Ang Seng Hay murka.
"Imammu itu gunai ilmu siluman, walaupun binasa, aku tidak puas!" kata dia.
"Rupanya kau anggap bugeemu liehay," Sin Cie bilang. "Kau dengar aku! Kau orang Han, kau kesudian menjadi kacung Boan, itu artinya dosa untuk mana pantas kau mendapat hukuman, bagianmu adalah kematian. Kau tidak puas, baik, mari, aku nanti layani kau piebu! Tapi ingat, satu kali kau kalah, kau mesti jawab aku dengan sebenar- benarnya, jangan ada yang kau sembunyikan! Akur?"
Sin Cie hendak uji kepandaiannya, ia harap nanti ia bisa pakai tenaganya orang ini.
Ang Seng Hay girang dengan tawaran itu. Didalam hatinya, ia pun berkata: "Entah kenapa tadi, tahu-tahu aku
577 merasai jalan darahku tertotok, lantas aku rubuh. Mungkin itu karena si imam telah gunai ilmu gaibnya. Sekarang si imam tidak ada, anak muda ini mana dapat menjadi tandinganku? Baik aku terima tantangannya!"
Lantas saja ia menjawab: "Baik! Asal kau sanggup kalahkan aku, apa juga yang kau tanyakan, aku nanti jawab!"
Tanpa sangsi lagi, Sin Cie hampirkan orang tawanannya itu, untuk bukakan tambang belengguannya. Ia membuka dengan jalan putuskan tambang itu, agaknya ia cuma pakai tenaga sedikit sekali.
Seng Hay heran, hingga ia terperanjat. Ketika tadi ia Baru diikat, ia telah mencoba kerahkan tenaganya, untuk berontak, buat loloskan diri dari belengguan dengan jalan amuk putus tambang itu, tetapi ia tidak berhasil, bukan saja tambang tidak putus malah ia merasa, ikatannya jadi semakin keras, siapa tahu sekarang, secara sembarangan saja, anak muda ini dapat bikin putus tambang itu. Tanpa merasa, ia jadi jeri sendirinya.
"Kau hendak piebu cara apa?" bertanya dia. "Mari kita pergi keluar. Kau hendak gunai senjata tajam atau kepalan saja?"
Sin Cie tertawa.
"Aku timpuk kau dengan biji catur, kau sangka si imam gunai ilmu gaib!" katanya. "Melihat caranya kau lompat masuk kedalam thia tadi, kau mungkin satu ahli lweekee."
Kembali Seng Hay heran. Ia ingat, ketika tadi ia menerjang masuk ke thia, dua-dua pemuda ini dan imam tidak menoleh untuk awasi dia, maka kenapa orang justeru bisa lihat dia dan segera kenali cara bergeraknya itu. Tapi ia manggut, untuk benarkan pernyataan itu. "Karena itu," berkata Sin Cie, "mari disini saja kita main saling tolak."
"Baik," sahut Seng Hay tanpa ragu-ragu. "Apakah aku boleh dapat ketahui she dan nama besar tuan?"
Sin Cie tertawa.
"Kau tunggu saja sampai kau nanti sudah dapat menangkan aku, nanti aku sendiri yang memberitahukan," jawabnya.
Seng Hay manggut.
"Silakan!" kata dia, yang terus pasang kuda-kudanya dengan kedua tangan dibawa kedepan dada. Tubuhnya sedikit doyong kedepan.
Sin Cie tidak lantas terima tantangan itu. Ia hanya gosok bak, ia siapkan selembar kertas.
"Aku nanti menulis disini," katanya. "Kau tahu, apa yang aku akan tulis? Itulah syairnya Tou Kong-pou, syair "Peng Kie Hang"."
Seng Hay heran. Orang ajak dia piebu, habis orang hendak tulis surat dulu. Maka ia lantas saja ambil tempat duduk, niatnya untuk menantikan.
"Eh, kau jangan duduk!" Sin Cie mencegah. Ia ulur tangan kirinya. "Sekarang aku hendak menulis, selagi aku menulis, kau dorong tanganku ini. Umpama kata tangan kananku tergerak dan tulisannya jadi mengok atau tak keruan macam, aku anggap kau yang menang, segera kau boleh angkat kaki dari sini. Tapi umpama kata aku berhasil menulis selesai syair yang panjang itu tetapi kau tetap tidak mampu tolak aku, kaulah yang kalah, maka itu, apa juga yang aku tanyakan, aku larang kau umpetkan walau sepatah kata juga!" Ang Seng Hay tertawa berkakakan.
"Bocah ini masih hijau, dia Baru pernah muncul dia tak tahu langit itu tinggi dan bumi tebal, hingga dia terlalu sombongkan bugee sendiri, lalu dia pandang sebelah mata kepadaku! Oh, mungkin ini disebabkan karena ia lihat aku beroman cakap dan bertubuh tidak kekar, hingga dia anggap aku tidak punya guna. Baik, aku nanti coba padanya." Maka ia terus jawab: "Aku lihat piebu seperti ini sangat tidak adil. "
Sin Cie tertawa.
"Tapi inilah buah-hasilnya usulku sendiri!" ia bilang. "Sekarang aku hendak mulai menulis, kau boleh maju!"
Lantas saja ia duduk menulis, mulanya tiga huruf " Kie lin lin."
Ang Seng Hay tidak bilang apa-apa lagi, ia terima baik piebu semacam itu. Ia pasang kuda-kudanya dengan tegak, lalu ia kumpulkan tenaganya pada kedua bahu tangannya. Habis itu, dengan gerakan "Pay san to hay" atau "Menolak gunung untuk menguruk lautan", ia menolak dengan keras dengan dua tangannya kepada tangan kirinya si anak muda yang diulur kebelakang, kearahnya. Sebab untuk menulis di meja, pemuda ini berdiri menghadapi meja, karena ia menulis dengan tangan kanan, tangan kirinya jadi dikeluarkan kesebelah belakang. Hingga sama sekali ia membelakangi lawannya itu.
Begitu lekas Seng Hay menolak dengan sekuat tenaga, Sin Cie egoskan tangan kirinya, maka lenyaplah tenaga mendorong orang she Ang ini. Ia jadi penasaran, untuk mendorong satu kali lagi, kedua tangannya dipasang diatas dan bawah, sebagai menjepit. Dengan gerakan ini, mungkin juga tangan kiri si anak muda kena tertekuk hingga patah. Tangan kanannya Sin Cie menulis pula, dari mulutnya keluar kata-kata: "Seranganmu ini adalah 'Seng thian jip tee'
-'Naik kelangit, masuk kebumi'. Itulah, turut pendengaranku, adalah tipu silat Put Hay Pay dari Shoatang. Maka, tuan Ang, kau mestinya dari partai Put Hay Pay itu."
Ia menulis terus, tangan kirinya digeraki bagaikan bergeraknya ekor ikan, maka kedua tangannya Seng Hay bentrok sendirinya satu pada lain sambil menerbitkan tepokan tangan yang nyaring.
Mengalami ini, Seng Hay jadi panas. Maka ia menyerang pula dengan sengit, dengan keluarkan kepandaiannya.
Sin Cie tetap menulis terus, disebelah itu, tangan kirinya digerak-geraki terus juga, untuk membebaskan diri dari sesuatu serangan, hingga ia tak dapat ditolak atau didorong. Sebaliknya tangan kiri itu seperti mempunyai tenaga menolak, membal balik.
Dengan sengitnya Seng Hay menyerang dengan tipu silatnya "Can kau kun" atau pukulan "menyembelih naga". Baru saja ia habis menyerang, dengan kegagalan, Sin Cie telah berkata padanya: "Can kau kunmu ini masih mempunyai sembilan jurus lainnya, sedang tulisan syairku 'Peng Kie Hang' bakal lekas sampai diakhirnya. Maka sekarang aku atur begini: Aku tunggui kau, setiap kali kau menyerang, setiap kali juga aku menulis satu huruf saja."
Kembali Seng Hay menjadi heran. Kenapa orang kenali ilmu silatnya itu? Apa mungkin pemuda ini adalah orang satu kaum dengannya? Toh ia tidak kenal pemuda ini dan gerak-gerik tangan dan tubuhnya beda dengan Put Hay Pay. Dengan penasaran berbareng ragu-ragu itu, ia lanjuti penyerangannya, dengan terlebih hebat dan liehay. Ia tidak harap lagi bisa berkisar saja, pasti tulisannya akan kacau.
Sin Cie menulis terus, ia membacakan: "Thian im ie sip seng ciu ciu". Huruf ciu yang terakhir masih belum tertulis habis, serangannya Seng Hay masih ada dua jurus lagi, ialah dua jurus terakhir dari Can Kau Kun. Karena berulang-ulang dia gagal. Seng Hay ubah pula cara menyerangnya, ialah ia mendak dan kedua tangannya dikasi melengkung, ia menubruk dengan pakai tubuh juga, agaknya ia hendak peluk tubuh anak muda itu.
Ang Seng Hay sangat bernapsu, sampai ia lupai pantangan ahli silat untuk bisa kendalikan diri. Ia telah bergerak dengan ceroboh sekali. Dengan bersikap merangkul secara demikian, ia seperti lupai tangan Sin Cie. Maka Baru ia maju atau si anak muda sudah mengenai dadanya, sehingga bukannya Sin Cie atau kursinya yang berkisar, adalah ia sendiri yang kena tertolak mundur, demikian keras, sehingga ia jumpalitan tiga kali, percuma ia pertahankan diri, ia rubuh juga, jatuh duduk dilantai bagaikan patung. Sehingga ia membutuhkan sekian saat untuk bisa lompat bangun. Ia pun berlompat bangun selagi ia Baru sadar bahwa ia sudah kena dirubuhkan!
Adalah disaat itu, Ciau Wan Jie bertindak masuk kedalam kamar tulis dengan membawa tehkoan buatan Gie- hin, yang warnanya merah tua.
"Wan Siangkong, inilah teh Liong-ceng yang kesohor," katanya sambil menawarkan. "Silakan minum!"
Ia pun segera tuang air teh itu kedalam sebuah cangkir, sehingga Sin Cie lantas mencium bau wangi dari teh itu. Ia tidak sungkan-sungkan lagi, ia sambuti teh itu dan terus diminum. "Benar-benar teh bagus!" ia memuji. Ia angkat tulisannya, "Peng Kie Hang", akan tunjuki si nona seraya kata: "Nona Ciau, tolong lihat ini, apakah tulisan ini ada yang kacau dan kotor?"
Wan Jie periksa syair itu, lalu ia tertawa.
"Siangkong benar-benar bun bu coan cay!" memuji dia. "Tulisan ini baik diberikan kepadaku saja!" (Bun bu coan cay berarti mengerti berbareng dua-dua ilmu surat dan ilmu silat).
"Tapi tulisanku jelek," si pemuda bilang. "Barusan aku telah bertaruh sama sahabat baik ini, maka tulisan ini Baru saja ditulis rampung. Jikalau nona inginkan ini, baik, tapi jangan nona perlihatkan kepada orang lain, agar orang tidak tertawai aku!"
Wan Jie bersenyum, ia gulung tulisan itu, lantas ia ngeloyor pergi.
Setelah si nona keluar, Sin Cie Tanya Ang Seng Hay: "Kiu-ongya utus kau kepada Co Hoa Sun, untuk urusan apakah itu?"
Seng Hay ragu-ragu, sehingga berulang-ulang ia tidak bisa menyahuti, sehingga ia cuma kemak-kemik saja.
"Bukankah barusan kita telah bertaruh?" Sin Cie tegasi. "Bukankah kau tidak sanggup tolak aku sehingga berkisar?"
Ang Seng Hay jengah, ia tunduk.
"Bugee Wan Siangkong sangat mengagumkan, inilah ilmu kepandaian yang belum pernah aku dengar, yang belum pernah aku saksikan," katanya dengan perlahan.
"Sekarang coba kau raba tubuhmu, dibawah tetek kiri," Sin Cie kata. "Coba periksa tulang rahang yang kedua. Apakah yang kau rasai?. " Ang Seng Hay menurut, ia raba tempat yang ditunjuki itu. Tiba-tiba ia terkejut. Bagian tubuh itu menjadi baal, ia tak rasakan apa-apa!
"Sekarang kau raba pula, tengah-tengah pinggang bagian kanan," Sin Cie menyuruh pula.
Ang Seng Hay meraba, ia menekan, lantas ia menjerit: "Aduh!". Ia pun kaget sekali, herannya bukan buatan. Tapi segera ia kata: "Jikalau tidak diraba, aku tidak rasakan apajuga, begitu kebentur tangan, sakitnya bukan main. "
Sin Cie bersenyum.
"Itulah dia!" ia bilang. Ia isikan cangkir tehnya, ia hirup air teh itu, kemudian ia membalik-balik lembarannya satu buku diatas meja, tidak lagi ia perhatikan orang didekatnya itu.
Seng Hay berdiri diam dengan serba salah. Ia berniat angkat kaki akan tetapi tak berani ia pergi. Dengan begitu, ia pun terus berdiam saja.
Tidak lama, anak muda kita berpaling. "Eh, kau masih belum pergi?" tanyanya.
Seng Hay terperanjat, tetapi ia girang sekali. "Kau perkenankan aku pergi?" tegasi ia.