Kisah Si Bangau Merah Chapter 29

NIC

Yang paling kaget mendengar bentakan itu adalah Ang I Moli. Ia cepat membalik dan terbelalak melihat Yo Han telah berdiri di situ sambil menuding-nudingkan telunjuk dan mencela ia dan kedua orang suhengnya, seperti seorang kakek yang mencela dan mena-sihati cucu-cucunya yang nakal dan bandel! Betapa ia tidak akan kaget? Tadi ia telah menotok anak itu, totokan yang ia rasakan tepat sekali sehingga jangankan seorang anak kecil yang tidak tahu silat, biar lawan yang tangguh sekalipun kalau sudah tertotok seperti itu, pasti akan terkulai lemas dan sedikitnya seperempat jam lamanya takkan dapat berkutik. Akan tetapi anak ini tahu-tahu sudah bangkit kembali dan menuding-nudingnya!

"Eh, anak setan, akan kubunuh kau sekarang juga!"

Kemarahan membuat wanita iblis itu lupa akan keinginannya memanfaatkan darah anak itu dan saking kaget dan marahnya, kini ia menyerang dengan bacokan pedangnya ke arah leher Yo Han.

"Singg....!"

Serangan itu luput! Ang I Moli terbelalak lagi saking herannya. Anak itu seperti didorong angin ke samping dan jatuh bergulingan, dan justeru hal ini membuat sambar-an pedangnya tidak mengenai sasaran. Ia membalik dan mengejar, akan tetapi tiba-tiba ia terhuyung dan hampir terjungkal karena saking tergesa-gesa dan marah tadi, ia kurang waspada sehingga kakinya terantuk batu. Ketika ia bangkit kembali, ia melihat Yo Han sudah duduk dengan sikap tenang sekali di atas tanah. Anak itu memang sudah tahu bahwa melawan tiada gunanya dan lari pun akan percuma. Maka dia lalu duduk dan pasrah, menyerahkan nasib dirinya kepada Tuhan.

"Anak setan....!"

Kini Ang I Moli teringat lagi bahwa ia membutuhkan Yo Han, maka ia pun meloncat dekat dan mengayun tangan kirinya, kini menampar ke arah tengkuk.

"Plakkk!"

Tubuh anak itu terguling dan ia roboh pingsan. Setelah memeriksa dan merasa yakin bahwa anak itu sudah pingsan dan tidak akan mudah siuman dalam waktu dekat, ia lalu meloncat lagi dan kembali mengeroyok Gangga Dewi yang sudah kewalahan. Namun pada saat itu, nampak bayangan orang berkelebat.

"Dunia takkan pernah aman selama ada orang-orang sesat berkeliaran mengumbar nafsunya!"

Bayangan itu berkata dan begitu kedua tangannya bergerak, nampak sepasang pedang yang bersinar putih mengkilap berada di kedua tangannya dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu menyerbu ke dalam perkelahian itu dan membantu Gangga Dewi! Semua orang memandang dan ternyata bayangan itu adalah seorang laki-laki yang usianya sekitar lima puluh satu tahun dengan wajah yang berbentuk bundar, kulitnya agak gelap, kumis dan jenggotnya terpelihara rapi dan wajah itu tampan dan mengandung kegagahan, gerak geriknya lembut dan sinar matanya tajam. Baik Gangga Dewi maupun tiga orang pengeroyoknya tidak mengenal orang ini, akan tetapi karena jelas bahwa dia membantu Gangga Dewi, maka Ang I Moli sudah menyam-butnya dengan sambitan jarum-jarum beracun merah.

"Hemmm, memang keji!"

Orang laki-laki itu berseru dan sekali tangan kanan bergerak, pedangnya diputar dan dibantu kebutan lengan baju, semua jarum tertangkis runtuh. Ang I Moli sudah menyusul-kan serangan dengan pedangnya. Orang itu menangkis dan balas menyerang. Mereka bertanding dengan pedang, dan ternyata ilmu pedang orang itu lihai bukan main,

Membuat Ang I Moli terkejut dan terpaksa ia harus mengerahkan seluruh tenaganya dan mengeluarkan seluruh ilmu pedang simpanannya untuk melindungi dirinya dari sambaran sepasang pedang lawan yang lihai itu. Tentu saja orang itu lihai karena dia adalah Suma Ciang Bun! Pria yang kini hidup mengasingkan diri di Pegunungan Tapa-san ini adalah seorang cucu Pendekar Istana Pulau Es. Biarpun bakatnya tidak sangat menonjol dibandingkan keluarga Istana Pulau Es yang lain, namun karena dia sudah mempelajari ilmu-ilmu dari ayah dan ibunya, maka dia juga menjadi seorang pendekar yang amat lihai. Banyak ilmu hebat yang dikuasainya, dan kini, dengan sepasang pedangnya dia memainkan ilmu pedang pasangan Siang-Mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis) dan dalam waktu belasan jurus saja Ang I Moli yang lihai telah terdesak hebat.

Akan tetapi, sambil melawan wanita berpakaian merah itu, Suma Ciang Bun melirik ke arah wanita gagah yang dikeroyok oleh dua orang berpakaian tosu. Dia melihat betapa wanita itu terdesak hebat dan berada dalam bahaya karena selain nampaknya sudah lelah sekali, juga paha kirinya sudah terluka dan berdarah. Maka, setelah mendesak Ang I Moli, tiba-tiba dia meloncat ke dalam arena pertempuran membantu Gangga Dewi yang dikeroyok Kwan Thian-cu dan Kui Thian-cu. Begitu Suma Ciang Bun menerjang dan membantu Gangga Dewi, dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu terkejut karena serangan Suma Ciang Bun amat kuatnya, membuat mereka berdua terpaksa meloncat ke belakang dan menghadapinya, meninggalkan Gangga Dewi yang sudah payah dan kelelahan. Karena kini mendapat bantuan yang kuat, timbul kembali semangat Gangga Dewi.

"Terima kasih, Sobat. Mari kita basmi iblis-iblis Pek-lian-kauw yang jahat ini!"

Serunya dan biarpun paha kirinya sudah terluka, ia memutar pedangnya dan bersama Suma Ciang Bun mendesak tiga orang lawan itu. Tiba-tiba dua orang tokoh Pek-lian-kauw itu membaca mantra yang aneh, kemudian Kwan Thian-cu berseru,

"Kalian berdua orang-orang bodoh! Lihat baik-baik siapa kami! Kami lebih berkuasa, hayo kalian cepat berlutut memberi hormat kepada kami!"

Dalam suara ini terkandung kekuatan sihir. Agaknya mereka berusaha untuk mencoba sihir mereka kembali untuk menundukkan dua orang lawan tangguh itu. Gangga Dewi terhuyung, akan tetapi Suma Ciang Bun adalah cucu Pendekar Sakti Pulau Es. Dia sudah memiliki kekebalan terhadap sihir. Kakeknya, Pendekar Super Sakti, adalah seorang yang memiliki kepandaian sihir amat kuatnya, dan biarpun ilmu itu tidak dipelajari oleh Suma Ciang Bun, akan tetapi dia memiliki kekebalan terhadap segala macam ilmu sihir. Maka, melihat sikap lawan, Suma Ciang Bun tertawa halus.

"Hemm, kalian tidak perlu menjual segala macam sulap dan sihir di depanku. Dua orang tosu itu terkejut dan pada saat itu, Gangga Dewi yang sudah tak terpengaruh sihir, menerjang dengan hebat, disusul Suma Ciang Bun yang menggerakkan sepasang pedangnya. Tiga orang itu terpaksa memutar senjata dambil mundur. Akan tetapi, Ang I Moli yang licik sudah meloncat ke dekat tubuh Yo Han yang masih pingsan. Ia menyambar tubuh itu dan dipanggul dengan tangan kiri, lalu ia berteriak nyaring,

"Hentikan perlawanan kalian atau aku akan membunuh anak ini!"

Mendengar ucapan itu, Suma Ciang Bun dan Gangga Dewi terkejut, menahan pedang mereka dan memandang ke arah Ang I Moli. Mereka melihat betapa wanita iblis itu telah memanggul tubuh Yo Han dan mengancamkan pedangnya ke dekat leher anak itu. Melihat ini, Gangga Dewi menarik napas panjang. Ia tahu bahwa kalau ia dan penolongnya ini bergerak, tentu wanita iblis itu tidak akan ragu-ragu untuk membunuh Yo Han.

"Sudahlah, biarkan mereka pergi,"

Katanya lirih, namun tegas dan penuh wibawa. Suma Ciang Bun mengerutkan alisnya. Ketika dia datang tadi, dia melihat anak itu ditampar pingsan oleh wanita berpakaian merah dan dia dapat menduga bahwa wanita yang gagah perkasa itu tentu melindungi Si Anak dan ia dikeroyok. Sekarang, setelah anak itu ditawan, dan diancam, wanita itu merasa tidak berdaya dan terpaksa menyerah.

"Mari kita pergi!."

Ang I Moli berkata kepada dua orang suhengnya dan ia pun meloncat jauh membawa tubuh Yo Han yang masih pingsan. Dua orang takoh Pek-lian-kauw juga cepat-cepat mengejar karena mereka juga merasa jerih setelah Suma Ciang Bun muncul membantu Gangga Dewi. Melihat betapa tiga orang itu melarikan anak yang dipondong Si Iblis Betina berpakaian merah, Suma Ciang Bun merasa gelisah.

"Tapi.... mereka membawa pergi anak itu....!"

Katanya khawatir dan melangkah ke depan dengan maksud untuk melakukan pengejaran.

"Jangan dikejar!"

Kata Gangga Dewi mantap.

"Kalau dikejar membahayakan keselamatan nyawanya. Dan lagi, aku percaya Yo Han mampu menjaga dirinya."

"Yo Han? Yo.... Han....? Anak itu....?"

Gangga Dewi memandang tajam.

"Engkau mengenal Yo Han?"

"Kalau benar Yo Han yang kau maksudkan itu, tentu saja aku mengenalnya. Dia pernah tinggal bersamaku di sini...."

"Ah, kalau begitu engkau tentu Suma Ciang Bun!"

Kata Gangga Dewi dengan girang. Suma Ciang Bun menatap wajah wanita yang gagah perkasa itu.

"Benar dan.... kalau boleh aku mengetahui.... siapakah.... eh, Nyonya ini....?"

Gangga Dewi memandang dengan wajah berubah kemerahan, matanya bersinar-sinar dan hatinya dicekam keharuan yang hampir membuat ia menangis. Ingin memang ia menangis! Suma Ciang Bun memang nampak jauh lebih tua daripada tiga puluhan tahun yang lalu. Akan tetapi masih tampan, masih lembut dan canggung pemalu!

"Ciang Bun.... kau.... benarkah engkau sudah lupa kepadaku?"

Tanyanya, dan wanita yang berhati keras ini sudah mampu mengendalikan perasaan-nya. Biarpun hatinya menjerit, namun ia dengan gagah dapat menahan diri. Sungguh hal ini menunjuk-kan betapa Gangga Dewi kini telah menjadi seorang wanita yang lebih kuat hatinya lagi dibandingkan dahulu.

Di waktu mudanya, sebagai seorang gadis yang menuruni jiwa petualang ayah ibunya, ia pernah merantau ke timur dan dalam perantauannya itulah ia pernah mengalami peristiwa bersama Suma Ciang Bun, peristiwa yang membuat ia tidak dapat melupakan pria ini selama hidupnya (baca KISAH PARA PENDEKAR PULAU ES). Dalam perantauannya itu, ketika itu ia baru berusia delapan belas tahun, ia menyamar sebagai seorang pria dan mengganti namanya menjadi Ganggananda. Dan ia bertemu dengan Ciang Bun yang menyangka ia seorang pria. Dan, diam-diam ia jatuh cinta kepada Suma Ciang Bun yang gagah perkasa. Mereka bersahabat. Kemudian, ia pun mendapat kenyataan bahwa Ciang Bun mencintanya, mencintanya bukan sebagai Gangga Dewi, melainkan sebagai Ganggananda!

Ternyata cucu Pendekar Sakti Pulau Es itu memiliki suatu kelainan, yaitu tidak suka berdekatan dengan wanita, melainkan suka kepada sesama pria! Ciang Bun jatuh cinta kepadanya secara aneh, yaitu karena ia disangka pria. Ia tahu akan hal itu dari Suma Hui, kakak dari Suma Ciang Bun. Ketika ia menyatakan sendiri, membuka rahasia dirinya kepada Suma Ciang Bun dan mendengar pengakuan Ciang Bun bahwa pemuda itu mencinta dirinya sebagai pria, bukan sebagai wanita, ia lalu melarikan diri. Bagaimana mungkin ia hidup bersama seorang pemuda yang mencintanya sebagai pria, betapa besar pun ia mencinta pemuda itu? Ia lari meninggalkan Ciang Bun, kembali ke Bhutan dengan hati hancur dan luka karena cinta yang gagal.

Karena itulah, ia menurut saja ketika ayah dan ibunya menjodohkan ia dengan seorang panglima muda di Bhutan, panglima yang masih murid ayahnya sendiri dan seorang pria Bhutan yang gagah perkasa. Ia berusaha untuk melupakan Ciang Bun. Sampai suaminya tewas di dalam perang dan ia sudah mempunyai dua orang anak yang sudah dinikahkannya pula, kemudian sampai ia pergi lagi ke timur untuk mencari ayahnya, ia sudah hampir tidak pernah ingat lagi kepada Suma Ciang Bun. Siapa kira, ia bertemu Yo Han dan anak itulah yang mengajaknya menemui Suma Ciang Bun untuk bertanya di mana ia dapat menemu-kan ayahnya. Ketika Yo Han menyebut nama Suma Ciang Bun, dapat dibayangkan betapa rasa kagetnya. Dan kini, ia telah berhadapan dengan bekas kekasih hatinya itu. Suma Cian Bun menatap wajah Gangga Dewi dengan sinar mata heran dan penuh pertanyaan.

Dia tidak dapat mengingat lagi wajah wanita perkasa yang berdiri di depannya ini. Seorang wanita yang cantik dan gagah. Rambutnya sudah beruban, namun wajahnya masih segar dan nampak muda. Pakaiannya, dari sutera kuning, juga rambut beruban yang mengkilap dan tebal panjang itu ditiup kerudung sutera kuning. Namun hiasan rambutnya yang berbentuk burung merak masih dapat nampak karena kerudung itu tipis. Wajah yang cantik itu membayangkan ketabahan dan semangat yang amat kuat. Namun, ia tetap tidak dapat mengingat wajah ini, apalagi karena jarang ia bergaul dengan wanita. Dia merasa heran sekali mendengar betapa wanita ini menyebut namanya sedemikian akrabnya. Hanya di dalam hatinya ada keyakinan bahwa dia seperti pernah mengenal sinar mata itu, sepasang mata yang lebar dan jernih sekali, juga tajam berwibawa.

Posting Komentar