Kisah Sepasang Rajawali Chapter 32

NIC

Raja Bhutan mengangguk-angguk dan menoleh ke kanan kiri. Dia tahu bahwa para pengawalnya juga rata-rata memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Akan tetapi tiba-tiba Tan-ciangkun berkata lagi,

"Hamba tahu bahwa nona yang menjadi adik angkat sang puteri memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali!"

Memang sengaja Tan-ciangkun berkata demikian untuk menyatakan kemendongkolan hatinya. Kalau tidak gara-gara nona muda itu yang mengusulkan, tentu dia dan kawan-kawannya tidak harus memamerkan kepandaian seperti serombongan tukang jual obat atau penari silat di pasar-pasar! Mendengar ini, Raja Bhutan cepat menengok ke arah Ceng Ceng sambil tersenyum lebar dan berkata,

"Aih, sampai lupa aku! Candra Dewi, kau majulah dan perlihatkan kepandaianmu!"

Ceng Ceng terkejut sekali, tidak mengira bahwa dia diperintah raja untuk bersilat! Tentu saja dia tidak berani membantah dan dia sudah berlutut menyembah sambil mengeluarkan kata-kata kesanggupan dengan lirih,

Matanya melirik gemas kepada Tan-ciangkun yang hanya tersenyum. Kemudian dara itu melompat ke tengah ruangan, mencabut keluar sepasang pisau belati yang sebelumnya merupakan hui-to (golok terbang), yaitu senjata rahasia yang disabitkan, dan mulailah dia bersilat dengan sepasang belati itu. Gerakannya indah sekali, cepat dan bertenaga sehingga para penonton menjadi kagum karena kelihatannya dara itu sedang menari-nari dengan indahnya, namun gulungan-gulungan kecil dari sinar putih yang seperti selendang kecil digerak-gerakkan itu mengandung cakar maut yang dapat membunuh lawan! Tepuk sorak bergemuruh menyambut dengan kagum ketika Ceng Ceng sudah merubah permainannya, tepuk sorak yang disertai suara ketawa di sana-sini karena selain lucu juga luar biasa sekali permainan yang kini dilakukan oleh Ceng Ceng.

Apa yang terjadi? Dara ini telah menggunakan kuncirnya yang sudah dibagi dua untuk bermain silat! Sepasang kuncirnya itu seolah-olah telah berubah menjadi dua ekor ular hitam yang hidup dan ujung kedua kuncir membelit hui-to kemudian dia bergerak-gerak dengan cepat, menggoyang kepalanya sehingga sepasang kuncir itu memainkan sepasang hui-to itu seperti tadi Tan-ciangkun untuk mengejeknya! Setelah Ceng Ceng mengakhiri permainannya, tentu saja dia disambut dengan tepuk sorak gemuruh, juga Tan-ciangkun ikut bertepuk tangan sambil tersenyum karena diapun ikut bangga. Betapapun juga, dara itu dia tahu bukanlah Bangsa Bhutan, melainkan bangsanya sendiri dan ilmu silat yang dimainkan oleh Ceng Ceng itu adalah ilmu silat dari pedalaman.

Dia sudah mendengar bahwa dara yang cantik jelita itu adalah cucu dari kakek Lu Kiong yang dahulu pernah memegang pekerjaan seperti dia, yaitu pernah menjadi pengawal kaisar puluhan tahun yang lalu. Setelah beberapa orang perwira dan pengawal Raja Bhutan juga memperlihatkan ilmu kepandaian masing-masing, pesta itu berakhir sampai jauh malam, bahkan sudah lewat tengah malam. Semua orang pergi ke kamar masing-masing untuk beristirahat. Ceng Ceng mengawal kakak angkatnya masuk ke kamar pula. Semenjak menjadi adik angkat Syanti Dewi, Ceng Ceng tidur sekamar dengan puteri itu. Menjelang pagi, Ceng Ceng terbangun oleh suara tangis. Dia bangkit duduk, menggosok-gosok matanya dan mencoba untuk melihat di dalam kamar yang telah digelapkan itu. Kiranya yang menangis adalah Syanti Dewi!

"Eh, suci Syanti.... kau.... kenapakah....?"

Ceng Ceng cepat meloncat turun dan menyalakan lilin di atas meja. Dilihatnya puteri itu menelungkup sambil menangis terisak-isak.

"Enci Syanti, mengapa kau menangis?"

Kembali Ceng Ceng bertanya sambil duduk di pembaringan puteri itu dan mengusap pundaknya. Puteri itu menengok, lalu bangkit berdiri merangkul Ceng Ceng sambil menangis makin sedih.

"Adikku.... aihhh.... adikku Candra....!"

Ceng Ceng membiarkan puteri itu menangis di pundaknya sampai agak mereda, kemudian dia berkata,

"Kakakku yang baik, beginikah sikap seorang gagah? Biarpun kita wanita, namun kita menjunjung kegagahan dan tangis merupakan hal yang dipantang, kecuali kalau ada persoalan yang tak terpecahkan dan amat hebat. Apakah yang telah terjadi? Kalau ada persoalan, bicarakanlah denganku, dan marilah kita pecahkan bersama. Tidak ada di dunia ini persoalan yang tidak akan dapat kita pecahkan berdua, bukan?"

Putri itu menghapus air matanya dan memandang adik angkatnya. Tangisnya sudah mereda dan melihat wajah adiknya menimbulkan kepercayaan dan hiburan besar baginya. Dia menghela nafas panjang berkali-kali sebelum bicara, kemudian sambil memegang tangan adik angkatnya dia berkata,

"Candra, hati siapa tidak akan menjadi kecewa, penasaran dan duka? Tadi aku mendengar dari seorang pelayanku yang memang kusuruh melakukan penyelidikan di antara rombongan utusan, dan aku mendengar berita yang sangat mengecewakan sebelum tidur tadi."

"Berita apakah?"

"Berita keterangan tentang Pangeran Liong Khi Ong...."

"Aihhh, tentang calon suamimu?"

Ceng Ceng menahan ketawanya.

"Bukankah berita itu menggembirakan?"

"Siapa bilang menggembirakan? Ternyata dia adalah seorang laki-laki yang usianya sudah lima puluh tahun.... hu-huuukkk...."

Putri itu menangis lagi. Ceng Ceng merangkul dan menghiburnya.

"Lima puluh tahun belum tua bagi seorang laki-laki, apalagi kalau dia seorang pangeran,"

Dara ini mencoba menghibur sebisanya.

"Tapi.... tapi.... dia mempunyai banyak selir...."

Kembali puteri itu terisak.

"Aihh, enci Syanti, apa anehnya tentang itu? Dia seorang pangeran, tentu saja banyak selirnya. Akan tetapi engkau akan menjadi isterinya, mengepalai semua selirnya."

"Tapi.... tapi.... aku tidak suka, Candra. Aku merasa seolah olah berangkat mati saja.... kehilangan kebebasanku.... menjadi budak belian!"

"Ihhhh....! Mengapa kau berkata begitu, enci Syanti?"

Ceng Ceng berseru kaget.

"Mengapa tidak? Apa bedanya aku dengan budak belian? Aku dibeli, dibeli dengan kedudukan dan nama, aku kehilangan kebebasan, harus menurut menjadi isteri siapa saja! Aku.... aku ingin menjadi isteri orang yang kupilih sendiri, adik Candra....!"

Kembali puteri itu menjatuhkan diri menelungkup, memeluk bantal dan menangis. Ceng Ceng duduk termenung. Dia dapat menyelami perasaan kakak angkatnya dan tak dapat membantah kebenaran kata-katanya. Memang kaum wanita sama dengan budak belian. Diharuskan menjadi isteri siapa saja, menjadi isteri seorang pria yang belum pernah dilihatnya. Apa bedanya dengan budak belian? Hanya diberi pakaian indah dan penghormatan, namun pada hakekatnya, nasib mereka dalam hal perjodohan tiada bedanya dengan budah belian! Diam-dian hatinya memberontak pula.

"Enci Syanti, kalau begitu, mengapa tidak engkau tolak saja?"

Puteri itu terkejut sekali, lalu bangkit duduk. Dia memandang adiknya, menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya.

"Dahulu, dua tahun yang lalu, aku sama sekali tidak pernah memikirkan ini. Kuterima saja perintah ayah karena memang biasanya demikian, seorang puteri dikawinkan dan aku boleh disebut beruntung menjadi calon isteri seorang pangeran putera kaisar yang besar! Akan tetapi, setelah pernikahan diundur dua tahun, selama ini timbul penasaran di dalam hatiku mengapa aku harus menikah, mengikatkan hidupku selamanya, dengan seorang yang sama sekali belum pernah kulihat? Aku masih menghibur diri dengan anggapan bahwa seorang pangeran putera kaisar tentulah seorang pria yang gagah perkasa, tampan, muda dan pendeknya memenuhi impianku tentang seorang kekasih. Siapa tahu.... berita itu.... dia sudah tua dan banyak selirnya.... hu-hu-huuukkk...."

Ceng Ceng menggaruk-garuk belakang telinganya, bingung.

"Kalau begitu, bagaimana baiknya, enci Syanti? Kau tolak saja sekarang, bagaimana?"

"Ahhh, kau tidak tahu, adikku. Kalau aku menolak, tentu ayah akan memaksaku karena hal itu selain akan mencemarkan nama keluarga Kerajaan Bhutan, juga berbahaya sekali, dapat menyeret negara ke dalam perang."

"Ohhh....!"

Ceng Ceng terkejut sekali.

"Habis, bagaimana baiknya? Kalau begitu, mari kita.... melarikan diri saja. Malam ini juga, biar aku menemanimu, enci...."

Mau tidak mau puteri itu tersenyum masam mendengar ajakan ini. Ajakan yang ugal-ugalan. Mana mungkin puteri raja minggat? Selain percuma karena tentu akan dapat ditangkap, juga amat memalukan.

"Tidak bisa, adikku, tidak mungkin itu."

"Habis bagaimana? Apakah kau akan menerima nasib begitu saja?"

"Apa boleh buat. Aku harus menerima nasib, akan tetapi hatiku tentu akan terhibur sekali kalau kau suka menemaniku ke Kerajaan Ceng di timur sana."

"Tentu saja aku mau! Aku malah ingin sekali ke sana! Baik, aku akan menemanimu."

"Akan tetapi, apakah kakekmu akan memperkenankan?"

"Dia harus menyetujui!"

Ceng Ceng berkata cemberut.

"Aku berasal dari timur sana sudah sepatutnya kalau dia mengajakku kembali ke sana. Sekarang ada kesempatan baik. Aku ikut denganmu, enci Syanti!"

Demikianlah, keputusan diambil malam itu juga dan pada keesokan harinya, sang puteri memberitahukan ayahandanya bahwa Candra Dewi akan ikut bersamanya ke timur. Raja Bhutan tak dapat menolak dan kakek Lu Kiong segera diberitahu tentang hal itu. Kakek ini terkejut, akan tetapi diapun tidak berani menghalangi kehendak sang puteri, bahkan diam-diam dia harus mengakui bahwa sudah sepatutnya kalau dia membiarkan cucunya itu kembali ke timur. Akan tetapi karena dia mengkhawatirkan keselamatan cucunya, dia lalu menyatakan hendak ikut mengawal rombongan sang puteri.

Tentu saja keputusan kakeknya ini menggirangkan hati Ceng Ceng, karena betapun juga dia merasa kasihan dan tidak tega kalau harus meninggalkan kakeknya yang sudah tua itu sendirian di Negara Bhutan. Persiapan untuk keberangkatan Puteri Syanti Dewi dilakukan dan keadaan di istana sibuk sekali. Besok pagi-pagi rombongan yang memboyong puteri itu akan berangkat, pasukan istimewa yang khusus sebanyak lima ratus orang akan mengawal rombongan sampai di perbatasan, di mana pasukan Kerajaan Ceng akan menyambut dan mengoper tugas pengawalan. Barang-barang berharga milik sang puteri dikumpulkan sampai berpeti-peti banyaknya. Ceng Ceng sendiri memperoleh kesempatan untuk pulang ke rumah kakek, membantu kakeknya yang juga berkemas dan dibantu oleh murid-murid kakeknya.

Wajah para murid itu kelihatan murung, karena mereka tahu bahwa sekali ini, gurunya pergi untuk tidak kembali lagi ke Bhutan karena gurunya sudah amat tua. Sementara itu, tanpa disangka-sangka, di pintu penjagaan benteng, yaitu di pintu gerbang besar, terjadi keributan. Seorang laki-laki berusia empat puluh tahun lebih, berpakaian sederhana dan berkuncir panjang, bertangan kosong, sedang ribut mulut dengan para penjaga. Dari pakaiannya mudah dikenal bahwa orang ini datang dari timur, seorang bangsa Han. Karena di kota raja Bhutan sedang ada kesibukan, maka tentu saja para penjaga itu menghadang orang yang tidak dikenal ini sambil menghardik.

"Siapakah engkau dan ada keperluan apa hendak memasuki kota raja?"

Laki-laki itu mengerutkan alisnya.

"Hemm, begitukah sikap para penjaga kota raja di Bhutan? Seorang penduduk sinipun tidak akan mengalami gangguan, apalagi seorang pendatang dari luar yang dapat disebut seorang tamu! Aku datang sebagai tamu, sebagai utusan dan aku ingin menghadap sri baginda!"

Akan tetapi, kepala penjaga tertawa mengejek. Orang itu pakaiannya biasa, sama sekali bukan pakaian orang berpangkat atau seorang perwira, tentu saja dianggap menggelikan dan membohong ketika mengaku sebagai tamu dan utusan, dan bahkan menimbulkan kecurigaan. Orang begini hendak menghadap raja! Tentu berniat tidak baik, pikir kepala penjaga itu.

"Jangan main gila kau!"

Bentaknya.

"Kau kira mudah saja menghadap sri baginda! Hayo cepat pergi, keluar dari tempat ini atau terpaksa akan kami tangkap sebagai mata-mata musuh!"

Posting Komentar