"Siapa.... siapakah Nyonya? Aku.... rasanya pernah bertemu, tapi aku lupa lagi di mana dan kapan...."
Gangga Dewi tidak merasa menyesal atau kecewa. Ada baiknya kalau Suma Ciang Bun melupakannya. Dahulu ia selalu teringat kepada Suma Ciang Bun dengan hati penuh iba dan ia selalu membayangkan betapa hancur hati pemuda itu ditinggalkannya, betapa pemuda itu tentu merana dan hidup sengsara. Kalau Suma Ciang Bun dapat melupakannya, maka hal itu sungguh baik sekali. Akan tetapi, ia melihat betapa sinar mata pria ini jelas menunjukkan betapa dia telah menderita banyak sekali, matanya begitu redup dan ada kesedihan mendalam yang tak pernah hapus dari batinnya.
"Ciang Bun, aku dari Bhutan!"
Ia membantu ingatan bekas kekasih hatinya itu. Tiba-tiba mata itu terbelalak, sinarnya penuh pengenalan, wajah itu mendadak menjadi pucat, bibir itu gemetar dan beberapa kali bergerak tanpa suara, kedua tangan dikembangkan dan agaknya Ciang Bun harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk akhirnya dapat mengeluarkan suara. Bagaikan air bah yang membanjir karena jebol tanggulnya, dari dalam dadanya menghambur suara yang tidak jelas.
"Gangga.... kau Gangga.... Gangga Dewi....!"
Dan dia pun menubruk wanita itu. Gangga Dewi membiarkan dirinya dirangkul dan ia pun balas memeluk.
"Ciang Bun....!"
Ia harus mengerahkan tenaga sin-kangnya untuk melindungi tubuhnya, ketika merasa betapa dekapan itu amat kuatnya. Akan remuklah tulang-tulang iganya kalau ia tidak mengerahkan tenaga, dan dengan hati penuh iba ia pun berbisik,
".... aku Ganggananda, Ciang Bun,"
"Gangga Dewi.... engkau Gangga Dewi....!"
Hanya itu yang dapat diucapkan Ciang Bun dan wanita itu merasa jantungnya seperti diremas-remas ketika ia menengadah dan melihat betapa air mata bercucuran dari kedua mata pria gagah perkasa itu. Suma Ciang Bun menangis! Menangis seperti seorang wanita! Gangga Dewi merasa semakin terharu, Ciang Bun mencium dahi dan rambutnya dan ia dapat merasakan detak jantung yang penuh kasih sayang dalam dada pria itu.
"Ya Tuhan, terima kasih, terima kasih bahwa engkau telah mempertemukan aku kembali dengan Gangga-ku.... Ahhh, Gangga Dewi, betapa aku rindu kepadamu...."
"Aku pun rindu kepadamu, Ciang Bun. Akan tetapi kepada siapakah engkau rindu? Gangga Dewi ataukah Ganggananda....?"
"Sama saja, Gangga, sama saja. Aku mencintamu, mencinta pribadimu, tidak peduli engkau pria atau wanita...."
Kembali Suma Ciang Bun mencium dahi Gangga Dewi dengan penuh cinta kasih dan Gangga Dewi merasa betapa air mata membasahi dahinya dan menuruni pipinya. Jawaban itu melegakan hatinya dan ia pun balas merangkul. Betapa keadaan seperti ini seringkali terjadi dalam mimpinya ketika dulu, betapa ia merindukan rangkulan pria ini. Akan tetapi, tiba-tiba Ciang Bun mengeluarkan keluhan perlahan dan dia pun melepaskan rangkulan, lalu melangkah ke belakang dan ketika Gangga Dewi memandang, ia melihat wajah itu basah air mata yang masih menetes turun, dan wajah itu pucat kembali, mulutnya bergerak-gerak gugup.
"Aih, Gangga Dewi.... kau maafkan aku.... ya Tuhan! Apa yang telah kulakukan? Gangga, maafkan aku.... maafkan aku...."
Dan kini Ciang Bun menangis sambil menutupi muka dengan kedua tangannya. Gangga Dewi memandang dan wajahnya sendiri berubah pucat. Kiranya Ciang Bun masih seperti dulu! Masih menangis cengeng seperti seorang wanita lemah, dan agaknya merasa menyesal atas sikapnya yang penuh kehangatan dan kemesraan tadi karena ia muncul sebagai wanita. Agaknya Ciang Bun teringat lagi bahwa ia seorang wanita dan menyesali perbuatannya tadi. Perasaan kecewa yang membuat hatinya nyeri terasa oleh Gangga Dewi.
"Ciang Bun,"
Katanya dan suaranya kini kering dan tegas.
"Katakan mengapa engkau minta maaf? Mengapa? Katakan"
Ciang Bun menurunkan kedua tangannya dan memandang dengan mata merah. Dia pun sudah dapat menguasai hatinya, tidak menangis lagi walau kedua matanya masih basah.
"Gangga Dewi, maafkanlah kelemahanku tadi. Sesungguhnya aku telah lupa diri tadi, saking haru dan girangku bertemu denganmu. Aku telah melakukan hal yang tidak pantas, tidak sopan. Aku lupa bahwa engkau bukanlah Gangga Dewi yang dulu lagi, engkau seorang yang telah bersuami, berumah tangga. Aku telah mendengar bahwa engkau kini menjadi seorang isteri yang berbahagia di Bhutan, dengan anak-anakmu. Ah, aku ikut merasa girang bahwa engkau hidup berbahagia, Gangga."
Gangga Dewi tersenyum. Hatinya senang karena ternyata Ciang Bun tidak minta maaf sebagai tanda bahwa penyakitnya yang dulu masih ada, melainkan minta maaf karena teringat bahwa ia seorang yang telah bersuami. Hal ini wajar, bahkan baik sekali, tanda bahwa pria ini masih dapat menguasai gelora nafsunya.
"Dan engkau sendiri bagaimana, Ciang Bun?"
Tanyanya, sikapnya tenang, juga Ciang Bun agaknya sudah mampu menguasai hatinya dan kini mereka berdiri saling pandang dengan sinar mata penuh selidik, seolah ingin menjenguk isi hati masing-masing. Mendengar pertanyaan itu, Ciang Bun menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
"Aku masih hidup sendirian, Gangga. Semenjak engkau pergi, aku telah kehilangan segala-galanya dan aku hidup mengasingkan diri di sini. Gangga Dewi, bagaimana dengan suami dan anak-anakmu? Kenapa engkau melakukan perjalanan seorang diri dan bersama Yo Han?"
"Ciang Bun, aku meninggalkan Bhutan. Aku sekarang juga hidup sendirian seperti engkau. Suamiku telah lama meninggal dalam perang. Kedua orang anakku telah berumah tangga dan hidup berbahagia dengan keluarga masing-masing. Aku kesepian. Ibu telah meninggal dan ayahku telah lama meninggalkan Bhutan. Aku lalu pergi untuk mencari ayahku, dan dalam perjalanan aku bertemu Yo Han. Dialah yang mengajak aku ke sini karena dia berkata bahwa engkau tentu tahu di mana adanya ayahku"
"Ahhh....! Yo Han telah dilarikan orang jahat. Kita harus cepat mengejarnya Gangga. Kita harus menyelamatkannya dari tangan mereka. Nanti saja kita bicara, yang penting sekarang kita harus menolong Yo Han!"
Suma Ciang Bun yang teringat kepada Yo Han meloncat jauh ke depan untuk melakukan pengejaran.
"Tahan dulu....!"
Suma Ciang Bun melihat bayangan kuning berkelebat menda-huluinya dan Gangga Dewi sudah berdiri di depannya menghalanginya. Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya.
"Yo Han tarjatuh di tangan orang-orang jahat, nyawanya terancam bahaya dan aku hendak mengejar dan menolongnya. Kenapa engkau mencegahku, Gangga Dewi?" "Kenapa engkau hendak menolong Yo Han?"
"Tentu saja! Aku sayang padanya. Dia pernah tinggal di sini, dititipkan oleh gurunya, Tan Sin Hong. Biar anak lain yang tidak kukenal sekalipun, sudah sepatutnya kubebaskan dari tangan orang-orang jahat itu. Apalagi Yo Han!"
Suma Ciang Bun hendak meloncat lagi, akan tetapi Gangga Dewi menghadangnya.
"Nanti dulu, Suma Ciang Bun. Tenanglah dan mari kita bicara dengan kepala dingin. Kau kira aku tidak sayang kepada Yo Han? Biarpun belum lama kami saling berkenalan, namun anak itu sudah kuanggap sebagai keluarga sendiri, bahkan aku suka dan ingin mengambilnya sebagai murid. Justeru karena kita sayang kepadanya, kita tidak boleh melakukan pengejaran secara langsung, karena hal ini bahkan akan membahayakan dirinya. Kalau Ang I Moli yang jahat itu melihat kita melakukan pengejaran, ia tidak akan ragu untuk segera membunuh Yo Han! Kau tahu, Ciang Bun, perkenalanku dengan Yo Han justeru ketika aku merampasnya dari cangkeraman Ang I Moli. Tak kusangka hari ini ia merampas anak itu kembali dari tanganku, dibantu dua orang tosu Pek-lian-kauw itu. Jadi, kalau hendak menyelamatkan Yo Han, kita harus menggunakan siasat, tidak boleh sembarangan saja!"
Suma Ciang Bun mengangguk-angguk dan meraba jenggotnya yang terpelihara rapi. Dia berada dalam pemainan gelombang perasaan. Ketika tadi mendengar bahwa Gangga Dewi sekarang hidup seorang diri, sudah menjadi janda, dia merasakan suatu kegembiraan luar biasa di hatinya, kegembiraan yang muncul dengan adanya suatu harapan baru. Akan tetapi kegembiraan ini terganggu oleh kekhawatiran tentang diri Yo Han. Kini menghadapi sikap Gangga Dewi yang demikian tegas dan tenang, dia merasa tak berdaya, seperti seorang bawahan menghadapi atasannya!