ya. "
Seng Hay bersedih berbareng gusar.
"Mereka binasakan ibumu dan anak-isterimu juga, perbuatan itu memang keterlaluan," nyatakan si anak muda kemudian. "Semuanya adalah karena salahmu sendiri. Semua itu toh ada urusan pribadi, kenapa kau menghamba kepada bangsa asing? Kenapa kau kesudian menjadi pengkhianat bangsa?"
"Itulah kesalahanku, siangkong," Seng Hay akui. "Asal siangkong bisa balaskan sakit hatiku itu, apa juga siangkong titahkan aku, aku akan lakukan. "