Tanpa memperdulikan bahaya yang mungkin mengancam dirinya lagi, Bi Sian menerjang ke depan menggerakkan tongkat butut di tangannya. Bagaimanapun juga, Bi Sian sejak kecil digembleng ilmu silat oleh ayahnya, maka ia memiliki gerakan yang gesit dan langkah yang teratur dan kuat. Menghadapi serangan anak perempuan yang memegang tongkat butut itu, lima orang tukang pukul itu tentu saja memandang rendah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang sudah biasa mempergunakan kekerasan, dan rata-rata memiliki ilmu silat yang cukup hebat, dan tenaga yang kuat. Kalau tadi mereka "dihajar"
Oleh Lu Ki Cong, hal itu memang disengaja dan sudah diatur sebelumnya, merupakan siasat Lu Ki Cong untuk menalukkan hati Bi Sian yang keras. Ki Cong yang mengatur semuanya dan mempergunakan mereka.
Tadi, Lu Ki Cong lari turun dari bukit, menemui mereka dan minta kepada mereka untuk menghajar dan membunuh kakek jembel yang telah menghinanya, sekalian menangkapkan Bi Sian karena dia masih merasa penasaran bahwa gadis cilik itu tetap tidak mau tunduk kepadanya! Sambil tersenyum mengejek, menyeringai lebar, seorang di antara mereka yang brewok, maju dan mengulur tangannya hendak menangkis lalu menangkap dan merampas tongkat butut itu ketika Bi Sian memukulkan tongkat itu ke arah mukanya. Akan tetapi tiba-tiba dia terkejut bukan main karena tangannya itu tertahan di udara, tak dapat digerakkan seperti bertemu dengan benda yang tidak nampak, sementara itu, tongkat butut di tangan Bi Sian sudah menyambar ke arah mukanya. Saking herannya melihat tangannya tidak dapat bergerak terus, si brewok itu tak sempat lagi mengelak.
"Plakkk!"
Tongkat itu menghantam mukanya, tepat mengenai hidungnya dan darah mengucur dari hidungnya yang seketika "mimisen". Melihat ini, dua orang temannya menubruk maju, seorang merampas tongkat, seorang lagi hendak meringkus Bi Sian. Akan tetapi, kembali terjadi keanehan ketika dua orang itu mendadak terhenti gerakan mereka dan seperti patung tak mampu melanjutkan gerakan mereka. Bi Sian sudah mengayun tongkatnya ke arah mereka, menyerang kepala.
"Tukkk! Tukkk!"
Dua buah kepala itu masing-masing kebagian sekali pukulan yang cukup keras dan seketika kepala itu keluar telurnya, menjendol biru!
"Heh-heh-heh, bagus sekali! Pukul terus, Bi Sian!"
Bi Sian sendiri terheran-heran mengapa tiga orang itu sama sekali tidak menangkis atau mengelak dan makin yakinlah hatinya bahwa gurunya tentu mempergunakan kesaktian, atau tongkat wasiat itu yang lihai bukan main. Iapun terus mendesak ke depan dan dua orang tukang pukul lainnya yang sudah menerjangnya, disambutnya dengan dua kali pukulan ke arah muka mereka.
Seperti yang terjadi pada teman-teman mereka, dua orang itu tertahan serangan mereka dan tak mampu menggerakkan tangan ketika tongkat butut itu menyambar ke arah kepala mereka. Mereka baru dapat bergerak setelah kepala mereka terpukul dan hanya dapat menggosok-gosok kepala yang menjadi benjol oleh pukulan tongkat itu. Tentu saja lima orang itu menjadi marah sekali. Mereka adalah tukang-tukang pukul yang jarang menemukan tandingan, dan di kota Sung-jan mereka amat ditakuti orang. Bagaimana kini menghadapi seorang anak perempuan saja mereka sampai terkena hajaran tongkat seorang demi seorang? Biarpun tidak sampai terluka parah namun pukulan tongkat itu mendatangkan rasa sakit di hati yang jauh melebihi rasa nyeri di bagian yang terpukul.
"Bocah setan berani kau memukul kami?"
Bentak si brewok.
"Heh-heh-heh, muridku tidak kenal takut, tidak kenal mundur, tidak takut mati, tentu saja berani menghajar kalian, heh-heh. Hajar terus, Bi Sian, pukul anjing-anjing itu sampai mereka melolong-lolong!"
Dan Bi Sian yang kini sudah bersemangat dan bergembira sekali, menerjang terus!
Biarpun lima orang itu kini sudah marah bahkan mereka mencabut golok, namun apa artinya golok-golok itu kalau setiap kali digerakkan, selalu tertahan di udara? Akibatnya, mereka hanya menjadi bulan-bulanan sabetan dan pukulan tongkat di tangan Bi Sian. Biarpun yang memukuli hanya seorang anak perempuan, akan tetapi karena anak perempuan itu sudah terlatih silat dan memiliki tenaga cukup kuat, dan yang dipukuli sama sekali tidak mampu mengelak, menangkis atau membalas, akhirnya tubuh merekapun matang biru, muka mereka berdarah dan kepala benjol-benjol! Melihat ini, bukan hanya lima orang tukang pukul itu yang mulai terkejut dan gentar, juga Lu Ki Cong terbelalak matanya dan diapun membuat gerakan untuk menyelamatkan diri dan berlari pergi.
"Heh-heh, kau hendak lari ke mana? Bi Sian, jangan biarkan monyet kecil itu melarikan diri!"
Teriak Koay Tojin dan dia kelihatan menggapai dengan tangannya. Anehnya, kedua kaki Ki Cong yang tadinya sudah melompat hendak berlari itu seperti menjadi kaku dan tidak dapat digerakkan maju lagi. Sementara itu, Bi Sian yang marah sekali kepada pemuda yang menipunya itu, cepat lari menghampirinya dan tongkatnya lalu menghajar membabi-buta! Ki Cong yang dapat bergerak kembali, mencoba melawan, akan tetapi hasilnya malah pukulan-pukulan itu semakin hebat.
"Heh-heh-heh, pukul kepalanya, hantam mukanya dan habiskan pantatnya biar tahu rasa monyet itu, heh-heh!"
Koay Tojin memberi semangat kepada muridnya. Dan Bi Sian terns menghajar Ki Cong sampai akhirnya pemuda itu yang sudah berdarah hidungnya dan babak bundas penuh balur dan bengkak-bengkak membiru, menjatuhkan diri bergulingan di atas tanah sambil menangis! Melihat ini, lima orang tukang pukul itu mencoba untuk menolong tuan muda mereka.
Akan tetapi biarpun mereka mendesak maju dengan serentak, tiba-tiba saja gerakan mereka tertahan dan Bi Sian sudah membalik dan menghujankan pukulan tongkatnya kepada mereka! Lima orang tukang pukul itu bukan orang bodoh. Walaupun tadinya mereka merasa penasaran dikalahkan oleh see-rang anak perempuan, akan tetapi kini mereka maklum bahwa sesungguhnya bukan anak perempuan itu yang menghajar mereka, melainkan kakek jembel yang aneh itu. Maka, mereka menjadi gentar sekali. Kalau dilanjutkan, jangan-jangan mereka semua akan tewas oleh pukulan-pukulan anak perempuan yang galak itu! Mereka lalu menyambar tubuh Lu Ki Cong yang masih menangis, dan melarikan diri dari situ sambil terhuyung dan terpincang-pincang! Suara ketawa Koay Tojin mengikuti mereka, menbuat mereka semakin takut dan berusaha lari secepatnya sampai jatuh bangun!
Bi Sian tidak mengejar karena ia sudah menjatuhkan dirinya di atas tanah, terengah-engah dan bermandi peluh, akan tetani wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum puas. Kakek itu tertawa terpingkal-pingkal, bahkan lalu menjatuhkan diri pula di atas tanah dekat Bi Sian, terus tertawa sanbil memegangi perutnya dan menggeliat-geliat. Melihat ini, Bi Sian kembali timbul dugaan bahwa gurunya ini walaupun memang sakti sekali, akan tetapi agaknya tidak lumrah manusia dan tentu akan dianggap sinting oleh orang lain. Akan tetapi ia lebih tahu. Sinting atau tidak, suhunya ini seorang manusia luar biasa! Iapun tahu benar bahwa suhunya yang telah membantunya maka dengan begitu mudahnya ia menghajar enam orang tadi tanpa satu kalipun mendapat balasan pukulan dari mereka.
"Sudahlah, suhu. Apa sih yang kau tertawakan begitu hebat?"
Katanya untuk menghentikan aksi gurunya. Benar saja. Koay Tojin menghentikan tawanya dan diapun bangkit berdiri.
"Wah, kau hebat, Bi Sian. Kau hebat sekali, engkau telah menghajar anjing-anjing itu sampai berkaing-kaing, heh-heh-heh!"
Bi Sian lalu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki gurunya.
"Berkat pertolongan suhu! Aku berjanji akan belajar dengan tekun dan penuh semangat agar kelak tidak menyusahkan suhu lagi kalau bertemu dengan anjing-anjing seperti tadi."
Bi Sian lalu menunggangi kudanya lagi dan gurunya tetap berjalan di belakangnya. Kini Bi Sian mulai menaruh hormat kepada gurunya karena ia yakin akan kesaktian kakek itu, maka iapun tidak berani membalapkan kudanya, takut kalau membuat orang tua itu menjadi kelelahan. Oleh karena itu, hari telah mulai gelap ketika akhirnya mereka tiba di dalam kota Sung-jan. Atas petunjuk gurunya, Bi Sian menambatkan kuda itu di kebun belakang, kemudian iapun menurut saja petunjuk suhunya bagaimana harus berpamit dari ayah bundanya.
"Kalau kita masuk ke dalam dan bertemu ayah ibumu, tentu mereka akan menahanmu dan mungkin akan memusuhiku. Hal itu amat tidak enak, maka sebaiknya engkau menurut aku saja. Mari!"
Yaw Sun Kok dan isterinya berada di ruangan dalam. Sejak tadi Sie Lan Hong merasa gelisah dan beberapa kali ia menyuruh suaminya untuk pergi mencari dan menyusul puteri mereka yang belum juga pulang.
"Aku mulai khawatir, kenapa sampai hari telah menjadi gelap begini ia belum juga pulang. Sebaiknya kalau engkau pergi mencarinya,"
Bujuknya untuk ke beberapa kalinya.
"Ia pergi membawa kuda dan biasanya ia memang pulang setelah senja. Ada beberapa tempat yang biasa ia datangi dan aku tidak tahu yang mana yang ia kunjungi kali ini. Kalau aku mencari ke suatu tempat dan ia pergi ke lain tempat, mungkin aku akan bersimpang jalan dengannya. Biarlah kita tunggu sebentar. Tidak perlu khawatir."